• Arkeologi Bawah Air

    Negara Indonesia adalah negara yang besar dengan wilayah lautannya lebih luas daripada daratannya. Potensi lautannya menyimpan kekayaan peninggalan warisan bawah air yang sangat besar.

  • Arkeologi Islam

    Masjid Jamik telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM.10/PW.007/MKP/2004 tanggal 3 Maret 2004 tentang Penetapan Benteng Marlborough

  • Benteng Marlborough

    Lokasi Benteng Marlborough berdiri kokoh di tepi laut di atas sebuah dataran dengan ketinggian lebih kurang 8,5 meter di atas permukaan laut (dpl).

  • PELESTARIAN BENDA CAGAR BUDAYA: DAHULU DAN SEKARANG

    PendahuluanBangsa Indonesia yang memproklamirkan kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945 mempunyai latar sejarah yang sangat panjang, dimulai dari masa Prasejarah sampai dengan masa kolonial.

Tampilkan postingan dengan label Arkeologi Hindu Buddha. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Arkeologi Hindu Buddha. Tampilkan semua postingan

CANDI JEPARA : Candi Terbuat dari Batu di Sumatera


Pendahuluan
Candi merupakan hasil  kebudayaan  berupa bangunan yang berasal dari masa Hindu-Budha di Indonesia. Sebarannya berada di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan. Salah satu candi yang ditemukan di Sumatera adalah Candi Jepara.  Lokasinya di Desa Jepara, Kecamatan Buay Pematang Ribu Ranau Tengah, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, Provinsi Sumatera Selatan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai Batu Kebayan. Candi Jepara sampai sekarang merupakan satu-satunya candi yang terbuat dari batu di Provinsi Sumatera Selatan, bahkan Pulau Sumatera.  Candi-candi lain umumnya terbuat dari bata.
Candi Jepara sejak dilaporkan pada tahun 1885 dalam kondisi runtuh. Batu-batu berjumlah satu hingga dua lapis masih dalam posisinya. Sementara batu lainnya tergeletak tidak jauh dari lokasinya semula.  Kegiatan dalam rangka penelitian dan pelestarian telah banyak menghasilkan laporan dan tulisan. Pelestarian Candi Jepara telah dilakukan semenjak sebelum berdirinya Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi yang sebelumnya bernama Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP). Pada saat itu pengangkataan juru pelihara menjadi tanggungjawab Bidang Museum dan Purbakala (Muskala) Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Selatan. Sejak tahun 1990 menjadi tanggung jawab SPSP Jambi.  Upaya untuk pemugarannya telah dimulai dengan kegiatan Studi Kelayakan pada tahun 2003. Namun langkah selanjutnya yang berupa kegiatan Studi Teknis baru dilakukan pada tahun 2011.  Pemugaran Candi Jepara menjadi tertunda dikarenakan adanya pemugaran di Kompleks Percandian Muarajambi dan masih perlunya dilakukan kajian. Pada tahun ini dapat dilakukan kajian teknis pemugaran dengan mengikutsertakan dua tenaga berpengalaman di bidang pemugaran candi batu yang berasal dari BPCB Jawa Tengah. Diharapkan dengan berakhirnya kajian pemugaran ini, maka data arkologis dan teknis yang terkumpul dapat memantapkan diadakannya pemugaran. Dengan demikian harapan masyarakat dan pemerintah daerah untuk bisa memanfaatkannya sebagai objek budaya dan wisata bersama Danau Ranau dapat tercapai.
-->

2.  Letak dan Lingkungan
Candi Jepara secara administratif terletak di Lokasinya di Desa Jepara, Kecamatan Buay Pematang Ribu Ranau Tengah, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, Provinsi Sumatera Selatan. Secara astronomis berada di 04o49’40,3” Lintang Selatan dan 103o59’12,7” Bujur Timur.
Candi Jepara dapat ditempuh dengan jalan darat dari Palembang menuju Kota Muaradua yang merupakan kota Kabupaten OKU Selatan. Perjalanan  tim melalui Kota Prabumulih mendapati jalan yang tidak seluruhnya mulus. Sementara perjalanan menuju Kota Baturaja mendapati jalan yang rusak dibeberapa tempat. Kerusakan yang lebih parah terjadi pada perjalanan dari Kota Martapura ke Kota Muaradua. Pada saat kegiatan ini dilakukan memang jalan-jalan di Provinsi Sumatera Selatan banyak yang mengalami kerusakan. Kemungkinan hal itu disebabkan sebelumnya telah dilaksanakan perhelatan besar Asian Games XVIII tahun 2018 yang menyedot anggaran cukup besar.
Kabupaten OKU Selatan dengan Ibukotanya Muaradua merupakan pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) yang diresmikan pada 16 Januari 2004. Lokasinya berada di ujung Barat Daya berbatasan dengan  Provinsi Lampung. Kondisinya jalannya nampaknya belum mendapat perhatian dari pemerintah Provinsi. Jalan yang menghubungkan Muaradua, baik dengan Baturaja maupun Martapura rusak dan sempit. Berbeda halnya dengan jalan lintas tengah yang menghubungkan Baturaja dan Martapura cukup mulus dan lebar.
Perjalanan  dari Muaradua ke Candi Jepara dengan kondisi jalan yang sempit tetapi dengan kondisi yang lebih baik. Kami menduga hal itu disebabkan jalan tersebut menuju objek wisata Danau Ranau atau Kota Liwa di Provinsi Lampung. Rute menuju Candi Jepara dari Muaradua akan bertemu dengan  Simpang Sender yang merupakan simpang tiga menuju Danau Ranau dan Liwa, Provinsi Lampung. Kedua arah tersebut dapat dipilih untuk sampai ke Candi Jepara. Arah Danau Rinau akan melalui Desa Banding Agung yang berada di tepi danau. Pilih jalan yang menuju ikon Danau Ranau di tepian danau dan lanjutkan menyusuri pinggiran danau hingga tiba simpang Desa Jepara. Namun sebelum itu akan melalui Pantai Pelangi yang berpasir dan air bening dari Danau Ranau. Suasananya cukup indah dengan pemandangan Gunung Seminung di depannya. Jalan melalui tepian danau ini berupa jalanan yang sempit dengan kondisi datar dan menanjak hingga memerlukan kehati-hatian.
Rute yang menuju Liwa di Provinsi Lampung lebih nyaman karena kondisi jalan yang lebar dan mulus. Namun pemandangannya tidak seindah melalui tepian Danau Ranau. Setelah melalui Simpang Sender akan bertemu dengan Desa Hangkusa dimana di sebelah kanan jalan terdapat simpang menuju Desa Jepara. Perjalanan lanjut hingga menemukan Kantor Kepala Desa dan terus melalui jalan di depannya. Ada baiknya juga apabila bertanya kepada penduduk arah menuju Batu Kebayan. Bagi yang merencanakan menginap setelah kunjungan ke Candi Jepara, bisa memilih penginapan  sekitar Danau Ranau  di Desa Banding Agung agar dapat  menikmati pemandangan alam yang telah disebutkan di atas.
Candi Jepara berada di tengah-tengah kebun kopi. Tanahnya telah dibebaskan pada tahun 2011 oleh BPCB Jambi dengan luas 1.820 m2 dan empat tahun kemudian disertifikat dengan Nomor 01 tertanggal 22 April 2015. Namun kondisinya tidak mencerminkan luas yang seperti tercantum di sertifikat. Juru pelihara hanya memelihara lahan sekitar 140 m2 termasuk jalan setapak yang lebarnya sekitar 2 meter. Juru pelihara memberi tanaman hias dari jalan masuk hingga sekelilingi candi. Sementara sekitarnya berupa tanaman kopi dan abasia.
Lokasinya cukup jauh dari pemukiman, tetapi pada saat kegiatan telah ada dua rumah yang dekat candi. Rumah yang paling dekat dengan candi adalah rumah juru pelihara yang belum selesai pembangunannya.  Kebutuhan akan rumah hunian baru akan memunculkan rumah-rumah baru di sekitar candi. Apalagi jalan yang melintas di depan candi menuju daerah wisata Danau Ranau. Hal itu tentu saja menimbulkan kekhawatiran akan terhimpitnya candi oleh rumah penduduk.

3.  Riwayat Penelitian dan Pelestarian
Candi Jepara pertama kali diketahui dari laporan G. A. Schouten  tahun 1885 yang dimuat  dalam  Notulen Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenchappan (NBG). Dilaporkan candi yang denahnya berukuran panjang 9,6 meter dan lebar 8,1 meter. Van der Hop di dalam buku Megalithic Remains in South Sumatera tahun 1932 menulis tentang adanya sebuah candi bercorak Hindu dan sebuah lumpang batu berukuran Panjang 70 cm dan lebar 50 di Desa Jepara, Kecamatan Banding Agung. Sementara F.M. Schnitger pada tahun 1935 menulis di dalam buku The Archaeology Hindoo of Sumatera bahwa di sebelah Timur bangunan ditemukan undakan yang diduga adalah kaki candi. Tulisan di dalam Oudheidkundige Verslag (OV) tahun 1941 menyebut tentang candi batu yang letaknya tidak jauh dari danau.
Setelah masa kemerdekaan, Soekmono pada tahun 1954 melakukan survei dan melaporkan temuan pelipit bangunan berupa setengah bulat dan sisi genta seperti pelipit candi di Jawa Tengah. Pada tahun 1984 Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melakukan peninjauan dan menemukan 30 batu berpahat dan berpelipit di tengah kebun kopi. Penelitian pada tahun 1993 melakukan penelitian bidang arkeometri dan menemukan banyak batu candi berupa antefik dan batu berpahat untuk pembuatan jalan. Hasil ekskavasi menyimpulkan candi yang belum selesai berdasarkan adanya goresan-goresan lengkung dibagian pintu masuk yang masih berupa rancangan pola. Candi Jepara diduga berlanggam Jawa Tengah abad 9-10 Masehi.
Pada tahun-tahun berikutnya setelah berdirinya Unit Pelaksana Teknis  penelitian dan pelestarian di wilayah Sumatera bagian Selatan, maka penelitian dan pelestarian lebih intensif lagi. Balai Arkeologi Palembang pada tahun 1996 melakukan survei terhadap situs-situs arkeologi di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) dan menyimpulkan bahwa candi semasa dengan Prasasti Bawang atau Hujung Langit yang berangka tahun 919 Saka (997 Masehi). Pada tahun 1999 Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jambi  melakukan ekskavasi dan menyimpulkan bahwa candi berukuran 8 x 9 meter dan  tidak ada komponen bangunan lainnya berupa candi perwara atau pagar keliling.
Dalam rangka pemugarannya telah dilakukan Studi kelayakan pada tahun 2003 melalui Proyek Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jambi. Pada tahun 2011 dilakukan Studi Teknis melalui serangkaian kegiatan ekskavasi, susunan percobaan, dan diskusi dengan Pemugar berpengalaman dari BPCB Jawa Tengah bernama Bapak Sudarno. Namun data yang terkumpul belum mencukupi sehingga perlu dilakukan kegiatan lanjutan. Oleh sebab itu, pada tahun ini dilakukan kegiatan Kajian Teknis Pemugaran Candi Jepara guna melengkapi data arkeologis dan teknis yang dapat digunakan untuk melakukan rekonstruksi bangunan  dan Rencana Anggaran Biaya (RAB).

4.  Hasil Survei dan Ekskavasi
a.   Survei
Candi Jepara yang terletak di sebelah Barat Desa Jepara berada di tengah kebun kopi. Situasinya berbeda dengan kondisi saat dilakukan Studi Teknis dimana lahannya masih terbuka hingga pandangannya lebih luas. Namun memang terasa panas karena tidak adanya pohon yang bertajuk tinggi. Kondisi sekarang dikarenakan adanya pemanfaatan lahan untuk tanaman kopi dan abasia.  Disarankan agar tanaman-tanamaan itu dikurangi untuk memberi ruang pandang yang lebih baik. Pada saat dilakukan pemugaran nanti lahannya akan digunakan penempatan batu-batu yang dibongkar dan dikonservasi serta pendirian bangunan kerja (werkeet).
Lokasi Candi Jepara masih berada jauh dari pemukiman penduduk, tetapi telah muncul rumah baru di sebelah Timur candi. Bukan tidak mungkin kedepannya akan lebih banyak lagi rumah-rumah baru di sekitar candi karena adanya jalan yang menuju Danau Ranau. Kondisi yang demikian harus segera ditindak lanjuti dengan perluasan lahan yang ideal untuk zona inti, zona penyangga, dan zona pengembangan.
Survei yang dilakukan berdasarkan batas tanah yang telah dibebaskan BPCB Jambi seluas 1.820 m2 menunjukkan permukaan tanah yang relatif datar. Namun di sisi Utara terdapat permukaan tanah yang miring ke arah Utara. Pada jarak 9,10 meter  ditemukan sebaran batu-batu bulat dengan orientasi Barat-Timur atau sejajar candi yang diperkirakan berfungsi sebagai penahan tanah dari erosi karena  pada jarak sekitar 10 meter berikutnya kemiringan permukaan tanahnya semakin tajam. Sementara di sebelah Timur yang berjarak 24,80 meter terdapat gundukan tanah. Menurut informasi gundukan pernah di ekskavasi dan tidak ditemukan struktur bangunan.
Survei yang dilakukan dengan radius sekitar 100 meter dari candi menemukan parit selebar 6 meter dan sumber mata air berbentuk kolam dengan lebar sekitar 9 meter yang sekitarnya terdapat batu-batu pasiran dengan ukuran yang bervariasi di sebelah Utara.

b.  Ekskavasi
Ekskavasi pada runtuhan Candi Jepara bertujuan untuk melengkapi data hasil ekskavasi yang pernah dilakukan, baik melalui kegiatan ekskavasi tahun 1999, studi kelayakan tahun 2003, dan studi teknis tahun 2011. Ekskavasi tahun 1999 diarahkan pada bangunan candi dan halaman. Ekskavasi dilakukan dengan membuka lima kotak uji, yaitu dua kotak terdapat pada bangunan candi dan tiga kotak di halaman. Kotak ekskavasi yang dilakukan pada bangunan adalah JPR-1 dan JPR-2. Kotak JPR-1 di Sudut Barat Laut bertujuan menemukan sudut asli pondasi. Setelah dilakukan penggalian sedalam 14 meter menemukan pondasi hanya satu lapis. Kotak JPR-2 bertujuan untuk membuktikan dan menampakkan struktur di bagian tangga. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar strukturnya telah lepas dan tidak beraturan. Hasil ekskavasi menyimpulkan bahwa candi tidak dilengkapi candi perwara dan pagar keliling. Penelitian Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Jakarta juga tidak menemukannya.
Ekskavasi yang dilakukan dalam kegiatan Studi Kelayakan tahun 2003 menggali lima kotak uji. Kotak uji diberi kode JPR 1 hingga JPR 4.  Kotak JPR 1 terletak di bagian sudut Barat Laut yang diperkirakan sudut bangunan. Pada kedalaman 45 cm merupakan akhir dari bata fondasi. Kotak JPR 2 terletak di sudut bangunan sisi Barat Daya. Penggalian pada hingga kedalaman 52 cm menemukan susunan batu pasiran berwarna putih yang merupakan fondasi. Kotak JPR 3 terletak di sudut Tenggara bangunan. Penggalian hanya sampai kedalaman 50 cm dan dipastikan bahwa batu-batu yang ditemukan merupakan bagian sudut Tenggara. Kotak JPR 4 terletak di sisi Timur struktur tangga. Penggalian hingga kedalaman 45 cm merupakan akhir dari struktur batu. Kotak JPR 5 terletak di sudut Timur Kotak JPR 1 bertujuan untuk mengetahui tingkat kemasifan struktur dan ketebalan dinding candi.  Kotak ini berarti berada di bagian dalam candi sisi Utara. Hasilnya berupa penemuan fragmen kendi tanah liat  berdiameter 20 cm dan tingginya 13,5 cm. Kendi berdiri di landasan dari batu pasiran berbentuk persegi.
Pada kajian teknis pemugaran kali ini,  ekskavasi menggunakan metode grid dimana lahan dibagi menjadi kotak-kotak berukuran 2 x 2 meter. Metode grid ini akan berlanjut digunakan pada saat pemugaran nantinya. Titik nol atau Datum Point (DP) berada di sebelah Barat Daya bangunan ditandai dengan patok kayu. Penamaan grid ke arah Timur diberi huruf A, B, C, dan seterusnya, sementara ke arah Utara diberi angka 1, 2, 3 dan seterusnya. Kode kotak gali akan mempunyai tanda gabungan keduanya yang dimulai dengan hruf kemudian angka, misalnya A1, B3, dan seterusnya. Tehnik penggalian yang dilakukan menggunakan teknik lot. Di dalam  buku Metode Arkeologi disebutkan tehnik lot adalah tehnik menggali yang menggabungkan tehnik lapisan alamiah dan tehnik spit.   
Ekskavasi dilakukan pada enam kotak, yaitu Kotak C3, G6, F7, F8, E9, dan D6. Kotak C3 berada di sudut Barat Daya untuk mengetahui kestabilan fondasi di sana. Kotak G6 berada di Sudut Tenggara dengan tujuan yang sama, Kotak F7 dan F8 bertujuan untuk mengetahui fondasi bagian tangga, Kotak E9 berada di sudut Timur Laut untuk juga untuk mengetahui kestabilan fondasi, dan Kotak D6 untuk mengetahui lapisan tanah dibagian tengah gundukan.

5.  Deskripsi Candi Jepara
Candi Jepara dibangun oleh masyarakat yang mendiami wilayah pedalaman Sumatera. Candi Jepara bersama-sama dengan Candi Tingkip dan Candi Lesung Batu di Kabupaten Musirawas Utara dan Candi Binginjungut di Kabupaten Musi Rawas lokasinya cukup jauh dari pusat kerajaan Sriwijaya yang diperkirakan di Palembang. Kerajaan Sriwijaya berdasarkan temuan arkeologisnya bercorak agama Budha. Namun masyarakatnya tidak hanya beragama Budha tetapi ada juga yang beragama Hindu. Hal itu ditunjukkan dari keberadaan candi di Desa Bumiayu di Kabupaten PALI, arca Ganesha di Kota Palembang dan Sarolangun, Provinsi Jambi serta Arca Wisnu di Kota Kapur, Kabupaten Bangka. Candi Jepara belum dapat dipastikan latar belakang agamanya karena tidak ditemukannya unsur-unsur yang terdapat di kedua agama tersebut seperti arca Agama Hindu atau Budha dan unsur-unsur bangunan seperti ratna atau stupa dan relief cerita.
Informasi mengenai Candi Jepara berdasarkan ciri-ciri arsitekturnya mempunyai persamaan dengan candi-candi yang berasal dari periode 7-10 Masehi. Temuan arkeologis dari masa Hindu Budha yang terdekat adalah Prasasti Bawang atau Prasasti Hujung Langit di sebelah Tenggara Danau Ranau, tepatnya di Desa Hanakau, Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten Lampung Barat. Prasasti mempunyai tulisan dalam 18 baris dalam Bahasa Jawa Kuno. Isinya mengenai Ekspedisi ke Sumatera pada masa Raja Dharmawangsa dari Pulau Jawa pada abad 10 Masehi. Sementara berdasarkan kedekatannya dengan daerah Lampung sekarang, maka diduga penyebar agama yang merubah kepercayaan masyarakat pendiri candi berasal dari sana. 
Candi Jepara yang terbuat dari batu merupakan candi batu satu-satunya di Sumatera. Batu yang digunakan diperkirakan jenis batu tufa. Tufa adalah jenis batuan piroklastik yang mengandung debu vulkanik yang dikeluarkan selama letusan gunung berapi. Candi berada di daerah dataran tinggi Sumatera Selatan atau tepatnya dekat dengan Danau Ranau dan Gunung Seminung. Danau Ranau merupakan danau terluas kedua setelah Danau Toba di Pulau Sumatera. Luasnya mencapai 125,9 km2. Letaknya di ketinggian 54 meter di atas permukaan air laut.  Danau terbentuk dari gempa tektonik dan letusan Gunung purba sekitar 55 ribu tahun yang lalu. Letusan dahsyat membentuk kaldera dan dapur magma yang aktif melahirkan Gunung Seminung. Gunung Seminung merupakan gunung berapi yang tingginya 1861 meter. Secara geologis dikategorikan sebagai gunung api muda. Tentu saja daerah ini mempunyai sumber batu alam. Dengan demikian tidak mengherankan bahwa masyarakat pendukungnya saat itu membangun candi dari batu.
Candi ditemukan kembali dalam keadaan runtuh. Keruntuhan candi diperkirakan karena faktor alam dan manusia. Faktor alam disebabkan dari gempa, baik vulkanik maupun tektonik. Gempa vulkanik disebabkan oleh letusan Gunung Seminung dan gempa tektonik akibat tubrukan lempeng di sebelah Barat Pulau Sumatera. Pulau Sumatera terletak  pada batas lempeng konvergen antara lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia. Secara historis, gempa besar tercatat pernah terjadi pada tahun 1833, 1861, 2004, 2005, dan 2007. Bisa dibayangkan sebuah gempa besar telah mengakibatkan ketakutan, korban jiwa,  dan menghancurkan bangunan-bangunan termasuk candi. Sementara kerusakan akibat manusia terjadi pada masa kemudian dimana masyarakat tidak tahu tentang candi hanya melihat bahwa banyak batu-batu yang dapat dimanfaatkan untuk fondasi rumah atau jalan. Kerusakan akibat manusia ini terlihat dari sedikitnya batu-batu candi di sisi Selatan yang berada dekat jalan. Berbeda dengan di sisi lainnya yang masih cukup banyak. Sekarang Candi Jepara terlihat berupa gundukan tanah yang dikelilingi batu membentuk denah segi empat. Gundukan  tingginya 82 cm. Orientasi candi ke Timur Laut atau sekitar 60o dimana pada arah tersebut terdapat tangga.
Candi berdiri di lahan yang permukaan tanahnya miring ke Utara. Pada jarak sekitar 10 meter ke Utara kemiringannya semakin curam. Temuan batu-batu alam berjarak  9,10 meter di sebelah Utara yang sejajar bangunan diperkirakan sebagai upaya untuk menahan tanah dari erosi. Permukaan tanah yang miring disiasati pembangun candi dengan batu fondasi dan batu lapis pertama yang berbeda ketinggian. Perbedaan ini terlihat dari tinggi atau rendahnya posisi takik pada batu fondasi. Sementara pada batu lapis pertama terlihat dari pelipit rata paling bawah yang berbeda ukuran, yaitu batu di sisi Tenggara tebalnya 10 cm, sisi Timur Laut 16 cm, dan  sisi Barat Laut 20 cm.
Batu-batu yang menyusun candi terdiri dari batu isian, batu kulit, dan batu lantai. Batu isian terdiri dari dua deret. Batu isian ini mempunyai permukaan yang kasar dan polos, tetapi ada juga yang mempunyai takikan. Batu kulit  sebagian besar telah runtuh dan menyisakan batu lapis pertama dan kedua di beberapa tempat. Itupun kondisinya telah melesak, renggang, dan patah. Sementara batu tangga yang masih ditempatnya berasal dari batu pipi tangga. Batu anak tangga terlepas seluruhnya. Pipi tangga mempunyai bentuk yang melengkung pada ujungnya dan  pada dindingnya terdapat ikal tangga. Batu kulit yang masih ditempatnya di sisi Barat Laut berjumlah 19, sisi Barat Daya berjumlah 18, sisi Tenggara 14, dan sisi Timur  Laut 12. Sementara batu yang runtuh berasal dari batu lapis ketiga dan batu sudut. Letaknya sebagian besar masih berada di dekat asalnya.  Beberapa batu yang jauh berpindah diperkirakan aktivitas manusia yang memindahkannya.  Batu yang runtuh di sebelah Barat Laut berjumlah 14, sebelah Barat Daya berjumlah 19, sebelah Tenggara berjumlah 12, dan sebelah Timur laut 32. Penjumlahan batu kulit yang masih berada ditempatnya dan batu runtuhan, yaitu Barat Laut berjumlah 33 batu, Barat Daya berjumlah 37 batu, Tenggara berjumlah 26, dan Timur Laut berjumlah 44 batu. Total batu sekitar 140 batu. Jumlah batu kulit dan tangga yang terdiri dari  pipi tangga dan anak tangga  diperkirakan mencapai sekitar 80 %.
Batu kulit setelah dilakukan pengamatan selanjutnya disebut sebagai tipe 1, 2, 3, dan 4. Batu keempat tipe tersebut ada yang dibentuk dalam satu batu tetapi juga ada dari gabungan beberapa batu. Batu tipe 1 adalah batu yang berada di lapis pertama yang mempunyai bentuk pelipit rata dan ojief. Batu tipe 2 ditandai adanya bentuk setelah lingkaran (halfround), Batu tipe 3 mempunyai bentuk  pilaster dan panel, dan batu tipe 4 seperti batu tipe 3 tetapi untuk ditempatkan di sudut bangunan. Pada batu tipe 3 terdapat lubang yang posisinya tepat pada bagian yang ada pilaster. Lubang berukuran 8 x 8 cm dengan kedalaman 7 cm. Lubang-lubang di daerah sudut bangunan berjumlah tiga dan tengah berjumlah satu. Di atas lubang tersebut diperkirakan dahulunya berdiri tiang-tiang kayu berbentuk persegi berukuran 16 x 16 cm.
Batu-batu bagian tangga yang terdiri dari anak tangga dan pipi tangga. Tenaga pengalaman pemugaran candi batu yang terlibat melakukan kegiatan anastilosis berupa mencari, menidentifikasi, dan susunan percobaan sehingga membentuk profil dinding, pipi tangga, dan tangga. Pada saat kegiatan berakhir batu-batu yang runtuh menjadi berkurang karena sudah terpasang. Batu yang belum terpasang karena berukuran besar dan tidak diketahui lagi susunannya. Pada akhirnya tidak hanya profil candi dapat diketahui tetapi juga ukuran denah candi. Diperkirakan tinggi candi adalah 142 cm sedangkan ukuran denah panjang sisi Barat Laut adalah 825 meter, sisi Barat Daya 779 meter, sisi Tenggara 914 meter,  dan Timur Laut adalah 794 meter.
Batu lantai tidak ditemukan sisa-sisanya. Perkiraan adanya lantai berdasarkan kepada temuan adanya ruang dari batu kulit  untuk dapat menyangga batu lantai. Batu lantai untuk menutupi batu isian dan tanah timbunan.
Di candi juga terdapat batu yang cukup besar berukuran panjang 125 cm, lebar 125 cm, dan tebal 45 cm.  Pada  satu sisinya terdapat pahatan yang berbentuk dua pilaster  dan tiga panel. Batu tersebut tidak diketahui keletakannya maupun fungsinya. Kemungkinan diletakkan di tengah bangunan dengan sisi yang berpahat menghadap ke Timur Laut sesuai arah candi.

6.  Rencana Penanganan
Candi Jepara tidak boleh dilakukan pemugaran secara sembarangan. Pada dirinya melekat aturan mengenai pemugaran. Pemugaran sebagai bagian dari upaya pelestarian merupakan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengembalikan keaslian bentuk bangunan cagar budaya dan memperkuat bila diperlukan yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi arkeologis, historis, dan teknis. Pemugaran dapat diartikan sebagai suatu upaya pelestarian bangunan cagar budaya yang sasarannya meliputi perbaikan struktur dan pemulihan arsitektur yang ditetapkan berdasarkan permasalahan kerusakan yang dihadapi.
Perbaikan struktur adalah suatu upaya penanggulangan dan pencegahan terhadap kerusakan bangunan dengan cara memperbaiki dan memperkuat strukturnya bila diperlukan, termasuk di dalamnya perawatan terhadap komponen atau unsur bahan asli sesuai dengan kondisi teknis dan keterawatannya. Pemulihan arsitektur adalah suatu upaya pemasangan kembali komponen atau unsur bangunan ke dalam bentuk arsitektur aslinya berdasarkan otensitas data, serta melakukan penggantian pada bagian bangunan yang rusak atau hilang dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip pemugarannya. Prinsip-prinsip pemugaran itu tertuang dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya pada pasal 77 (ayat 2) huruf a bahwa pemugaran Cagar Budaya harus memperhatikan keaslian bahan, bentuk, tata letak, gaya, dan/atau teknologi pengerjaan.

Perbaikan Struktural
Perbaikan struktural merupakan bagian dari pekerjaan pemugaran bangunan yang kegiatannya  menitikberatkan pada upaya penanggulangan dan pencegahan terhadap segala permasalahan kerusakan, baik yang berkenaan dengan kerusakan struktural maupun pelapukan bahan. Kegiatan yang dilakukan  antara lain pembongkaran, perkuatan struktur, perawatan/konservasi, dan pergantian unsur

Pemulihan Arsitektural
Pemulihan arsitektural merupakan bagian dari pekerjaan pemugaran bangunan yang sasarannya menitik beratkan pada upaya pemasangan kembali unsur bangunan ke dalam bentuk keaslian bentuk arsitekturnya. Pemulihan bangunan senantiasa harus berpedoman pada keaslian bentuk, bahan, pengerjaan, dan tata letak, serta nilai sejarah dan kepurbakalan yang terkandung didalam bangunan cagar budaya. Kegiatannya meliputi penanganan unsur yang rusak, penanganan unsur yang hilang, persyaratan penggantian unsur, dan penyelesaian bentuk akhir.

Penataan Lingkungan
Pemugaran bangunan cagar budaya sasarannya tidak hanya pada penanganan fisik bangunan, tetapi termasuk pula penataan lingkungan lahan situs yang merupakan bagian integral dari upaya pelestarian. Kegiatan utamanya adalah penataan lahan situs, pengadaan sarana penunjang, dan pertamanan yang diperuntukan bagi pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatanya. Kegiatannya meliputi penataan lingkungan lahan situs, pengadaan sarana penunjang, dan pertamanan.

Share:

RUNTUHAN CANDI TINGKIP


Pendahuluan
Candi Tingkip mulai dikenal sebagai salah satu situs arkeologi pada tahun 1981 ketika ditemukannya sebuah arca Buddha dari batu andesit yang sekarang disimpan di Museum Balaputradewa Propinsi Sumatera Selatan di Kota Palembang. Pada mulanya penelitian Arkeologi yang dilakukan berupa survei dan pengamatan arca Budha. Satyawati Sulaiman di dalam artikelnya menyebutkan bahwa  arca  dibuat menurut aturan atau kelaziman pahatan arca-arca pra-Angkor (abad 6 - 7 M) atau Dwarawati (abad 6 – 9 M).  Namun penggambaran senyuman bibir arca tersebut tidak selebar arca-arca dari Kamboja, Thailand, atau langgam Dwarawati sehingga dapat dipastikan bahwa arca tersebut merupakan buatan setempat. Menurut Mc Kinnon (1984) arca Buddha tersebut dipahat dengan langgam Post Gupta.
Setelah dilakukan ekskavasi pada tahun 1998 oleh tim dari Kantor Balai Arkeologi Palembang, maka diketahui bahwa situs tersebut telah mengalami kerusakan yang berat. Bangunan yang ditemukan hanya berupa fondasi dan anak tangga. Berdasarkan bentuk profil pelipit-pelipit pondasi,  arah hadap candi, dan  hasil pertanggalan arca diduga  Candi Tingkip berasal dari abad 8 Masehi.

Letak dan Lingkungan
Candi Tingkip terletak di Desa Sungai Jauh, Kecamatan Rawas Ulu, Kabupaten Musi Rawas, Propinsi Sumatera Selatan yang secara astronomis berada pada koordinat 2º31’51,2” LS dan 102º47’59,5” BT. Situs ini berada pada ketinggian 75 m di atas permukaan laut.        
Candi dapat dijangkau melalui jalur darat dari Jambi menuju Singkut, Kabupaten Sarolangun, Propinsi Jambi. Perjalanan dilanjutkan sampai ke Simpang Nibung, Kabupaten Musirawas, Propinsi Sumatera Selatan. Lokasi Simpang Nibung ini tidak jauh dari tugu perbatasan antara Propinsi Jambi dan Propinsi Sumatera Selatan. Perjalanan berikutnya melalui jalan aspal yang telah mengalami kerusakan di beberapa tempat sampai ke Simpang Subur. Candi Tingkip berada 9 km dari Simpang Nibung dan 300 m dari Simpang Subur.
Situs ini berada di tengah-tengah perkebunan karet milik Ibu Siti Nurbaya yang sekarang menjadi juru pelihara.  Di sebelah baratnya dengan jarak sekitar 100 m terdapat perkampungan penduduk dan Sungai Tingkip. Sementara di sebelah selatannya terdapat perkebunan sawit milik penduduk setempat.  

Riwayat Penelitian
Situs Tingkip mulai dikenal sebagai situs Arkeologi sejak pertengahan bulan Maret tahun 1981, ketika sebuah arca Buddha dari batu ditemukan oleh Ibu Siti Nurbaya berdasarkan mimpi. Beliau beserta penduduk selanjutnya melakukan penggalian dalam rangka mengangkat arca yang dalam kondisi tertimbun tanah. Penggalian  yang dilakukan tanpa metode ekskavasi itu berhasil mengangkat arca tersebut, tetapi telah merusak struktur bata yang ada. Struktur bata yang rusak dapat kita jumpai sampai sekarang yang berupa lubang di bagian tengah gundukan tanah.
Penemuan arca Budha telah menarik minat para ahli untuk menelitinya. Kajian Satyawati Suleiman terhadap arca Budha menyimpulkan arca dibuat menurut aturan pahatan arca Pra-Angkor (abad 6 - 7 Masehi) dan Dwarawati (abad 6 - 9 Masehi). Namun penggambaran senyuman bibir arca tersebut tidak selebar dari arca-arca yang terdapat di Kamboja, Thailand, atau langgam Dwarawati sehingga dipastikan merupakan buatan lokal. Pada tahun 1984 seorang berkebangsaan asing yang bernama E. Edward Mc Kinnon yang melakukan Survei Arkeologi di Sumatera dan mampir di Situs Tingkip menyebutkan bahwa lokasi temuan arca itu oleh penduduk disebut dengan ”candi”. Letaknya berada di tepi Sungai Tingkip. Menurut Mc Kinnon arca Budha berlanggam post-Gupta.
Pada tahun 1993 lokasi temuan arca Budha diteliti oleh Bambang Budi Utomo. Pada laporan penelitiannya menyebut peninggalannya dengan nama Candi Tingkip, sedangkan  lokasinya dengan nama Situs Tingkip. Pada tahun 1994 dilakukan pendataan terhadap kepurbakalaan di Kabupaten Musirawas oleh SPSP Jambi yang salah satunya adalah  Situs Candi Tingkip.  Di situs tersebut ditemukan sebuah gundukan tanah setinggi 0,5 m dari permukaan tanah dengan ukuran 7 x 7 m dan di sekitarnya bertebaran bata-bata di semak-semak yang relatif rimbun di kawasan perkebunan karet. Pengukuran pada batu yang masih utuh adalah 33,5 x 16 x 7 cm.
Pada tahun 1998 dilakukan ekskavasi oleh tim dari Balar Palembang dengan membuka tujuh  buah kotak. Pada empat buah kotak ekskavasi ditemukan struktur bata. Penemuan struktur bata tersebut memperkuat dugaan bahwa lokasi itu merupakan candi. Lapisan batanya berjumlah 15 lapis. Dari struktur bata yang ditemukan diperkirakan bagian sisi Barat dan timur berjarak 7,60 meter. Sementara sisi lainnya belum diketahui dengan pasti. Namun  demikian dapat diperkirakan bahwa candi berdenah bujursangkar. Temuan bagian tangga Candi Tingkip memberikan dugaan arah hadapnya ke 80 derajat.  

Kondisi Bangunan 
Candi Tingkip dari kejauhan tampak berbeda dibandingkan dengan lingkungan sekitarnya yang tampak hijau  oleh daun-daun dan semak-semak. Kondisi gundukan berwarna kecoklatan dari warna tanah dan semak-semak yang telah mati. Di atas gundukan dijumpai bata-bata yang telah dikumpulkan. Tanda-tanda telah dilakukannya ekskavasi oleh Balai Arkeologi Palembang tahun 1998 tidak tampak lagi. Namun lubang besar yang tercipta dari hasil pengangkatan arca masih tampak jelas. Sementara itu di sisi Timur terdapat lubang memanjang yang menurut laporan adalah hasil penggalian liar dalam rangka mencari harta karun.
Gundukan tanah yang di dalamnya terdapat struktur candi itu berukuran 7,6 x 7,6 meter dengan tinggi sekitar 1 meter. Di atas gundukan tumbuh pohon karet berjumlah 6 batang. Di bagian tengah gundukan terdapat lubang dengan kedalaman 50 cm.  Lubang tersebut bekas penggalian liar ketika mencari arca Buddha. Di sebelah timur gundukan juga terdapat lubang bekas penggalian liar yang berukuran 1 x 3 meter dengan kedalaman 70 cm. Selain itu di sekitar gundukan banyak terdapat tumpukan bata-bata hasil penelitian dan juga dari penggalian liar. Pada lokasi bekas galian arca banyak ditemukan batu kerakal. Batu-batu kerakal itu diduga merupakan bahan yang dipergunakan untuk fondasi. Batu-batu kerakal tersebut terangkut ke atas  ketika dilakukan penggalian dalan rangka mengangkat arca. Perkiraan itu diperkuat dengan temuan bahwa lapisan bata dibagian fondasi hanya sebanyak satu lapis.
Hasil survei menunjukkan bahwa Candi Tingkip diperkirakan hanya terdiri dari satu bangunan candi tanpa adanya candi perwara atau pagar kelliling. Dibuktikan dengan penggalian yang dilakukan di sebelah Utara, Timur, Selatan, dan Barat  dengan jarak 50, 15, 10, dan 25 meter tidak  menemukan adanya struktur bata. Satu hal yang menarik bahwa Candi Tingkip terletak dekat dengan aliran sungai. Aliran sungai ini mengalir di sebelah Barat dan kemudian berbelok ke Selatan sehingga menjadi berada di sebelah Utara candi.  Aliran sungai yang mengalir di sebelah Barat akan terlihat ketika mulai mendekati candi. Sungai yang tampak sekarang berukuran kecil. Namun menurut informasi sekitar tahun 1990-an masih lebar dan volume airnya besar.  Sementara itu  aliran sungai yang berada di sebelah Utara walaupun volume airnya juga kecil namun yang mengherankan bahwa di sini terdapat cekungan yang sangat lebar mencapai 40 meter. Hal itu menimbulkan dugaan bahwa volume air sungai dahulunya cukup besar. Mungkin aliran sungai yang berada di sebelah Utara itu menjadi sarana transportasi dari dan ke candi.   
Hasil Ekskavasi menunjukkan bahwa Candi Tingkip telah mengalami kerusakan yang cukup  parah secara arsitektural dan struktural.  Kerusakan secara arsitektural terlihat dari hilangnya susunan bangunan bagian atas yang umumnya terdiri dari bagian tubuh dan kepala. Susunan bangunan yang tersisa adalah bagian dari tangga dan kaki candi. Letak tangga berada di sisi sebelah Timur berukuran 1,5 x 1,5 meter. Dengan ditemukannya tangga di sebelah Timur sehingga dapat dipastikan bahwa arah hadap candi adalah Timur.  Sedangkan kaki candi berdenah bujur sangkar berukuran 7 x 7 meter. Lapisan bata yang terdapat di bagian kaki berjumlah 15 lapis.  Susunan lapisan bata yang terdapat di Candi Tingkip mencapai ketinggian 105 cm.
-->
Share:

CANDI TELUK II MUARAJAMBI


Pendahuluan 
Candi Muarajambi telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Muarajambi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 259/M/2013 tanggal 30 Desember 2013 tentang Satuan Ruang Geografis Muarajambi sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional. Di kawasan yang mempunyai luas 3.981 ha diperkirakan terdapat 14 Candi, 74 Menapo, 17 Parit atau Kanal, Sembilan Kolam, Enam Danau, dan Satu bukit. Menapo adalah gundukan tanah yang didalamnya terdapat struktur bangunan dari bata. Menapo yang telah dipugar diberi nama Candi. Candi-Candi di Muarajambi merupakan kompleks candi yang terdiri dari Candi Induk, Candi Perwara, pagar keliling, dan gapura. Masing-masing kompleks candi tidak ada yang sama, antara lain bentuknya, jumlahnya, dan pola halamannya. Candi-candi yang telah dipugar, yaitu Candi Astano, Candi Kembar Batu, Candi Tinggi, Candi Tinggi II, Candi Gumpung, Candi Gedong I, dan Candi Gedong II. Candi yang sedang proses pemugaran adalah Candi Kedaton. Candi-candi lainnya masih berupa menapo. 
Laporan pertama penemuan Candi Teluk terjadi pada tahun 1980 pada saat proses pembangunan pabrik kayu Lapis PT. Gaya Wahana Timber. Candi ditemukan ketika sedang berlangsung perataan tanah menggunakan bulldozer untuk persiapan pembangunan bangsal kerja B. Setelah itu tim dari Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (Ditlinbinjarah) dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslitarkenas) mengadakan survei sekaligus ekskavasi untuk memperoleh keyakinan bahwa yang ditabrak bulldozer adalah bangunan kuna dan daerah daerah itu adalah situs purbakala. Tim menemukan sisa-sisa bangunan bata yang merupakan sudut tembok sisi Utara pagar keliling. Berdasarkan temuan itu diketahui bahwa Candi Teluk mempunyai ukuran keliling 50 x 50 meter. Selain itu juga mendapati tumpukan sisa bangunan bata di sebelah Tenggara sekitar 25 meter dari Candi Induk. Demikian pula pada lokasi lebih kurang 130 meter di sebelah Utara Candi Induk ditemukan sisa bangunan kuno. Di sekitar reruntuhan bangunan kuna ditemukan sejumlah pecahan keramik Cina dari Dinasti Tang (abad 7-10 Masehi), Yuan (abad 13-14 Masehi), dan Ming (abad 14-17 Masehi). 
Pada awal tahun 1986, Ditlinbinjarah mengadakan studi dampak pabrik PT. Gaya Wahana Timber terhadap bangunan Candi Teluk. Hasil studi menyatakan bahwa pabrik akan memberikan dampak luas terhadap bangunan candi, dimana pengaruh getaran mesin, asap cerobong mesin generator juga akan mempengaruhi keawetan bahan. Pada tahun 1986 kembali Puslitarkenas melakukan ekskavasi di Candi Teluk. Kali ini targetnya adalah runtuhan bangunan gapura pada pagar sisi Timur dan hamparan pondasi bata dekat tepi Sungai Batanghari. Berdasarkan penelitian itu diketahui bahwa Candi Teluk merupakan sebuah kompleks candi. 
Pada tahun 1993, ketika PT. Gaya Wahana Timber akan memperluas kawasannya untuk tempat pembuangan limbah kayu dengan tidak sengaja bulldozer telah menyingkap sebuah bangunan tanah yang berisi bangunan candi. Untuk kepentingan penyelamatan terhadap bangunan tersebut dari kerusakan lebih lanjut, Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) mengadakan kegiatan ekskavasi penyelamatan dan survei untuk mengetahui ukuran maupun komponen penyerta lainnya. Hasilnya ternyata sebuah bangunan candi dengan sebagian struktur telah mengalami kerusakan. Temuan lain berupa pecahan keramik berasal dari Dinasti Sung (abad 10-13 Masehi), Ming (abad 14-17 Masehi), dan sebagian kecil dari Dinasti Ching (abad 18-19 Masehi). Temuan runtuhan bangunan tersebut kemudian dikenal sebagai Candi Teluk II. 
Pada tahun 2002 SPSP melakukan studi evaluasi dampak keberadaan PT. Gaya Wahana Timber di area Situs Kemingking. Hasil kegiatan melaporkan lahan candi dan mess pabrik hanya dibatasi pagar dan parit yang mengalirkan limbah pabrik dan limbah rumah tangga dan tidak jauh dari lokasi candi Teluk II terdapat pembakaran limbah kayu. Dalam rangka penanganan Candi Teluk II, Tim merekomendasikan agar dilakukan perluasan lahan Candi Teluk II untuk memberi ruang gerak dan tata ruang bangunan kuna, membuat akses jalan bagi pengunjung, memindahkan lokasi pembakaran limbah kayu, membuka dan menampakkan struktur Candi Teluk II sesuai dengan prinsip pelestarian berdasarkan hasil penelitian SPSP Jambi. Kondisi pada tahun 2016 setelah tutupnya PT. Gaya Wahana Timber, maka bangunan-bangunan yang tadinya berdiri di sebelah Utara Candi Teluk II telah tidak ada lagi. Candi Teluk II sekarang berada di lahan yang dikelilingi pagar kawat duri dengan lingkungan sekitarnya berupa kebun singkong dan kebun kelapa sawit. 
Penelitian menapo-menapo yang sangat banyak di Kawasan Cagar Budaya Muarajambi, penting artinya bagi analisis keruangan suatu situs atau kawasan. Candi Teluk II merupakan salah satu menapo yang telah diteliti untuk memastikan bahwa menapo tersebut mengandung hasil budaya manusia. Hasil penelitian menunjukkan Candi Teluk II merupakan bangunan candi yang berukuran 12 x 12 meter yang di dekatnya terdapat parit . Namun hasil penelitian itu belum menghasilkan bentuk dari Candi Teluk II. 

Letak dan Lingkungan 
Candi Teluk II secara administratif terletak di Desa Kemingking Dalam, Kecamatan Taman Rajo, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Secara astronomis berada di 01o28’55,8” Lintang Selatan dan 103o41’18,7” Bujur Timur. 
Candi Teluk II dapat ditempuh dengan jalan darat atau perahu menyusuri Sungai Batanghari. Perjalanan darat menggunakan roda dua atau empat melalui jalan raya yang menuju Desa Kemingking. Dari arah Kota Jambi mengikuti arah yang menuju ke Candi Muarajambi melalui Jembatan Batanghari II. Namun sebelum jembatan terdapat perempatan Sijinjang, belok kiri ke arah Candi Muarajambi dan lurus ke arah Desa Kemingking atau Candi Teluk II. Setelah perempatan selanjutnya bertemu pertigaan yang apabila ke kanan menuju kumpeh dan ke kiri menuju Candi Teluk II. Perjalanan setelah pertigaan akan melalui daerah industri yang ditandai adanya pabrik-pabrik, galangan kapal, dan stock file Batubara. Tempat industri ini berada di sepanjang tepian Sungai Batanghari. Perkembangannya cukup cepat dan semakin bertambah. 
Perjalanan selanjutnya akan bertemu pertigaan, dimana apabila lurus akan sampai di pelayangan. Pelayangan berada di tepi Sungai Batanghari dan di sana terdapat penyeberangan dengan menggunakan perahu. Jalan menuju ke Candi Teluk II adalah belok ke kanan dimana jalannya sebagian besar masih berupa jalan tanah. Setelah berjalan tidak begitu lama kemudian akan bertemu dengan pertigaan kembali. Pilih jalan yang ke kiri yang berupa jalan tanah yang merupakan jalan lalu lalang kendaraan menuju lahan yang dimiliki oleh PT Gaya Wahana Timber (GWT). Memasuki lahan tersebut harus melapor kepada petugas jaga di gerbang. Selanjutnya akan bertemu dengan pertigaan dimana arah ke kiri menuju Candi Teluk I dan ke kanan menuju Candi Teluk II. Tidak jauh dari sana sekitar 50 meter terdapat jalan setapak di sebelah kiri. Dengan melalui jalan setapak tersebut akan tiba di Candi Candi Teluk II. 
Candi Teluk II berada di lahan yang dikelilingi oleh kebun yang pada waktu kegiatan berlangsung berupa kebun singkong dan kelapa sawit. Candi dan sekitarnya dibatasi oleh pagar keliling terbuat dari kawat berduri. Pintu masuk berada di sudut barat Daya. Di sana telah ditempatkan papan nama yang terbuat dari besi dan seng. Papan nama dicat warna putih dengan tulisan warna hitam dan tiang-tiangnya dicat warna biru. Gundukan candi tidak tepat berada di tengah halaman tetapi berada dekat sudut Barat laut  

Hasil Survei dan Ekskavasi 
Survei 
Candi Teluk II berada di lingkungan pabrik kayu lapis yang bernama PT. Gaya Wahana Timber. Namun semenjak pabrik tidak beroperasi lagi berubah menjadi tempat penimbunan cangkang kelapa sawit dan batu bara. Bangunan-bangunan pabrik beberapa diantaranya masih tegak berdiri dan diantaranya telah rusak. Memasuki daerah tersebut harus melalui gerbang yang dijaga oleh petugas keamanan (security). Di dekat Candi Teluk II terdapat Candi Teluk I di sebelah Utara atau dekat Sungai Batanghari dan Candi Cina yang berada di sebelah Barat dari Candi Teluk II. 
Candi Teluk II menempati lahan yang dibatasi oleh pagar kawar berduri dengan lingkungan sekitarnya. Tanah yang berada di sebelah Barat dan Selatan berupa kebun Singkong dan sebelah Timur merupakan kebun kelapa sawit yang masih muda. Halaman candi cukup bersih dengan tidak adanya rumput-rumput liar. Terlihat bahwa permukaan tanah dari Utara ke Selatan menurun. Tanah di sebelah Utara lebih tinggi dari sekitarnya memanjang dari Barat-Timur. Tanah tersebut berasal dari galian parit untuk membuang limbah pabrik dan rumah tangga. Parit berada di luar dari pagar kawat duri. 
Pada sisi Selatan terdapat lubang-lubang yang cukup lebar yang dahulunya merupakan tempat pembakaran limbah kayu. Permukaan tanah di sana tampak hitam yang diakibatkan pembakaran yang menghasilkan karbon. 
Bangunan candi yang telah runtuh berada dekat sudut Barat Laut. Kondisinya berupa tumpukan bata-bata yang berserakan. Tidak terlihat adanya bata yang masih dalam susunan. Gundukan yang masyarakat menyebutnya sebagai menapo berukuran 16 x 16 meter dan tingginya sekitar 1,72 meter. Selain itu tidak ada lagi menapo yang lain sehingga diperkirakan menapo hanya satu saja. 
Survei permukaan dilakukan dengan cara berbanjar dari Barat ke Timur kemudian berjalan dari dari Utara ke Selatan. Hasilnya adalah temuan-temuan permukaan yang berupa fragmen keramik dan tembikar serta benda logam. Temuan keramik dari jenis mangkuk, piring, cepuk, vas, guci besar dan kecil, sendok, dan piring baru. Tembikar berupa pecahan bagian dasar yang tidak diketahui bentuknya. Sementara untuk benda logam mempunyai lubang di tengah dan tidak diketahui bentumnya. Keramik diperkirakaan berasal dari Cina Masa Dinasti Sung (Lihat Table)  

Ekskavasi 
Ekskavasi pada gundukan Candi Teluk II bertujuan untuk mendapatkan lapisan bata kulit bagian kaki dan fondasi. Berdasarkan kondisi menapo dapat diperkirakan bahwa bata kulit bagian kaki telah banyak yang terlepas sehingga hanya menampakkan bata-bata isian. Dengan demikian hanya bata-bata kulit yang terpendam di dalam tanah saja yang masih bertahan dalam susunannya dan itu hanya terjadi pada beberapa lapis bagian kaki dan sebagian besar fondasi. 
Ekskavasi menggunakan metode grid dimana daerah itu dibagi menjadi kotak-kotak berukuran 2 x 2 meter. Tehnik penggalian yang dilakukan menggunakan teknik spit, yaitu menggali tanah dengan kedalaman 20 cm setiap spitnya. Titik nol atau Datum Point (DP) berada di sebelah Barat Daya menapo ditandai dengan patok semen yang bertuliskan Candi Teluk II. Penamaan grid memakai empat arah mata angin dan angka-angka berdasarkan sumbu x dan y. Dalam ekskavasi Candi Teluk II ini kotak-kotak grid berada di antara arah Utara dan Timur atau di sebelah Timur Laut dari Datum Point (DP). Penggalian masing-masing kotak grid dilakukan dengan tehnik spit, yaitu penggalian dengan menggunakan interval sedalam 20 cm. Hasil dari ekskavasi menemukan temuan yang berupa keramik dan tembikar. Keramik terdiri dari mangkuk dan tidak diketahui bentuknya. Jenis tembikar terdiri dari guci, pasu, dan tidak diketahui bentuknya (Lihat Table). 
Pada Kotak U21T4, U21T5, dan U21T6 yang berada di sisi Utara untuk menemukan susunan bata yang membentang dari Barat ke Timur telah menemukan susunan bata bagian kaki berjumlah 13 lapis dan fondasi berjumlah 14 lapis. Terlihat bahwa bata fondasi disusun lurus saja tidak membentuk profil. Demikian juga dengan susunan bata bagian kaki. 
Pada kotak U20T1 untuk menemukan susunan bata kulit sisi Barat menemukan kondisi yang sama dimana susunan bata kulit bagian kaki telah tertimbun oleh runtuhan bata. Sementara bata fondasinya dalam kondisi stabil dan tidak terjadi kemelesakan. Bata untuk menyusun fondasi berjumlah 14 lapis. Kotak U19T7 dan U18T8 menemukan susunan bata sisi Timur dimana terdapat bagian tangga dan susunan bata lantai. Susunan bata lantai ini juga yang ditemukan pada kotak U16T7. Dimana susunan bata lantai di kotak U16T7 adalah lantai yang berada di sebelah Selatan, sedangkan temuan di kotak U19T7 adalah susunan bata lantai di sebelah Utara. Keduanya dipisahkan oleh adanya tangga. Lapisan B (70-94 cm dari permukaan tanah): Susunan bata bagian tangga yang bercampur dengan tanah warna cokelat kemerahan.  

Bentuk Candi Teluk II
Candi Teluk II yang ditemukan pada tahun 1993 belum pernah dilakukan ekskavasi, sehingga tidak diketahui kondisinya. Candi tersebut sampai dengan tahun 2016 masih berupa gundukan tanah yang masyarakat menyebutnya sebagai menapo. Lokasinya berada di dalam area pabrik kayu lapis PT. Gaya Wahana Timber yang telah tutup. Sekarang aktivitas yang dilakukan di area tersebut berupa penimbunan cangkang kelapa sawit dan batu bara. Dibandingkan dengan Candi Teluk I yang tidak begitu jauh dari Sungai Batanghari, maka Candi Teluk II berada lebih jauh dari Sungai Batanghari. Lingkungan sekitarnya berupa kebun singkong dan kebun kelapa sawit. 
Menapo berukuran 16 x 16 meter dan tingginya sekitar 1,72 meter berada di lahan yang dikelilingi oleh pagar kawat berduri. Lokasinya tidak berada tepat dibagian tengah tetapi agak ke sudut Barat Laut. Pada sisi Utara permukaan tanahnya lebih tinggi yang merupakan tanah buangan dari hasil pembuatan parit yang berada di luar pagar kawat. Parit dahulu dibuat untuk pembuangan limbah pabrik dan limbah rumah tangga dari mess karyawan yang dibuat di lokasi itu. Pada sisi Selatan dan Tenggara terdapat permukaan tanah yang lebih rendah dari permukaan tanah sekitarnya dahulu menjadi tempat pembakaran limbah kayu pabrik. Candi Teluk II dipelihara oleh seorang juru pelihara. Kondisinya cukup bersih dengan tidak adanya rumput-rumput liar yang tumbuh di sana. Menapo berupa gundukan yang dipenuhi oleh bata-bata yang berserakan. Bagian puncaknya sebagian besar rata kecuali di sisi Barat terdapat gundukan yang lebih tinggi. Permukaan menapo yang paling tinggi berada di sisi barat. Di sisi Barat ini juga lebih curam daripada di sisi lainnya. Runtuhan bata terlihat menyebar ke berbagai arah. Tidak nampak adanya bata-bata yang masih bersusun, sehingga dapat dipastikan bahwa bata-bata yang masih tersusun berada di bawah tumpukan-tumpukan bata. Ekskavasi dilakukan untuk menemukan bata kulit atau pinggiran dari bangunan candi. Untuk itu penggalian diarahkan kepada tempat-tempat yang permukaannya miring yang diperkirakan sebagai lokasi bata kulit dari bangunan. Kotak-kotak gali di sisi Selatan berjumlah dua kotak, yaitu di kotak U15T2, sisi Barat berjumlah satu kotak, yaitu U16T2 dan U20T1, sisi Utara berjumlah tiga kotak, yaitu U21T4, U21T5, dan U21T6, dan sisi Timur berjumlah tiga kotak, yaitu U16T7, U19T7, dan U18T8. Dua kotak lainnya berada di luar menapo, untuk mengetahui kedalaman permukaan tanah masa itu dan ketebalan sedimentasi yang menjadi permukaan tanah sekarang, yaitu kotak U13T5 dan U24T3. 
Ekskavasi yang dilakukan di sisi Selatan menemukan susunan bata yang memanjang dari Barat-Timur. Pada kotak U15T2 terdapat susunan bata yang berjumlah 22 lapis. Dari lapisan bata yang ada bagian fondasi berjumlah 14 lapis dan sedangkan bagian kaki berjumlah 8 lapis. Berdasarkan temuan tersebut maka dapat diketahui bahwa lapisan bata kulit bagian kaki di sisi Selatan masih ada, walaupun tertimbun oleh reruntuhan bata di atasnya. Sementara bagian fondasi masih dalam kondisi baik. 
Ekskavasi yang dilakukan di sisi Barat di kotak U16T2 dan U20T1 menemukan susunan bata yang memanjang Utara-Selatan. Pada kotak U16T2 tidak berhasil menemukan bata kulit melainkan bata isian saja. Di kotak U20T1 menemukan susunan bata yang merupakan lapisan bata kulit bagian kaki dan fondasi. Bata-bata yang masih dalam susunan berjumlah 17 lapis. Terdiri dari 3 lapis merupakan bata kulit bagian kaki dan 14 lapis bata kulit bagian fondasi. Susunan bagian fondasi masih dalam kondisi baik. 
Ekskavasi yang dilakukan di sisi Utara di kotak U21T4, U21T5, dan U21T6 menemukan susunan bata yang memanjang Barat -Timur. Pada sisi Utara ini masih terdapat susunan bata dengan susunan yang terbanyak di kotak U21T4 berjumlah 27 lapis. Susunan bata merupakan bagian kaki dan fondasi. Susunan bata bagian kaki tertimbuhan oleh runtuhan bata. Antara susunan bata bagian kaki dan bagian fondasi tidak ada bagian yang membedakannya. Keduanya disusun lurus tanpa ada bagian yang menjorok ke dalam atau ke luar. Jadi membedakannya berdasarkan bagian yang berada di atas atau di bawah permukaan tanah lama. Pada sisi Utara ini terlihat bahwa fondasi dalam kondisi baik. Ekskavasi yang dilakukan di sisi Timur di kotak U16T7, U19T7, dan U18T8 menemukan susunan bata yang memanjang Utara-Selatan, susunan bata lantai, dan juga susunan bata tangga candi. Pada kotak U16T7 terdapat susunan bata yang merupakan bagian kaki dan fondasi. Seperti temuan-temuan di kotak lainnya, maka susunan bata bagian kaki juga dalam kondisi tertimbun oleh runtuhan bata. Sementara di bawahnya terdapat susunan bata fondasi dalam kondisi baik. Di kotak ini juga terdapat susunan bata lantai yang berjumlah 4 lapis. Susunan bata lantai ini masih berlanjut ke Timur dan Utara. Pada kotak U19T7 dan U18T8 menemukan susunan bata tangga candi. Atas temuan tersebut maka dapat diketahui candi Teluk II mempunyai arah hadap ke Timur. Diperkirakan di sebelah Utara dan Selatan dari tangga terdapat lantai. 
Berdasarkan hasil ekskavasi, maka diperkirakan Candi Teluk II merupakan bangunan tunggal tanpa bangunan perwara dan pagar keliling. Bangunan ini mempunyai arah hadap ke Timur dengan ditemukannya tangga di sebelah Timur. Tangga mempunyai pondasi yang lebih dangkal dibandingkan dengan pondasi bagian kaki. Di sebelah Utara dan Selatan terdapat susunan bata seperti lantai lantai. 
Kemungkinan candi ini dahulu dibangun dengan menyiapkan lahan berukuran 11,40 x 11,50 meter untuk bagian kaki dan 4 x 4,45 meter untuk bagian tangga. Lahan digali sedalam 70 cm untuk fondasi. Dilanjutkan dengan penyusunan bata kulit dan bata isian sehingga terbentuk candi yang diinginkan. Bentuk candinya tidak seperti candi pada umumnya yang terdiri dari fondasi, kaki, tubuh, dan atap. Candi Teluk II ini diperkirakan hanya terdiri dari bagian fondasi dan kaki. Di atas fondasi berupa susunan bata yang terdiri dari bata kulit dan bata isian. Bata kulit disusun lurus tanpa membentuk susunan profil. Diperkirakan mencapai ketinggian 2-3 meter. Bentuk bagian atas dari Candi Teluk II ini tidak diketahui lagi, apakah rata saja seperti lantai atau bagaimana ? Merujuk kepada candi lain di kawasan cagar budaya Muarajambi mengindikasikan adanya bangunan bata yang di atasnya terdapat tiang dan atap dari genting. Tiang kayu berdiri di atas umpak dari batu atau dalam lubang yang dibuat pada bangunan bata tersebut. Pada kesempatan ini saya mencoba untuk merekonstruksi Candi Teluk II apabila di terdapat bangunan tiang kayu dan atap genting tersebut. Namun memang data yang mengarah ke sana belum didapat karena bagian atas Candi Teluk II belum dikupas dari reruntuhan batanya. Penelitian lebih lanjut pada bagian atas bangunan diharapkan dapat menemukan lubang-lubang untuk berdirinya tiang-tiang  

Penutup 
Candi Teluk II yang berlokasi di dalam bekas pabrik PT. Gaya Wahana Timber bersama dengan Candi Teluk I kondisinya sangat memprihatinkan. Dahulunya kedua candi tersebut mengalami kerusakan ketika penyiapan lahan dengan alat berat untuk pendirian pabrik. Kedua candi masih dalam kondisi yang sama, walaupun kemudian pabrik itu tutup dan berubah menjadi tempat penimbunan cangkang kelapa sawit dan batu bara. Bahkan pagar keliling yang terbuat dari kawat berduri telah rusak dan belum ada perbaikan. Mengingat Candi Teluk II berada ditanah PT. Gaya Wahana Timber yang dimiliki oleh Tanoto Kusuma (Akeng) maka perlu adanya proses pengalihan kepemilikan agar menjadi milik pemerintah. Hasil ekskavasi menunjukkan bahwa struktur bangunan membentuk denah persegi panjang berukuran 11,40 x 11,50 meter dan tangga yang berada di sisi Timur berukuran 4 x 4,45 meter. Susunan bata yang berada di permukaan tanah merupakan bata isian. Ketinggiannya mencapai 1,48 meter. Bata-bata yang masih tersusun dengan baik berada di dalam tanah terdiri dari bagian kaki dan fondasi. Kedalaman tanah fondasi mencapai 70 cm dengan susunan bata mencapai 14 lapis. Sementara bagian kaki kondisinya terkubur oleh runtuhan bata-bata dengan tinggi sekitar 60 cm. Pada kotak U21T4 masih terdapat bata kulit sebanyak 13 lapis. Diperkirakan ketinggian bagian kaki mencapai ketinggian 2-3 meter. Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa Candi Teluk II ini hanya terdiri dari bagian fondasi dan bagian kaki atau dengan kata lain tidak mempunyai bentuk yang lazim dari sebuah candi yang terdiri dari fondasi, kaki, tubuh, dan atap. Adapun bangunan yang di atas susunan bata diperkirakan terdiri dari tiang kayu dengan atap dari genting atau dedaunan  

Daftar Pustaka 
Mundardjito, Junus Satrio dan Ismijono, 1984-1985, Laporan Studi Dampak Pabrik Kayu Lapis PT. Gaya Wahana Plywood Terhadap Situs Candi Teluk Kemingking Dalam Jambi Tanggal 13-16 Januari 1986, Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jakarta 

Suprapto, Untung, Dkk. 2002, Laporan Studi Evaluasi Dampak Keberadaan PT. Gaya Wahana Timber Di Area Situs Kemingking, Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, dan Bengkulu 

Tim Studi, 1998, Studi Pelestarian Situs Di Kawasan pabrik Baja PT. Tanoto Steel Nusantara Desa Kemingking Luar Kecamatan Marosebo Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi, Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, dan Bengkulu  
Share:

CANDI BUMIAYU : Candi Hindu di Tepi Sungai Lematang


Pendahuluan
Kompleks Percandian Bumiayu secara administratif terletak di Desa Bumiayu, Kecamatan Tanah Abang, Kabupaten Muaraenim, Propinsi Sumatera Selatan. Desa tersebut berbatasan dengan Desa Tanah Abang Selatan di sebelah Utara, Desa Kemala (Prabumulih Barat) di sebelah Timur, Desa Siku di sebelah Selatan dan Desa Pantadewa di sebelah Barat. Sedangkan secara astronomis, situs tersebut terletak pada 03 9,5’59” LS dan 104 5,5’45” BT.
Kompleks Percandian Bumiayu memiliki 10 (sepuluh) gundukan tanah yang diduga berisi struktur bata sisa bangunan kuno. Dari 10 (sepuluh) gundukan tanah tersebut 4 (empat) diantaranya berukuran cukup besar, yaitu gundukan Candi 1, Candi 2, Candi 3 dan Candi 8. Kawasan situs dialiri oleh Sungai Lematang di sebelah Timur dan dikelilingi oleh sungai-sungai kecil, yaitu: Sungai Piabung, Sungai Lebak Jambu, Sungai Lebak Tolib, Sungai Lebak Panjang, Sungai Lebak Siku dan Sungai Siku Kecil. Keseluruhan sungai-sungai tersebut saling berhubungan membentuk parit yang mengelilingi kompleks percandian Bumiayu dan melalui Sungai Siku bermuara di Sungai Lematang.

Riwayat Penelitian dan Pelestarian
Situs Bumiayu pertama kali dilaporkan oleh E.P Tombrink pada tahun 1864 dalam Hindoe Monumenten in de Bovenlanden van Palembang. Dalam kunjungannya di daerah Lematang Ulu dilaporkan adanya peninggalan-peninggalan Hindu berupa arca dari trasit berjumlah 26 buah, diantaranya berupa arca Nandi, sedang di daerah Lematang Ilir ditemukan runtuhan candi dekat Dusun Tanah Abang, dan sebuah relief burung kakatua yang sekarang disimpan di Museum Nasional. Kemudian pada tahun 1904 seorang kontrolir Belanda bernama A.J Knaap melaporkan bahwa di wilayah Lematang ditemukan sebuah runtuhan bangunan bata setinggi 1,75 meter, dan dari informasi yang diperoleh bahwa reruntuhan tersebut merupakan bekas keraton Gedebong-Undang. JLA Brandes juga melakukan penelitian pada tahun yang sama.Di dalam majalah Oudheidkundig Verslag, FDK. Bosch menyebutkan bahwa di Tanah Abang ditemukan sudut bangunan dengan hiasan makhluk ghana dari terrakota, sebuah kemuncak bangunan berbentuk seperti lingga, antefiks, dan sebuah arca tanpa kepala. Tahun sebelumnya yaitu tahun 1923 Westenenk melakukan hal yang sama. Pada tahun 1936 F.M. Schnitger telah menemukan tiga buah runtuhan bangunan bata, pecahan arca Siwa, dua buah kepala Kala, pecahan arca singa dan sejumlah bata berhias burung. Artefak-artefak yang dibawa Schnitger itu sekarang disimpan di Museum Badaruddin II, Palembang
Penelitian yang dilakukan oleh bangsa Indonesia baru dilaksanakan pada tahun 1973 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bekerja sama dengan Universitas Pennsylvania. Pada penelitian tersebut ditemukan tiga buah runtuhan bangunan yang dibuat dari batu bata. Kemudian pada tahun 1976 dilakukan survei dan berhasil menemukan tiga buah runtuhan bangunan. Penelitian secara intensif dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada tahun 1990 yang bekerja sama dengan Ecole Francaise d’Extreme Orient (EFEO). Kemudian penelitian dilanjutkan pada tahun 1991 dengan melakukan pemetaan menyeluruh di kompleks Percandian Bumiayu, serta penelitian biologi dan geologi. Dari hasil penelitian tahap I ini dapat diketahui bahwa situs tersebut dikelilingi parit yang berhubungan dengan sungai Lematang. Sedang dari hasil pengamatan geologi dilaporkan bahwa lokasi kompleks percandian yang terletak di kelokan sungai Lematang ini dalam jangka waktu 20 tahun dikhawatirkan bangunan candinya akan terbawa arus sungai.
Hasil penelitian ini ditindaklanjuti dengan dilakukannya ekskavasi di Candi I pada tahun 1992 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Pada penelitian tahap II ini ditemukan sudut bangunan bagian penampil bangunan candi dan dilaporkan pula bahwa di kompleks percandian tersebut ditemukan sembilan buah gundukan tanah yang mengindikasikan adanya runtuhan bangunan serta memberi penomoran pada gundukan-gundukan tersebut. Penomoran di bagian belakang kata “candi” diurutkan berdasarkan urutan penemuannya, dan ditempatkan dalam peta situasi Kompleks Percandian Bumiayu. Penamaan “candi” pada setiap gundukan tidak mengindikasikan bahwa gundukan tersebut merupakan bangunan candi, karena dari hasil penelitian, diketahui bahwa tidak semua bangunan kuno yang terdapat di situs ini bersifat sakral, namun ada juga yang bersifat profan. Penamaan ini hanya dimaksudkan untuk memudahkan dalam inventarisasi. Dengan demikian tidak semua gundukan tanah yang ditemukan di situs Percandian Bumiayu merupakan runtuhan bangunan sakral yang biasa disebut bangunan candi. Di Kompleks Percandian Bumiayu berdasarkan hasil penelitian terdapat 11 (sebelas) struktur bata sisa bangunan kuno. 4 (empat) diantaranya telah dipugar, yaitu Candi 1, Candi 2, Candi 3, Candi 8, dan Candi 7. Kawasan situs dialiri oleh Sungai Lematang di sebelah Timur dan dikelilingi oleh sungai-sungai kecil, yaitu: Sungai Piabung, Sungai Lebak Jambu, Sungai Lebak Tolib, Sungai Lebak Panjang, Sungai Lebak Siku dan Sungai Siku Kecil. Keseluruhan sungai-sungai tersebut saling berhubungan membentuk parit yang mengelilingi kompleks percandian Bumiayu dan melalui Sungai Siku bermuara di Sungai Lematang.
Kegiatan pemugaran di Situs Bumiayu pada awalnya dilakukan oleh Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (P2SKP) Propinsi Sumatera Selatan dengan melakukan penggalian secara menyeluruh di Candi 1 pada tahun 1992 - 1993. Dari hasil penggalian dan pengupasan Candi 1 dapat diketahui bentuk denah dan ukurannya. Selain itu juga ditemukan komponen-komponen bangunan dan sejumlah arca dari batu putih, seperti Siwa, arca Agastya, dua arca tokoh, dan arca yang menggambarkan tiga tokoh dari batu hitam. Pada tahun 1994 - 1995 dilanjutkan dengan pemugarannya. Candi induk yang berhasil dipugar kemudian dicungkup untuk pengamanannya pada tahun 1996. Pada tahun berikutnya berturut-turut dilakukan pemugaran terhadap Candi 3 dan 8.
Pemugaran Candi 2 dimulai dengan pengupasan gundukan pada tahun 2001 oleh Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatera Selatan. Selanjutnya pada tahun 2002 dan tahun 2003 dilakukan pemugarannya oleh Proyek Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (P2SP) Jambi dengan menggunakan dana APBN. Hal itu dikarenakan adanya perubahan Propinsi Sumatera Selatan menjadi daerah otonom. Pada Candi 2 yang telah dipugar kemudian dibangun cungkup oleh Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Sumatera Selatan menggunakan dana APBD pada tahun 2004. Pada tahun yang sama juga dilakukan pengupasan, pemugaran, dan pencungkupan pada Candi 7, serta perbaikan bangsal temuan Candi 1.Pencungkupan yang dilakukan pada Candi 2 dan Candi 7 menggunakan model cungkup Candi 1, yaitu tiang coran semen, kuda-kuda dari besi, dan atap menggunakan seng. 

Deskripsi
Candi 1
Candi 1 Bumiayu terletak di sebelah barat Sungai Piabung. Candi ini yang pertama akan terlihat ketika memasuki kompleks percandian Bumiayu. Pandangan dari jalan raya ke Candi 1 terhalang dikarenakan di dekatnya terdapat bangunan sekolah dasar. Candi 1 terpisah dari lingkungan sekitarnya dengan pagar BRC dan pagar kawat. Kompleks candi 1 terdiri dari satu buah candi induk dan tiga buah candi perwara.

a. Candi Induk

Candi induk merupakan bangunan yang telah dipugar dan dicungkup oleh Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (P2SKP) Propinsi Sumatera Selatan mulai tahun anggaran 1992/993 sampai dengan tahun anggaran 1995/1996. Bentuk bangunan berdenah empat persegipanjang berukuran 16,8 x 16 meter. Pada setiap sisinya terdapat sebuah penampil dan terdapat pilaster-pilaster di setiap sudutnya. Penampil bagian timur memiliki tangga masuk yang merupakan pintu masuk utama dan sekaligus menunjukkan arah hadap candi ke arah Timur. Pintu masuk menjorok ke depan sekitar 4,46 meter dari dinding sisi timur bangunan. Bentuk penampil terbagi menjadi tiga bagian yang masing-masing berdenah empat persegipanjang. Secara keseluruhan penampil di sisi timur ini membentuk denah segi dua belas yang ukurannya semakin ke timur semakin mengecil. Di depan penampil terdapat teras berlantai bata setinggi 0,25 meter dari permukaan tanah dengan ukuran 2,28 x 2,80 meter.

Candi 1 diperkirakan dibangun dalam dua tahapan. Bangunan utama candi dibuat pada tahap I dan berbahan dasar bata berwarna putih kekuningan serta tidak memiliki profil yang terletak di belakang penampil-penampil dan pilaster sudut. Penampil-penampil pada setiap sisi bangunan diduga merupakan bangunan tambahan pada tahap II, karena terlihat adanya ketidaksatuan antara penampil dengan bangunan utama. Dengan kata lain, struktur bata antara keduanya hanya menempel.

b. Candi Perwara

Candi Perwara berjumlah tiga buah yang terletak di sebelah Timur candi induk. Kondisi ketiga candi telah jauh berbeda dengan kondisi pada tahun 2002. Pada saat itu dilaporkan candi perwara I masih memiliki 11 lapis bata sedangkan candi lainnya di bawah 8 lapis bata. Uraian ketiga candi perwara adalah sebagai berikut :

Candi Perwara I
Candi terletak di sebelah Utara berukuran 5,20 x 5,20 meter dengan tinggi yang tersisa 0,72 meter. Bangunan berupa reruntuhan bata yang menyisakan lapisan bata sebanyak 9 lapis. Candi Perwara ini dalam kondisi yang paling baik dibandingkan dengan candi perwara lainnya.

Candi Perwara II
Candi perwara II terletak di tengah dan merupakan reruntuhan bangunan kedua yang kondisinya masih cukup baik. Candi ini juga berukuran 5,20 x 5,20 meter dengan tinggi 0,40 meter. Bata-bata dibagian penampil berhasil direkonstruksi dan membentuk denah empat persegipanjang. Di atas susunan bata bagian Selatan terdapat bata berelief yang diperkirakan merupakan bagian mulut binatang.

Candi Perwara III
Candi terletak di sebelah Selatan dan merupakan reruntuhan bata yang mengalami kerusakan paling parah. Bata-batanya telah banyak yang hilang. Namun berdasarkan sisa-sisa struktur yang ada diperkirakan bentuk bangunannya sama dengan bangunan lainnya, yaitu berukuran 5,20 x 5,20 meter. Struktur bata yang tersisa di bagian sisi Utara tingginya 0,32 meter.

Candi Perwara IV
Candi ini terletak sekitar 10 meter di sebelah Timur Candi Perwara dengan posisi sejajar dengan candi perwara II yang berada di tengah. Candi ini diperkirakan berdenah empat persegipanjang berukuran 2,40 x 3,30 meter. Lapisan bata yang masih tersisa berada di sisi timur berjumlah 5 lapis atau 0,40 meter.

c. Pagar Keliling
Di kompleks Candi 1 ini diperkirakan juga terdapat pagar keliling karena ekskavasi yang dilakukan di sebelah Selatan Candi Induk menemukan struktur bata yang memanjang dari Barat ke Timur. Struktur bata terdiri dari 5 lapis dengan ketebalan dinding 1 meter. Namun untuk menentukannya lebih lanjut perlu dilakukan penelitian di lokasi lainny, yaitu sebelah Utara, Timur, dan Barat.

Candi 7
Candi 7 terletak di sebelah Timut Laut Candi 1 dengan jarak 20 meter. Dari keletakannya sebetulnya Candi 7 ini masih bagian dari candi-candi yang berada di Candi 1. Pada mulanya Candi 7 merupakan gundukan tanah yang berukuran 18 x 18 meter dan tinggi sekitar 1 meter. Pada tahun 2002 tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melakukan ekskavasi dan berhasil menemukan struktur bata yang memanjang dengan orientasi barat-timur panjangnya 390 cm. Pada tahun 2003 tim dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi melakukan ekskavasi dan menemukan struktur bata dengan lebar 1 meter. Sementara itu pada bagian tengah tidak ditemukan adanya susunan bata. Pada tahun 2004 Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Sumatera Selatan melakukan kegiatan yang berupa pengupasan, konsolidasi, dan pencungkupan. Selain itu juga di bangun sebuah bangunan untuk menyimpan koleksi.
Candi 7 berdenah dasar empat persegipanjang dengan penampil di sebelah Barat. Denahnya berukuran 9 x 10,60 meter sedangkan penampil berukuran 5,53 x 5,80 meter. Bentuk Candi 7 ini tidak lazim karena bagian tengahnya kosong atau tidak ada bata-bata isian. Selain itu di bagian dalam atau tepatnya di sisi barat laut terdapat susunan bata yang membentuk lingkaran berukuran 1,55 x 1,75 cm. Berbeda dengan dibagian penampil yang padat dengan bata-bata isian yang sudah tidak lagi beraturan.

Candi 2
Candi 2 terletak di sebelah Barat Candi 1 atau di sebelah Utara Candi 3. Jarak antara Candi 1 ke Candi 2 dan antara Candi 2 dan Candi 3 hampir sama. Apabila ditarik garis lurus pada ketiga candi tersebut maka akan terbentuk segitiga sama kaki. Candi 2 merupakan sebuah kompleks bangunan candi yang terdiri dari sebuah candi induk, empat struktur bata, dan sebuah candi perwara.Di kompleks Candi 2 ini didapatkan empat buah struktur bata yang tidak terdapat di candi lain. Letaknya berjajar dengan orientasi Utara - Selatan. Fungsi keempat struktur bata tersebut belum diketahui. Kemungkinan pengupasan pada Perwara Candi 2 akan mengungkap keberadaan kedudukannya di dalam kompleks Candi 2.

a. Candi Induk
Candi induk merupakan bangunan yang telah dilakukan pengupasan oleh Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatera Selatan pada tahun 2000. Pemugarannya dilakukan oleh Proyek P2SP Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi pada tahun 2002 dan 2003. Sedangkan pencungkupannya oleh Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Sumatera Selatan pada tahun 2004.
Bangunan candi induk berukuran 9,91 x 12,74 meter dan tinggi 1,0 meter. Denah dasarnya berbentuk persegi empat dengan ukuran 9,52 x 9,91 meter. Pada ketiga sisinya, kecuali sisi Timur terdapat penampil yang berukuran hampir sama sekitar 40 cm x 4,90 meter. Sedangkan di sisi Timur terdapat dua buah penampil yang berukuran 2,58 x 7,33 meter dan 0,52 x 3,30 meter. Penampil ini menjadi petunjuk arah hadap candi. Pada penampil ini terdapat dua buah jalan naik ke atas candi. Letaknya di sisi Utara dan Selatan. Di tempat itu terdapat dua susunan bata yang dibentuk membulat yang sama persis. Hal lain yang juga menarik pada penampil sisi timur adalah adanya susunan bata dengan pola susun lepas atau bareh (bhs. Jawa). Susunan bata tersebut berada pada lima lapis bata terbawah. Lokasinya antara denah denah dasar candi dengan penampil sisi timur dan yang lainnya di dekat atau di bawah hiasan bentuk yang membulat. Diperkirakan hal tersebut terjadi pada saat proses penyusunan bata yang terpisah antara denah dasar dengan penampil sisi timur atau merupakan bangunan tambahan.Candi induk ini menyisakan lapisan bata berjumlah 16 bata berdasarkan bukti yang diperoleh dari susunan bata hasil pengupasan di sisi selatan.

b. Candi Perwara
Berdasarkan kegiatan studi teknis yang dilakukan pada tahun 2006 diketahui bahwa gundukan candi mengandung struktur bata berbentuk empat persegi panjang berukuran 980 x 1300 cm. Pada sisi sebelah Barat terdapat struktur bata yang membentuk huruf U dengan panjang masing-masing sisinya 100 cm. Struktur yang berbentuk huruf U ini yang masih utuh terletak di sisi Selatan. Sementara yang terletak di sisi Utara telah rusak terkena pengupasan. Disimpulkan pula bahwa arah hadap bangunan adalah ke Barat. Bentuk denah bangunan ini mempunyai bentuk yang tidak umum. Adanya bagian sisi Barat yang membentuk huruf U dapat dikaitkan dengan keberadaan empat struktur bata yang berada tepat di antara Candi Induk dan Candi Perwara Candi 2. Hasil analisis menunjukkan bahwa susunan bata di Candi Perwara 2 menyerupai pagar keliling.

c. Empat Struktur Bata
Empat struktur bata yang terletak di sebelah timur Candi induk mempunyai bentuk dan ukuran yang sama, yaitu merupakan susunan bata yang dibentuk empat persegi panjang berukuran 68 cm x 78 cm. Posisi struktur bata berbaris dari utara ke selatan. Ketinggian keempat struktur tidak diketahui lagi, dikarenakan kondisinya sudah tidak lengkap. Struktur bata No. 1 menyisakan empat lapis bata, struktur bata No. 2 menyisakan 12 lapis bata, struktur bata No. 3 menyisakan empat lapis bata, dan struktur bata No. 4 menyisakan dua lapis bata. Pemugaran yang dilakukan pada struktur bata menjadikan Struktur bata No. 1 sebanyak 10 lapis bata, struktur bata No. 2 tetap 12 lapis bata, struktur bata No. 3 dan No. 4 sebanyak sembilan lapis bata.

Candi 8
Pada Bulan Oktober tahun 1997 dilakukan pengupasan terhadap gundukan tanah yang dinamakan Candi 8. Hasil pengupasan menampakkan struktur bangunan yang berukuran 5 x 12 meter. Selain struktur bangunan, di sebelah Timur bangunan tersebut ditemukan empat buah makara yang kondisinya relatif utuh. Candi 8 terletak di dekat sebuah danau yang ada di kompleks Candi Bumiayu. Danau tersebut berair di musim hujan dan sebaliknya akan kering di musim kemarau. Lokasi Candi 8 ini akan dilewati ketika akan menuju Candi 3. Candi 8 mempunyai bentuk yang berbeda dengan candi-candi lainnya karena candi induknya berbentuk persegi panjang.

a. Candi Induk
Candi induk berdenah empat persegi panjang berukuran 5 x 12 meter. Setelah empat lapis bata dibagian bawah, diatasnya terdapat bata-bata berhias yang tidak beraturan. Bata-bata berhias itu tampak seperti ditempatkan begitu saja. Selanjutnya disusun bata sebanyak enam lapis dengan dua lapis teratas dipasang menjorok ke dalam.

b. Candi Perwara
Candi Perwara ini terletak di sebelah Selatan candi induk berjarak 12 Meter. Candi ini mempunyai denah yang berbeda dengan candi induknya, yaitu berdenah bujur sangkar berukuran 3,10 x 2,10 x 0,42 meter. Candi Perwara menyisakan enam lapis bata yagn semakin rapuh karena terkena panas dan hujan terus menerus. Ukuran Batanya adalah 29 x 18 x 7 cm.

Candi 3
Pada tahun 1996 sd. 1997 dilakukan pengupasan yang berhasil menemukan adanya sau buah candi induk dan tiga buah candi perwara. Kegiatan pengupasan tersebut juga menghasilkan komponen-komponen bangunan yang tidak diketahui lagi tempatnya dan fragmen arca yang berbagai jenis. Candi 3 ini dibandingkan dengan candi-candi lainnya diperkirakan yang paling megah bangunan. Candi induknya berdenah 12 persegi dengan sekeliling bangunan yang dihiasi dengan ukiran-ukiran mulai dari bagian kaki hingga atap. Candi 3 Bumiayu sekarang ini merupakan kompleks candi yang paling jauh dari jalan masuk. Letak Candi 3 dari Candi 1 berjarak sekitar 500 meter. Candi 3 dikelilingi pagar kawat yang sekarang telah rusak berukuran 50 x 70 meter. Namun sebenarnya dibagian luar dari pagar kawat tersebut terdapat gundukan memanjang yang diperkirakan pagar keliling yang lebarnya sekitar 2 meter dan tingginya 0,40 meter.

a. Candi Induk
Candi induk mempunyai bentuk unik karena berdenah segi dua puluh yang terbentuk dari segi empat yang berukuran 13,80 x 13,80 meter dan empat buah penampil di empat sisinya berukuran 1,80 x 3,50 meter. Tetapi pada bagian pusat bangunan berdenah segi delapan yang sisi-sisinya berukuran 1 meter. Diperkirakan pada masa berdirinya candi induk ini dahulunya, bagian yang berdenah segi empat merupakan bagian kaki candi, sedangkan bagian yang berdenah delapan ini menjulang tinggi sebagai bagian dari tubuh candi. Sekarang lapisan bata yang tersisa dari candi induk ini adalah berjumlah 23 lapis bata. Lapisan yang paling tinggi terdapat dibagian pusat bangunan atau yang berdenah delapan. Kerusakan lapisan bata yang parah terjadi pada bagian bata luar (kulit).
Pada bagian Timur Candi induk terdapat struktur bata yang merupakan selasar penghubung dengan Candi Perwara I. Berdasarkan hal itu, maka diperkirakan bahwa arah hadap atau pintu tangga menuju batur adalah di sebelah Timur.

b. Candi Perwara
Candi Perwara di kompleks Candi 3 berjumlah 3 buah yang terletak di sebelah Utara, Timur, dan Selatan candi induk. Candi-candi tersebut mempunyai ukuran yang berbeda dengan candi perwara yang paling luas di sebelah Timur dan candi perwara yang terkecil di sebelah Utara. Uraian candi-candi perwara itu adalah sebagai berikut

Candi Perwara I
Candi Perwara I merupakan candi yang ukurannya paling luas berdenah segi empat berukuran 11 x 11,40 meter. Candi Perwara ini terhubung dengan candi induk dengan adanya selasar. Lapisan bata yang masih tersisa berjumlah 2 lapis. Pada bagian tengah candi berupa tanah yang tidak rata permukaannya.

Candi Perwara II
Candi Perwara II ini terletak di sebelah Selatan candi induk. Lokasinya persis di Selatan candi induk dan sangat dekat. Namun antara keduanya terpisah dan tidak ada selasar seperti pada candi perwara I. Candi Perwara II berdenah bujursangkar berukuran 5,20 x 7,40. Pada sisi Utara terdapat penampil berukuran 1,20 x 1,20 meter. Bata-bata pada penampil ini disusun kembali sampai menutupi bagian atasnya. Sedangkan bagian lainnya hanya ditutup dengan dengan pasir.

Candi Perwara III
Candi Perwara III lokasinya di sebelah Utara dari Candi Perwara I. Candi berdenah segi empat berukuran 6,70 x 6,70 meter. Lapisan bata hasil penyusunan kembali berjumlah 5 lapis. Bagian atas candi keseluruhan tertutup oleh susunan bata.
Share:

Profile

Foto saya
AGUS SUDARYADI, arkeolog yang bekerja di Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi Wilayah Kerja Prop. Jambi, Sumsel, Bengkulu, dan Kep. Bangka-Belitung yang sering melakukan Jelajah Situs dalam rangka Pelestarian Cagar Budaya. Menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Situs adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. Pekerjaan tersebut memberikan saya kesempatan untuk menjelajahi pelosok negeri di Propinsi Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Kepulauan Bangka-Belitung. Pelosok karena lokasi yang kami datangi kebanyakan berada di luar kota, bahkan sampai masuk hutan. Maklum Cagar Budaya atau Diduga Cagar Budaya yang saya tuju sekarang berada di daerah yang jauh dari kota. Kegiatan yang memerlukan stamina dan mental yang kuat adalah dalam rangka pelestarian Cagar Budaya Bawah Air. Saya telah mengikuti pelatihan Arkeologi Bawah Air di dalam dan luar negeri, antara lain Makassar Sulsel, Pulau Bintan Kepri, Tulamben Bali, dan Karimunjawa Jateng serta Thailand dan Sri lanka.

Popular Posts

Label

Recent Posts

Pages