PENINGGALAN JEPANG Pada Masa Perang Dunia II di Pulau Berhala


Pendahuluan
Pulau Berhala terletak di antara Propinsi Jambi dan Kepulauan Riau. Tepatnya berada di Pantai Timur Propinsi Jambi dan sebelah Selatan Pulau Lingga, Propinsi Kepulauan Riau. Pulau ini menjadi terkenal setelah status kewilayahannya dipertanyakan antara Propinsi Jambi dengan Kepulauan Riau. Mungkin tidak banyak orang yang mengetahui bahwa di pulau yang sedang menunggu status itu terdapat peninggalan yang menunjukkan dahsyatnya Perang Dunia II. Sebuah pulau kecil menjadi tempat tinggal tentara Jepang untuk menjaga jalur pelayaran penting yang melalui Selat Berhala.

Pulau Berhala dapat ditempuh selama 12 jam menggunakan kapal motor yang berangkat dari Pelabuhan Angsoduo, Kota Jambi. Perjalanannya memang cukup lama, tetapi kita tidak perlu susah-susah untuk berpindah dari satu perahu ke perahu lainnya. Perjalanan menyusuri Sungai Batanghari mempunyai keasyikan tersendiri. Kapal motor yang berjalan perlahan melewati beberapa desa yang berada di pinggir Sungai Batanghari. Perahu-perahu berukuran besar dan kecil lalu lalang di sepanjang sungai. Suasananya tentu lebih ramai di masa lampau, karena Sungai Batanghari ini pernah menjadi jalur transportasi penting di masa lalu dan merupakan jalan menuju ibukota Kerajaan di Dharmasraya. Rombongan Ekspedisi Pamalayu yang dikirim Raja Kertanegara dari Singosari mengarungi sungai ini membawa arca Amoghapasa dan Bhairawa.

Perjalanan menuju Pulau Berhala juga dapat ditempuh dengan melalui jalan darat ke Suakkandis dengan waktu tempuh 1,5 jam, dilanjutkan dengan speedboat ke Nipahpanjang selama 1 jam. Selanjutnya dari Nipahpanjang menyewa perahu ke Pulau Berhala. Perjalanannya dapat langsung menuju muara atau melalui Desa Sungai Itik. Kedua jalur tersebut sangat dipengaruhi oleh adanya pasang-surut, sehingga menyulitkan untuk melewatinya. Salah perhitungan akan menyebabkan kandasnya kapal. Di daerah muara Desa Sungai Itik dapat terlihat Pulau Berhala di kejauhan. Pulau yang menjadi tempat bersemayamnya Paduka Datuk Berhala didominasi oleh warna hijau dengan garis putih memanjang di pinggir pantai. Di depan Pulau berhala terdapat dua buah pulau dan batu-batu besar tegak yang berdiri di atas air. Permukaan lautnya menampakkan warna yang kehijauan.

Situasi Pulau
Pulau Berhala di masa lalu di kenal sebagai Pulau Dakjal, Pulau Bratail, Pulau Bertayil atau Pulau Afgorl (Belanda), Pulau Birella (Tome Pires), Pulau Verrela (Portugis). Bahkan ada yang menyebutnya sebagai Pulau Hantu. Pulau Berhala merupakan salah satu gugusan pulau yang terhampar di sebelah Timur Pulau Sumatera. Di sekitar Pulau Berhala terdapat tiga pulau dan empat buah rangkaian batu-batu yang bagaikan muncul dari dalam laut. Ketiga pulau dan batu-batu itu seakan-akan mengawal Pulau Berhala dari arah Selatan dan Timur. Pulau-pulau itu adalah Pulau Layak, Pulau Suar, dan Pulau Telor. Sedangkan rangkaian batu di tengah laut diantaranya dua buah terletak di dekat Pulau Layak, satu buah di dekat Pulau Suar, dan satu buah lainnya terletak di dekat Pulau Telor.

Pulau Berhala merupakan pulau yang terbesar dan terluas di antara gugusan pulau tersebut. Luasnya sekitar 60 hektar. Pulau ini berbentuk bukit dengan ketinggian sekitar 200 meter dari permukaan laut. Pohon-pohon yang tumbuh dengan lebatnya memberikan nuansa hijau di sekeliling pulau. Pada bagian dasar pulau terdapat pantai-pantai yang berpasir putih dengan batu-batu besar dan kecil di sekitarnya. Pasir putih ini berasal dari pecahan batuan kuarsa dan bukan dari pecahan terumbu karang. Lokasi pantai berpasir putih terdapat di lima tempat, yaitu satu buah di sisi selatan, satu buah di sisi timur, satu buah di sisi utara, dan dua buah di sisi barat. Di pantai sisi selatan di huni oleh penduduk asal Jambi sedangkan di sisi timur dihuni oleh penduduk asal Riau. Di lokasi sebelah selatan terdapat homestay (rumah tinggal) yang dibangun oleh Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Propinsi Jambi dan dua buah dermaga. Dermaga yang di sebelah Timur dalam kondisi sudah rusak dibangun oleh Pemerintah Propinsi Riau dan dermaga yang disebelah Barat dibangun oleh Pemerintah Propinsi Jambi. Penduduk menghuni pantai-pantai yang terletak di sisi Selatan, Timur, dan Barat. Penduduk yang berjumlah 39 KK terutama menempati sisi Selatan dan Timur. Hal ini dikaitkan dengan lokasi kedua tempat tersebut yang landai dan terhalang oleh pulau di depannya, sehingga cukup aman dari terjangan angin barat yang cukup kuat.

Pulau Layak berada tepat di depan Pulau Berhala. Sisi selatannya dibatasi oleh laut yang dalam. Pulau Layak merupakan pulau yang hijau oleh pepohonan di bagian atasnya, sedangkan bagian bawahnya berbatu. Pulau ini kosong tidak berpenghuni. Pulau Suar merupakan pulau yang berbatu-batu. Batu-batu di pulau ini memiliki ukuran besar. Letaknya di sebelah barat daya Pulau Layak. Pada bagian atasnya tumbuh sejumlah pohon kelapa. Di pulau ini terdapat menara mercusuar dengan konstruksi besi dan rumah jaga. Mercusuar ini berfungsi sebagai pemandu lalulintas kapal yang melintasi Pulau Berhala, karena memang cukup ramai dilewati kapal-kapal yang menuju Selat Malaka. Pulau Telor disebut juga dengan Pulau Penyu atau Pulau Sisik. Letaknya di sebelah Timur laut Pulau Berhala. Lokasi pulau tidak sedekat antara Pulau Berhala dan Pulau Layak. Pulau ini merupakan tempat bertelurnya Penyu Sisik dan Penyu Hijau. Pada waktu-waktu tertentu penyu ini dapat terlihat di pasir putih. Di pulau ini terdapat pantai berpasir putih di tiga tempat, yaitu sisi Selatan, Barat, dan Timur. Pada pantai yang terletak di sisi Barat cukup indah karena di kelilingi oleh batuan sehingga membentuk suatu laguna.

Kepurbakalaan
Di Pulau Berhala dapat dijumpai peninggalan arkeologis yang berupa makam Datuk Paduko Berhala dan peninggalan tentara Jepang. Datuk Paduko Berhalo adalah gelar yang diberikan kepada seorang Turki yang bernama Ahmad Barus II. Ahmad Barus II datang dan menetap di Pulau Berhala setelah menikah dengan putri setempat yang bernama Putri Selaras Pinang Masak yang tinggal di Ujung Jabung. Selanjutnya dari pernikahan mereka lahirlah Orang Kayo Hitam yang menurunkan sultan-sultan di Jambi. Para keturunan Orang Kayo Hitam ini tidak menetap di Pulau Berhala melainkan memasuki pedalaman Jambi melalui Sungai Batanghari. Istana mereka yang berada di Tanah Pilih (Kota Jambi) masih berdiri sampai Belanda membumihanguskannya di masa Sultan Thaha Syaifuddin.

Peninggalan tentara Jepang ditemukan di tepi pantai di sisi Timur Pulau Berhala dan di atas Bukit Meriam. Tentara Jepang ditempatkan di Pulau Berhala dikarenakan lokasinya yang strategis. Dari Pulau Berhala ini dapat terlihat pergerakan kapal perang dari dan menuju Pulau Jawa atau Sumatera Bagian Selatan. Mereka diperkuat oleh meriam besar yang ditempatkan di puncak bukit. Peninggalan Tentara Jepang terdapat di tepi pantai dan atas bukit Meriam. Temuan yang terdapat di tepi pantai adalah tungku masak dan bunker tanah. Sedangkan temuan yang di atas bukit meriam adalah meriam besar, bunker, tanah datar, dan meriam katak.

a. Tungku Masak
Temuan terletak di sisi Timur Laut Pulau Berhala. Tempat ini tepat dipinggir jalan setapak yang menghubungkan makam Datuk Paduka Berhala dengan perkampungan nelayan. Jaraknya dari tepi pantai hanya berjarak 16 meter. Tungku masak ini berupa bangunan yang berbentuk huruf T berukuran panjang 2,7 meter, lebar 1,24 meter dan tinggi 77 cm. Tungku mempunyai tiga lubang di bagian samping dan atas. Lubang dibagian samping berfungsi untuk memasukkan kayu yang akan dibakar, sedangkan bagian atas untuk keluarnya api. Ukuran lubang tidak sama atau semakin mengecil. Diameter lubang adalah 75 cm, 36 cm, dan 30 cm.
Di lokasi dijumpai pula tungku yang lebih kecil dengan dua lubang berukuran diameter 35 cm dan 25 cm. Namun kondisinya telah rusak dibagian atas. Temuan lainnya adalah lantai di sekitar tungku dan lantai tempat mencuci yang dilengkapi dengan saluran air (got) yang menuju ke pantai. Lantai untuk mencuci berukuran 180 cm x 180 cm. Di tempat ini juga terdapat sumur tua.

b. Bunker Tanah
Bunker terletak tidak jauh dari tungku. Lokasinya di sebelah kiri dari jalan setapak yang mendaki menuju perkampungan nelayan. Temuan berupa bunker yang berupa lubang tanah yang dikerjakan dengan menggali tanah berbentuk bujur sangkar berukuran 5 x 5 meter dengan kedalaman 1,5 meter. Pada salah satu sisi bunker terdapat parit yang merupakan jalan masuk ke dalam bunker. Parit digunakan untuk melindungi dari tembakan musuh. Temuan lain adalah tanah tinggi yang berfungsi untuk membentengi bunker. Benteng tanah berbentuk huruf L. Selain itu terdapat tembok yang pada bagian atasnya membentuk huruf U mengarah ke tungku atau pantai. Tembok berukuran panjang 140 cm, lebar 110 cm, dan tinggi 140 cm.

c. Meriam Besar
Lokasi meriam terletak di atas Bukit Meriam dengan kondisi tergeletak di atas tanah. Saksi mata yang bernama Bapak Hasan mengatakan pada saat kecil bermain-main dengan meriam itu. Beliau duduk di pangkal meriam yang dilengkapi dengan tempat duduk yang diberi sabuk dan memutar meriam ke segala arah karena mempunyai bantalan besi (rel) dibagian bawah yang berbentuk lingkaran. Meriam ini hancur fondasinya dikarenakan dibom oleh orang yang bermaksud mengambilnya. Digambarkan bom yang disebut bom “singapur” karena berasal dari Singapura meledak dengan suara yang amat dahsyat sehingga menggetarkan rumah-rumah penduduk. Menurut informasi, meriam dibawa ke atas bukit menggunakan penduduk lokal dengan ditutup matanya. Hal itu untuk menjaga kerahasiaan meriam dari musuh.
Meriam berukuran panjang 5 meter dengan luas penampang pada bagian bawahnya 30 cm sedangkan bagian ujungnya 17 cm. Pada bagian badan meriam terdapat tanda bekas gergajian yang menandakan adanya usaha untuk membelah bagian laras. Meriam ini ditempatkan dilubang yang berbentuk lingkaran dengan diameter 750 cm.
Pada sisi sebelah Utara terdapat parit yang menuju ke lereng bukit sebelah Utara. Di lereng tersebut terdapat tanah datar yang berukuran panjang 22,70 meter dan lebar 10 meter. Di sebelah barat tanah datar terdapat bunker berukuran pankang 3,7 meter, lebar 3,7 meter, dan kedalaman 1 meter. Bunker ini terhubung dengan bunker lain yang berada disebelah Selatan melalui parit. Bunker berukuran panjang 5 meter, lebar 3,5 meter, dan kedalaman 1 meter. Tampaknya meriam besar tersebut dilindungi oleh pasukan yang berdiam di lubang-lubang bunker.

d. Bunker Beton
Bunker yang terbuat dari beton terletak di sebelah barat dari meriam. Lubang bunker berbentuk persegi enam yang sisinya berukuran 100 cm. Pada bagian atas lubang terdapat tiang-tiang yang telah runtuh berjumlah 4 buah. Tiang berukuran panjang 53 cm, lebar 50 cm, dan tinggi 65 cm. Pada tengah lubang terdapat runtuhan atap beton yang berbentuk persegi enam. Pada sisi Utara bunker itu terdapat parit yang menuju ke tanah datar di sebelah Utara. Parit ini tidak dapat dilewati oleh manusia karena sangat sempit. Diperkirakan berfungsi untuk mengalirkan air yang masuk ke dalam bunker.

e. Meriam Katak
Meriam ini terguling di lereng bukit berjarak 10 meter dari tempat semulanya di tanah datar yang berukuran panjang 3,7 meter dan lebar 3,7 meter. Tanah datar ini merupakan teras kedua atau yang paling bawah. Di lokasi tersebut dijumpai pula tungku untuk memasak berukuran kecil dengan dua lubang pembakaran dan fondasi meriam. Bentuk meriam sangat unik karena larasnya dibagian atas terbuka. Meriam berukuran panjang 204 cm dan lebar 30 cm. Meriam ini oleh penduduk diberi nama meriam katak karena sering lokasinya sulit ditemukan atau seperti katak yang meloncat-loncat kesana kemari.

f. Keramik Cina
Pulau Berhala juga menyimpan peninggalan keramik-keramik yang berupa guci Guci-guci yang dimiliki oleh penduduk masih banyak yang utuh. Jenis guci berasal dari masa Dinasti Ching yang umum digunakan sebagai wadah minuman.


Penutup
Kehidupan di sebuah pulau kecil dalam suasana perang tentu saja tidak akan menyenangkan. Keperluan hidup mereka sangat terbatas dan tergantung kepada suplai makanan. Tentara Jepang yang bertugas di Pulau Berhala tinggal di bunker-bunker. Bunker dianggap dapat melindungi mereka dari serangan musuh. Di beberapa daerah banyak ditemukan bunker yang disebut sebagai bunker Jepang. Namun sayang di bunker-bunker itu tidak ditemukan lagi lempengan besi yang berfungsi sebagai pelindung bagian atas. Pengambilan besi bekas untuk dijual telah menghilangkan peninggalan-peninggalan itu.

Pulau Berhala memiliki peninggalan purbakala yang merupakan bukti kemenangan dan kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II di Indonesia. Ribuan nyawa melayang dengan atau tanpa diketahui keluarganya di pulau ini. Generasi mendatang dapat mengenangnya melalui peninggalan-peninggalan tersebut. Oleh karena itu pelestarian terhadap peninggalan purbakala di pulau ini perlu dilakukan. Upaya pelestarian itu juga diharapkan nantinya akan bermanfaat untuk menambah khasanah wisata di Pulau Berhala.

Pelestarian peninggalan Jepang berupa meriam dilakukan dengan menempatkannya pada keadaan semula ketika meriam itu masih berfungsi. Penataan lingkungan untuk menampakkan bunker dan parit-parit penghubungnya serta tanah lapang yang berundak yang tertutup oleh rimbunan pepohonan akan membuka pandangan ke sekeliling pulau sehingga menambah suasana indah. Tungku diberi pelindung untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Sedangkan untuk keramik dikumpulkan dan ditempatkan pada suatu bangunan. Selain itu dilakukan penataan lingkungannya dengan cara membersihkan lokasi dari tanaman liar dan membuat suatu taman.


Share:

2 komentar:

sumaryanto bronto mengatakan...

nice and intrested blog..
salam kenal om

Nothing mengatakan...

Blognya bagus dan informasinya sangat rinci.
Terima kasih

Profile

Foto saya
AGUS SUDARYADI, arkeolog yang bekerja di Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi Wilayah Kerja Prop. Jambi, Sumsel, Bengkulu, dan Kep. Bangka-Belitung yang sering melakukan Jelajah Situs dalam rangka Pelestarian Cagar Budaya. Menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Situs adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. Pekerjaan tersebut memberikan saya kesempatan untuk menjelajahi pelosok negeri di Propinsi Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Kepulauan Bangka-Belitung. Pelosok karena lokasi yang kami datangi kebanyakan berada di luar kota, bahkan sampai masuk hutan. Maklum Cagar Budaya atau Diduga Cagar Budaya yang saya tuju sekarang berada di daerah yang jauh dari kota. Kegiatan yang memerlukan stamina dan mental yang kuat adalah dalam rangka pelestarian Cagar Budaya Bawah Air. Saya telah mengikuti pelatihan Arkeologi Bawah Air di dalam dan luar negeri, antara lain Makassar Sulsel, Pulau Bintan Kepri, Tulamben Bali, dan Karimunjawa Jateng serta Thailand dan Sri lanka.

Popular Posts

Recent Posts

Pages