• Arkeologi Bawah Air

    Negara Indonesia adalah negara yang besar dengan wilayah lautannya lebih luas daripada daratannya. Potensi lautannya menyimpan kekayaan peninggalan warisan bawah air yang sangat besar.

  • Arkeologi Islam

    Masjid Jamik telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM.10/PW.007/MKP/2004 tanggal 3 Maret 2004 tentang Penetapan Benteng Marlborough

  • Benteng Marlborough

    Lokasi Benteng Marlborough berdiri kokoh di tepi laut di atas sebuah dataran dengan ketinggian lebih kurang 8,5 meter di atas permukaan laut (dpl).

  • PELESTARIAN BENDA CAGAR BUDAYA: DAHULU DAN SEKARANG

    PendahuluanBangsa Indonesia yang memproklamirkan kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945 mempunyai latar sejarah yang sangat panjang, dimulai dari masa Prasejarah sampai dengan masa kolonial.

CANDI JEPARA : Candi Terbuat dari Batu di Sumatera


Pendahuluan
Candi merupakan hasil  kebudayaan  berupa bangunan yang berasal dari masa Hindu-Budha di Indonesia. Sebarannya berada di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan. Salah satu candi yang ditemukan di Sumatera adalah Candi Jepara.  Lokasinya di Desa Jepara, Kecamatan Buay Pematang Ribu Ranau Tengah, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, Provinsi Sumatera Selatan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai Batu Kebayan. Candi Jepara sampai sekarang merupakan satu-satunya candi yang terbuat dari batu di Provinsi Sumatera Selatan, bahkan Pulau Sumatera.  Candi-candi lain umumnya terbuat dari bata.
Candi Jepara sejak dilaporkan pada tahun 1885 dalam kondisi runtuh. Batu-batu berjumlah satu hingga dua lapis masih dalam posisinya. Sementara batu lainnya tergeletak tidak jauh dari lokasinya semula.  Kegiatan dalam rangka penelitian dan pelestarian telah banyak menghasilkan laporan dan tulisan. Pelestarian Candi Jepara telah dilakukan semenjak sebelum berdirinya Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi yang sebelumnya bernama Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP). Pada saat itu pengangkataan juru pelihara menjadi tanggungjawab Bidang Museum dan Purbakala (Muskala) Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Selatan. Sejak tahun 1990 menjadi tanggung jawab SPSP Jambi.  Upaya untuk pemugarannya telah dimulai dengan kegiatan Studi Kelayakan pada tahun 2003. Namun langkah selanjutnya yang berupa kegiatan Studi Teknis baru dilakukan pada tahun 2011.  Pemugaran Candi Jepara menjadi tertunda dikarenakan adanya pemugaran di Kompleks Percandian Muarajambi dan masih perlunya dilakukan kajian. Pada tahun ini dapat dilakukan kajian teknis pemugaran dengan mengikutsertakan dua tenaga berpengalaman di bidang pemugaran candi batu yang berasal dari BPCB Jawa Tengah. Diharapkan dengan berakhirnya kajian pemugaran ini, maka data arkologis dan teknis yang terkumpul dapat memantapkan diadakannya pemugaran. Dengan demikian harapan masyarakat dan pemerintah daerah untuk bisa memanfaatkannya sebagai objek budaya dan wisata bersama Danau Ranau dapat tercapai.
-->

2.  Letak dan Lingkungan
Candi Jepara secara administratif terletak di Lokasinya di Desa Jepara, Kecamatan Buay Pematang Ribu Ranau Tengah, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, Provinsi Sumatera Selatan. Secara astronomis berada di 04o49’40,3” Lintang Selatan dan 103o59’12,7” Bujur Timur.
Candi Jepara dapat ditempuh dengan jalan darat dari Palembang menuju Kota Muaradua yang merupakan kota Kabupaten OKU Selatan. Perjalanan  tim melalui Kota Prabumulih mendapati jalan yang tidak seluruhnya mulus. Sementara perjalanan menuju Kota Baturaja mendapati jalan yang rusak dibeberapa tempat. Kerusakan yang lebih parah terjadi pada perjalanan dari Kota Martapura ke Kota Muaradua. Pada saat kegiatan ini dilakukan memang jalan-jalan di Provinsi Sumatera Selatan banyak yang mengalami kerusakan. Kemungkinan hal itu disebabkan sebelumnya telah dilaksanakan perhelatan besar Asian Games XVIII tahun 2018 yang menyedot anggaran cukup besar.
Kabupaten OKU Selatan dengan Ibukotanya Muaradua merupakan pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) yang diresmikan pada 16 Januari 2004. Lokasinya berada di ujung Barat Daya berbatasan dengan  Provinsi Lampung. Kondisinya jalannya nampaknya belum mendapat perhatian dari pemerintah Provinsi. Jalan yang menghubungkan Muaradua, baik dengan Baturaja maupun Martapura rusak dan sempit. Berbeda halnya dengan jalan lintas tengah yang menghubungkan Baturaja dan Martapura cukup mulus dan lebar.
Perjalanan  dari Muaradua ke Candi Jepara dengan kondisi jalan yang sempit tetapi dengan kondisi yang lebih baik. Kami menduga hal itu disebabkan jalan tersebut menuju objek wisata Danau Ranau atau Kota Liwa di Provinsi Lampung. Rute menuju Candi Jepara dari Muaradua akan bertemu dengan  Simpang Sender yang merupakan simpang tiga menuju Danau Ranau dan Liwa, Provinsi Lampung. Kedua arah tersebut dapat dipilih untuk sampai ke Candi Jepara. Arah Danau Rinau akan melalui Desa Banding Agung yang berada di tepi danau. Pilih jalan yang menuju ikon Danau Ranau di tepian danau dan lanjutkan menyusuri pinggiran danau hingga tiba simpang Desa Jepara. Namun sebelum itu akan melalui Pantai Pelangi yang berpasir dan air bening dari Danau Ranau. Suasananya cukup indah dengan pemandangan Gunung Seminung di depannya. Jalan melalui tepian danau ini berupa jalanan yang sempit dengan kondisi datar dan menanjak hingga memerlukan kehati-hatian.
Rute yang menuju Liwa di Provinsi Lampung lebih nyaman karena kondisi jalan yang lebar dan mulus. Namun pemandangannya tidak seindah melalui tepian Danau Ranau. Setelah melalui Simpang Sender akan bertemu dengan Desa Hangkusa dimana di sebelah kanan jalan terdapat simpang menuju Desa Jepara. Perjalanan lanjut hingga menemukan Kantor Kepala Desa dan terus melalui jalan di depannya. Ada baiknya juga apabila bertanya kepada penduduk arah menuju Batu Kebayan. Bagi yang merencanakan menginap setelah kunjungan ke Candi Jepara, bisa memilih penginapan  sekitar Danau Ranau  di Desa Banding Agung agar dapat  menikmati pemandangan alam yang telah disebutkan di atas.
Candi Jepara berada di tengah-tengah kebun kopi. Tanahnya telah dibebaskan pada tahun 2011 oleh BPCB Jambi dengan luas 1.820 m2 dan empat tahun kemudian disertifikat dengan Nomor 01 tertanggal 22 April 2015. Namun kondisinya tidak mencerminkan luas yang seperti tercantum di sertifikat. Juru pelihara hanya memelihara lahan sekitar 140 m2 termasuk jalan setapak yang lebarnya sekitar 2 meter. Juru pelihara memberi tanaman hias dari jalan masuk hingga sekelilingi candi. Sementara sekitarnya berupa tanaman kopi dan abasia.
Lokasinya cukup jauh dari pemukiman, tetapi pada saat kegiatan telah ada dua rumah yang dekat candi. Rumah yang paling dekat dengan candi adalah rumah juru pelihara yang belum selesai pembangunannya.  Kebutuhan akan rumah hunian baru akan memunculkan rumah-rumah baru di sekitar candi. Apalagi jalan yang melintas di depan candi menuju daerah wisata Danau Ranau. Hal itu tentu saja menimbulkan kekhawatiran akan terhimpitnya candi oleh rumah penduduk.

3.  Riwayat Penelitian dan Pelestarian
Candi Jepara pertama kali diketahui dari laporan G. A. Schouten  tahun 1885 yang dimuat  dalam  Notulen Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenchappan (NBG). Dilaporkan candi yang denahnya berukuran panjang 9,6 meter dan lebar 8,1 meter. Van der Hop di dalam buku Megalithic Remains in South Sumatera tahun 1932 menulis tentang adanya sebuah candi bercorak Hindu dan sebuah lumpang batu berukuran Panjang 70 cm dan lebar 50 di Desa Jepara, Kecamatan Banding Agung. Sementara F.M. Schnitger pada tahun 1935 menulis di dalam buku The Archaeology Hindoo of Sumatera bahwa di sebelah Timur bangunan ditemukan undakan yang diduga adalah kaki candi. Tulisan di dalam Oudheidkundige Verslag (OV) tahun 1941 menyebut tentang candi batu yang letaknya tidak jauh dari danau.
Setelah masa kemerdekaan, Soekmono pada tahun 1954 melakukan survei dan melaporkan temuan pelipit bangunan berupa setengah bulat dan sisi genta seperti pelipit candi di Jawa Tengah. Pada tahun 1984 Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melakukan peninjauan dan menemukan 30 batu berpahat dan berpelipit di tengah kebun kopi. Penelitian pada tahun 1993 melakukan penelitian bidang arkeometri dan menemukan banyak batu candi berupa antefik dan batu berpahat untuk pembuatan jalan. Hasil ekskavasi menyimpulkan candi yang belum selesai berdasarkan adanya goresan-goresan lengkung dibagian pintu masuk yang masih berupa rancangan pola. Candi Jepara diduga berlanggam Jawa Tengah abad 9-10 Masehi.
Pada tahun-tahun berikutnya setelah berdirinya Unit Pelaksana Teknis  penelitian dan pelestarian di wilayah Sumatera bagian Selatan, maka penelitian dan pelestarian lebih intensif lagi. Balai Arkeologi Palembang pada tahun 1996 melakukan survei terhadap situs-situs arkeologi di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) dan menyimpulkan bahwa candi semasa dengan Prasasti Bawang atau Hujung Langit yang berangka tahun 919 Saka (997 Masehi). Pada tahun 1999 Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jambi  melakukan ekskavasi dan menyimpulkan bahwa candi berukuran 8 x 9 meter dan  tidak ada komponen bangunan lainnya berupa candi perwara atau pagar keliling.
Dalam rangka pemugarannya telah dilakukan Studi kelayakan pada tahun 2003 melalui Proyek Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jambi. Pada tahun 2011 dilakukan Studi Teknis melalui serangkaian kegiatan ekskavasi, susunan percobaan, dan diskusi dengan Pemugar berpengalaman dari BPCB Jawa Tengah bernama Bapak Sudarno. Namun data yang terkumpul belum mencukupi sehingga perlu dilakukan kegiatan lanjutan. Oleh sebab itu, pada tahun ini dilakukan kegiatan Kajian Teknis Pemugaran Candi Jepara guna melengkapi data arkeologis dan teknis yang dapat digunakan untuk melakukan rekonstruksi bangunan  dan Rencana Anggaran Biaya (RAB).

4.  Hasil Survei dan Ekskavasi
a.   Survei
Candi Jepara yang terletak di sebelah Barat Desa Jepara berada di tengah kebun kopi. Situasinya berbeda dengan kondisi saat dilakukan Studi Teknis dimana lahannya masih terbuka hingga pandangannya lebih luas. Namun memang terasa panas karena tidak adanya pohon yang bertajuk tinggi. Kondisi sekarang dikarenakan adanya pemanfaatan lahan untuk tanaman kopi dan abasia.  Disarankan agar tanaman-tanamaan itu dikurangi untuk memberi ruang pandang yang lebih baik. Pada saat dilakukan pemugaran nanti lahannya akan digunakan penempatan batu-batu yang dibongkar dan dikonservasi serta pendirian bangunan kerja (werkeet).
Lokasi Candi Jepara masih berada jauh dari pemukiman penduduk, tetapi telah muncul rumah baru di sebelah Timur candi. Bukan tidak mungkin kedepannya akan lebih banyak lagi rumah-rumah baru di sekitar candi karena adanya jalan yang menuju Danau Ranau. Kondisi yang demikian harus segera ditindak lanjuti dengan perluasan lahan yang ideal untuk zona inti, zona penyangga, dan zona pengembangan.
Survei yang dilakukan berdasarkan batas tanah yang telah dibebaskan BPCB Jambi seluas 1.820 m2 menunjukkan permukaan tanah yang relatif datar. Namun di sisi Utara terdapat permukaan tanah yang miring ke arah Utara. Pada jarak 9,10 meter  ditemukan sebaran batu-batu bulat dengan orientasi Barat-Timur atau sejajar candi yang diperkirakan berfungsi sebagai penahan tanah dari erosi karena  pada jarak sekitar 10 meter berikutnya kemiringan permukaan tanahnya semakin tajam. Sementara di sebelah Timur yang berjarak 24,80 meter terdapat gundukan tanah. Menurut informasi gundukan pernah di ekskavasi dan tidak ditemukan struktur bangunan.
Survei yang dilakukan dengan radius sekitar 100 meter dari candi menemukan parit selebar 6 meter dan sumber mata air berbentuk kolam dengan lebar sekitar 9 meter yang sekitarnya terdapat batu-batu pasiran dengan ukuran yang bervariasi di sebelah Utara.

b.  Ekskavasi
Ekskavasi pada runtuhan Candi Jepara bertujuan untuk melengkapi data hasil ekskavasi yang pernah dilakukan, baik melalui kegiatan ekskavasi tahun 1999, studi kelayakan tahun 2003, dan studi teknis tahun 2011. Ekskavasi tahun 1999 diarahkan pada bangunan candi dan halaman. Ekskavasi dilakukan dengan membuka lima kotak uji, yaitu dua kotak terdapat pada bangunan candi dan tiga kotak di halaman. Kotak ekskavasi yang dilakukan pada bangunan adalah JPR-1 dan JPR-2. Kotak JPR-1 di Sudut Barat Laut bertujuan menemukan sudut asli pondasi. Setelah dilakukan penggalian sedalam 14 meter menemukan pondasi hanya satu lapis. Kotak JPR-2 bertujuan untuk membuktikan dan menampakkan struktur di bagian tangga. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar strukturnya telah lepas dan tidak beraturan. Hasil ekskavasi menyimpulkan bahwa candi tidak dilengkapi candi perwara dan pagar keliling. Penelitian Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Jakarta juga tidak menemukannya.
Ekskavasi yang dilakukan dalam kegiatan Studi Kelayakan tahun 2003 menggali lima kotak uji. Kotak uji diberi kode JPR 1 hingga JPR 4.  Kotak JPR 1 terletak di bagian sudut Barat Laut yang diperkirakan sudut bangunan. Pada kedalaman 45 cm merupakan akhir dari bata fondasi. Kotak JPR 2 terletak di sudut bangunan sisi Barat Daya. Penggalian pada hingga kedalaman 52 cm menemukan susunan batu pasiran berwarna putih yang merupakan fondasi. Kotak JPR 3 terletak di sudut Tenggara bangunan. Penggalian hanya sampai kedalaman 50 cm dan dipastikan bahwa batu-batu yang ditemukan merupakan bagian sudut Tenggara. Kotak JPR 4 terletak di sisi Timur struktur tangga. Penggalian hingga kedalaman 45 cm merupakan akhir dari struktur batu. Kotak JPR 5 terletak di sudut Timur Kotak JPR 1 bertujuan untuk mengetahui tingkat kemasifan struktur dan ketebalan dinding candi.  Kotak ini berarti berada di bagian dalam candi sisi Utara. Hasilnya berupa penemuan fragmen kendi tanah liat  berdiameter 20 cm dan tingginya 13,5 cm. Kendi berdiri di landasan dari batu pasiran berbentuk persegi.
Pada kajian teknis pemugaran kali ini,  ekskavasi menggunakan metode grid dimana lahan dibagi menjadi kotak-kotak berukuran 2 x 2 meter. Metode grid ini akan berlanjut digunakan pada saat pemugaran nantinya. Titik nol atau Datum Point (DP) berada di sebelah Barat Daya bangunan ditandai dengan patok kayu. Penamaan grid ke arah Timur diberi huruf A, B, C, dan seterusnya, sementara ke arah Utara diberi angka 1, 2, 3 dan seterusnya. Kode kotak gali akan mempunyai tanda gabungan keduanya yang dimulai dengan hruf kemudian angka, misalnya A1, B3, dan seterusnya. Tehnik penggalian yang dilakukan menggunakan teknik lot. Di dalam  buku Metode Arkeologi disebutkan tehnik lot adalah tehnik menggali yang menggabungkan tehnik lapisan alamiah dan tehnik spit.   
Ekskavasi dilakukan pada enam kotak, yaitu Kotak C3, G6, F7, F8, E9, dan D6. Kotak C3 berada di sudut Barat Daya untuk mengetahui kestabilan fondasi di sana. Kotak G6 berada di Sudut Tenggara dengan tujuan yang sama, Kotak F7 dan F8 bertujuan untuk mengetahui fondasi bagian tangga, Kotak E9 berada di sudut Timur Laut untuk juga untuk mengetahui kestabilan fondasi, dan Kotak D6 untuk mengetahui lapisan tanah dibagian tengah gundukan.

5.  Deskripsi Candi Jepara
Candi Jepara dibangun oleh masyarakat yang mendiami wilayah pedalaman Sumatera. Candi Jepara bersama-sama dengan Candi Tingkip dan Candi Lesung Batu di Kabupaten Musirawas Utara dan Candi Binginjungut di Kabupaten Musi Rawas lokasinya cukup jauh dari pusat kerajaan Sriwijaya yang diperkirakan di Palembang. Kerajaan Sriwijaya berdasarkan temuan arkeologisnya bercorak agama Budha. Namun masyarakatnya tidak hanya beragama Budha tetapi ada juga yang beragama Hindu. Hal itu ditunjukkan dari keberadaan candi di Desa Bumiayu di Kabupaten PALI, arca Ganesha di Kota Palembang dan Sarolangun, Provinsi Jambi serta Arca Wisnu di Kota Kapur, Kabupaten Bangka. Candi Jepara belum dapat dipastikan latar belakang agamanya karena tidak ditemukannya unsur-unsur yang terdapat di kedua agama tersebut seperti arca Agama Hindu atau Budha dan unsur-unsur bangunan seperti ratna atau stupa dan relief cerita.
Informasi mengenai Candi Jepara berdasarkan ciri-ciri arsitekturnya mempunyai persamaan dengan candi-candi yang berasal dari periode 7-10 Masehi. Temuan arkeologis dari masa Hindu Budha yang terdekat adalah Prasasti Bawang atau Prasasti Hujung Langit di sebelah Tenggara Danau Ranau, tepatnya di Desa Hanakau, Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten Lampung Barat. Prasasti mempunyai tulisan dalam 18 baris dalam Bahasa Jawa Kuno. Isinya mengenai Ekspedisi ke Sumatera pada masa Raja Dharmawangsa dari Pulau Jawa pada abad 10 Masehi. Sementara berdasarkan kedekatannya dengan daerah Lampung sekarang, maka diduga penyebar agama yang merubah kepercayaan masyarakat pendiri candi berasal dari sana. 
Candi Jepara yang terbuat dari batu merupakan candi batu satu-satunya di Sumatera. Batu yang digunakan diperkirakan jenis batu tufa. Tufa adalah jenis batuan piroklastik yang mengandung debu vulkanik yang dikeluarkan selama letusan gunung berapi. Candi berada di daerah dataran tinggi Sumatera Selatan atau tepatnya dekat dengan Danau Ranau dan Gunung Seminung. Danau Ranau merupakan danau terluas kedua setelah Danau Toba di Pulau Sumatera. Luasnya mencapai 125,9 km2. Letaknya di ketinggian 54 meter di atas permukaan air laut.  Danau terbentuk dari gempa tektonik dan letusan Gunung purba sekitar 55 ribu tahun yang lalu. Letusan dahsyat membentuk kaldera dan dapur magma yang aktif melahirkan Gunung Seminung. Gunung Seminung merupakan gunung berapi yang tingginya 1861 meter. Secara geologis dikategorikan sebagai gunung api muda. Tentu saja daerah ini mempunyai sumber batu alam. Dengan demikian tidak mengherankan bahwa masyarakat pendukungnya saat itu membangun candi dari batu.
Candi ditemukan kembali dalam keadaan runtuh. Keruntuhan candi diperkirakan karena faktor alam dan manusia. Faktor alam disebabkan dari gempa, baik vulkanik maupun tektonik. Gempa vulkanik disebabkan oleh letusan Gunung Seminung dan gempa tektonik akibat tubrukan lempeng di sebelah Barat Pulau Sumatera. Pulau Sumatera terletak  pada batas lempeng konvergen antara lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia. Secara historis, gempa besar tercatat pernah terjadi pada tahun 1833, 1861, 2004, 2005, dan 2007. Bisa dibayangkan sebuah gempa besar telah mengakibatkan ketakutan, korban jiwa,  dan menghancurkan bangunan-bangunan termasuk candi. Sementara kerusakan akibat manusia terjadi pada masa kemudian dimana masyarakat tidak tahu tentang candi hanya melihat bahwa banyak batu-batu yang dapat dimanfaatkan untuk fondasi rumah atau jalan. Kerusakan akibat manusia ini terlihat dari sedikitnya batu-batu candi di sisi Selatan yang berada dekat jalan. Berbeda dengan di sisi lainnya yang masih cukup banyak. Sekarang Candi Jepara terlihat berupa gundukan tanah yang dikelilingi batu membentuk denah segi empat. Gundukan  tingginya 82 cm. Orientasi candi ke Timur Laut atau sekitar 60o dimana pada arah tersebut terdapat tangga.
Candi berdiri di lahan yang permukaan tanahnya miring ke Utara. Pada jarak sekitar 10 meter ke Utara kemiringannya semakin curam. Temuan batu-batu alam berjarak  9,10 meter di sebelah Utara yang sejajar bangunan diperkirakan sebagai upaya untuk menahan tanah dari erosi. Permukaan tanah yang miring disiasati pembangun candi dengan batu fondasi dan batu lapis pertama yang berbeda ketinggian. Perbedaan ini terlihat dari tinggi atau rendahnya posisi takik pada batu fondasi. Sementara pada batu lapis pertama terlihat dari pelipit rata paling bawah yang berbeda ukuran, yaitu batu di sisi Tenggara tebalnya 10 cm, sisi Timur Laut 16 cm, dan  sisi Barat Laut 20 cm.
Batu-batu yang menyusun candi terdiri dari batu isian, batu kulit, dan batu lantai. Batu isian terdiri dari dua deret. Batu isian ini mempunyai permukaan yang kasar dan polos, tetapi ada juga yang mempunyai takikan. Batu kulit  sebagian besar telah runtuh dan menyisakan batu lapis pertama dan kedua di beberapa tempat. Itupun kondisinya telah melesak, renggang, dan patah. Sementara batu tangga yang masih ditempatnya berasal dari batu pipi tangga. Batu anak tangga terlepas seluruhnya. Pipi tangga mempunyai bentuk yang melengkung pada ujungnya dan  pada dindingnya terdapat ikal tangga. Batu kulit yang masih ditempatnya di sisi Barat Laut berjumlah 19, sisi Barat Daya berjumlah 18, sisi Tenggara 14, dan sisi Timur  Laut 12. Sementara batu yang runtuh berasal dari batu lapis ketiga dan batu sudut. Letaknya sebagian besar masih berada di dekat asalnya.  Beberapa batu yang jauh berpindah diperkirakan aktivitas manusia yang memindahkannya.  Batu yang runtuh di sebelah Barat Laut berjumlah 14, sebelah Barat Daya berjumlah 19, sebelah Tenggara berjumlah 12, dan sebelah Timur laut 32. Penjumlahan batu kulit yang masih berada ditempatnya dan batu runtuhan, yaitu Barat Laut berjumlah 33 batu, Barat Daya berjumlah 37 batu, Tenggara berjumlah 26, dan Timur Laut berjumlah 44 batu. Total batu sekitar 140 batu. Jumlah batu kulit dan tangga yang terdiri dari  pipi tangga dan anak tangga  diperkirakan mencapai sekitar 80 %.
Batu kulit setelah dilakukan pengamatan selanjutnya disebut sebagai tipe 1, 2, 3, dan 4. Batu keempat tipe tersebut ada yang dibentuk dalam satu batu tetapi juga ada dari gabungan beberapa batu. Batu tipe 1 adalah batu yang berada di lapis pertama yang mempunyai bentuk pelipit rata dan ojief. Batu tipe 2 ditandai adanya bentuk setelah lingkaran (halfround), Batu tipe 3 mempunyai bentuk  pilaster dan panel, dan batu tipe 4 seperti batu tipe 3 tetapi untuk ditempatkan di sudut bangunan. Pada batu tipe 3 terdapat lubang yang posisinya tepat pada bagian yang ada pilaster. Lubang berukuran 8 x 8 cm dengan kedalaman 7 cm. Lubang-lubang di daerah sudut bangunan berjumlah tiga dan tengah berjumlah satu. Di atas lubang tersebut diperkirakan dahulunya berdiri tiang-tiang kayu berbentuk persegi berukuran 16 x 16 cm.
Batu-batu bagian tangga yang terdiri dari anak tangga dan pipi tangga. Tenaga pengalaman pemugaran candi batu yang terlibat melakukan kegiatan anastilosis berupa mencari, menidentifikasi, dan susunan percobaan sehingga membentuk profil dinding, pipi tangga, dan tangga. Pada saat kegiatan berakhir batu-batu yang runtuh menjadi berkurang karena sudah terpasang. Batu yang belum terpasang karena berukuran besar dan tidak diketahui lagi susunannya. Pada akhirnya tidak hanya profil candi dapat diketahui tetapi juga ukuran denah candi. Diperkirakan tinggi candi adalah 142 cm sedangkan ukuran denah panjang sisi Barat Laut adalah 825 meter, sisi Barat Daya 779 meter, sisi Tenggara 914 meter,  dan Timur Laut adalah 794 meter.
Batu lantai tidak ditemukan sisa-sisanya. Perkiraan adanya lantai berdasarkan kepada temuan adanya ruang dari batu kulit  untuk dapat menyangga batu lantai. Batu lantai untuk menutupi batu isian dan tanah timbunan.
Di candi juga terdapat batu yang cukup besar berukuran panjang 125 cm, lebar 125 cm, dan tebal 45 cm.  Pada  satu sisinya terdapat pahatan yang berbentuk dua pilaster  dan tiga panel. Batu tersebut tidak diketahui keletakannya maupun fungsinya. Kemungkinan diletakkan di tengah bangunan dengan sisi yang berpahat menghadap ke Timur Laut sesuai arah candi.

6.  Rencana Penanganan
Candi Jepara tidak boleh dilakukan pemugaran secara sembarangan. Pada dirinya melekat aturan mengenai pemugaran. Pemugaran sebagai bagian dari upaya pelestarian merupakan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengembalikan keaslian bentuk bangunan cagar budaya dan memperkuat bila diperlukan yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi arkeologis, historis, dan teknis. Pemugaran dapat diartikan sebagai suatu upaya pelestarian bangunan cagar budaya yang sasarannya meliputi perbaikan struktur dan pemulihan arsitektur yang ditetapkan berdasarkan permasalahan kerusakan yang dihadapi.
Perbaikan struktur adalah suatu upaya penanggulangan dan pencegahan terhadap kerusakan bangunan dengan cara memperbaiki dan memperkuat strukturnya bila diperlukan, termasuk di dalamnya perawatan terhadap komponen atau unsur bahan asli sesuai dengan kondisi teknis dan keterawatannya. Pemulihan arsitektur adalah suatu upaya pemasangan kembali komponen atau unsur bangunan ke dalam bentuk arsitektur aslinya berdasarkan otensitas data, serta melakukan penggantian pada bagian bangunan yang rusak atau hilang dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip pemugarannya. Prinsip-prinsip pemugaran itu tertuang dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya pada pasal 77 (ayat 2) huruf a bahwa pemugaran Cagar Budaya harus memperhatikan keaslian bahan, bentuk, tata letak, gaya, dan/atau teknologi pengerjaan.

Perbaikan Struktural
Perbaikan struktural merupakan bagian dari pekerjaan pemugaran bangunan yang kegiatannya  menitikberatkan pada upaya penanggulangan dan pencegahan terhadap segala permasalahan kerusakan, baik yang berkenaan dengan kerusakan struktural maupun pelapukan bahan. Kegiatan yang dilakukan  antara lain pembongkaran, perkuatan struktur, perawatan/konservasi, dan pergantian unsur

Pemulihan Arsitektural
Pemulihan arsitektural merupakan bagian dari pekerjaan pemugaran bangunan yang sasarannya menitik beratkan pada upaya pemasangan kembali unsur bangunan ke dalam bentuk keaslian bentuk arsitekturnya. Pemulihan bangunan senantiasa harus berpedoman pada keaslian bentuk, bahan, pengerjaan, dan tata letak, serta nilai sejarah dan kepurbakalan yang terkandung didalam bangunan cagar budaya. Kegiatannya meliputi penanganan unsur yang rusak, penanganan unsur yang hilang, persyaratan penggantian unsur, dan penyelesaian bentuk akhir.

Penataan Lingkungan
Pemugaran bangunan cagar budaya sasarannya tidak hanya pada penanganan fisik bangunan, tetapi termasuk pula penataan lingkungan lahan situs yang merupakan bagian integral dari upaya pelestarian. Kegiatan utamanya adalah penataan lahan situs, pengadaan sarana penunjang, dan pertamanan yang diperuntukan bagi pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatanya. Kegiatannya meliputi penataan lingkungan lahan situs, pengadaan sarana penunjang, dan pertamanan.

Share:

MAKAM TAHTULYAMAN : Makam Arab Melayu Di Kota Seberang Jambi


Pendahuluan
Kota Seberang Jambi merupakan kawasan yang lekat dengan sejarah Kesultanan Jambi. Kawasan ini menggambarkan suatu akulturasi budaya yang masih dapat dijumpai hingga masa sekarang. Pada kurun tertentu berperan dalam perkembangan Kesultanan Jambi hingga hubungannya dengan keberadaan kolonialisasi Belanda di Jambi. Keberadaan kesultanan Jambi seiring dengan kedatangan orang-orang Arab ke wilayah nusantara. Migrasi orang-orang Arab tersebut cenderung disebabkan oleh situasi politik dan kemanan di dalam negerinya. Awal kedatangannya dimulai dari kalangan Sayid Alawiyin (keturunan Nabi Muhammad melalui Fathimah dan Ali bin Abi Thalib). Mereka sebagian besar menetap dan bermukim di nusantara. Pengaruh angin muson mengakibatkan mereka cukup kesulitan untuk melakukan perjalanan kembali ke negerinya karena harus menunggu untuk beberapa lama sambil menunggu angin muson yang membawanya. Pada masa kemudian setelah berkembangnya kapal bermesin uap pun tak berbeda kondisinya. Perjalanan dari nusantara ke negerinya memerlukan biaya mahal dan waktu yang cukup lama. Hal inilah yang menyebabkan mereka banyak bermukim di nusantara salah satunya di Jambi.
Peranan mereka di Nusantara khususnya di Jambi beragam, sebagian berdagang seperti umumnya sejak abad-abad sebelumnya. Bagi mereka yang menetap juga berperan dalam penyebaran pengetahuan agama Islam melalui pendirian pendidikan pesantren. Salah satu bukti yang hingga sekarang masih dapat dijumpai di Kawasan Kota Seberang Jambi  adalah keberadaan beberapa pondok pesantren besar antara lain Saaddatuddarein, Al Jauharen dan Al Mubarok. Pada masa kolonial Belanda mereka juga mempunyai peran sebagai penghubung antara pihak belanda dengan penguasa lokal (kesultanan) yang didorong oleh kemampuan mereka dalam penguasaan bahasa asing dan keluasan wawasan serta pengalamannya. Peran yang disebut terakhir dapat dirasakan di Kawasan Kota Seberang Jambi. Salah satu tokoh dari kelompok Al Jufri bernama Sayyid Idrus diangkat menjadi pejabat tinggi bergelar Pangeran Wiro Kusumo terutama dalam bidang manajemen dan administrasi kesultanan Jambi.
Kawasan Kota Seberang Jambi pada masa itu merupakan pemukiman kelompok Tionghoa, Arab, dan Melayu. Rumah Sayyid Idrus sendiri menggambarkan suatu akulturasi dari pengaruh Tionghoa, Eropa dan Melayu. Kelompok orang-orang Arab yang menetap di Kota Seberang Jambi terdiri dari kelompok Al Jufri, Al Baraqbah, dan Al Habsyi. Mereka mempunyai peranan-peranan seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Wilayah mereka umumnya tersebar di kampung-kampung di wilayah Kota Seberang Jambi salah satunya adalah Tahtul Yaman. Di wilayah ini terdapat suatu kompleks pemakaman bagi kelompok-kelompok tersebut.
Makam Tahtulyaman merupakan kompleks pemakaman dari orang-orang arab dan melayu yang hidup dan tinggal menetap pada masa Kesultanan Jambi. Penelitian terhadap kompleks makam ini pernah dilakukan oleh Balai Arkeologi Palembang pada tahun 1998.  Berdasarkan laporan penelitian tersebut diungkapkan bahwa beberapa nisan pada kompleks makam ini menggunakan nisan dengan Tipe Aceh yang berbahan dasar kayu maupun batu. Pada tahun 2016  Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi melakukan inventarisasi  kompleks makam tersebut.

Letak dan Lingkungan
Kompleks makam Tahtulyaman secara administratif terletak di Kelurahan Tahtulyaman, Kecamatan Pelayangan, Kota Jambi, Provinsi Jambi. Secara geografis terletak pada 1ᵒ34'29" LS dan 103ᵒ37'10,6" BT.
Kompleks makam terdiri dari kelompok-kelompok makam keluarga dan makam bagi masyarakat umum. Hal ini terjadi secara turun menurun hingga saat ini. Kompleks makam  terletak pada semacam perbukitan kecil yang di sekelilingnya berupa sungai-sungai yang mengalir ke Sungai Batanghari. Batas-batasnya adalah sebagai berikut, sebelah Utara berbatasan dengan Parit Tali Gawe, sebelah Selatan berbatasan dengan Sungai Muara Kuban, sebelah Timur berbatasan dengan Sekolah Dasar, sebelah Barat berbatasan dengan kebun. Kompleks makam merupakan pemakaman sejak zaman  dahulu yang hingga saat ini masih digunakan.

Bentuk Makam
Makam Tahtulyaman merupakan kompleks pemakaman dari orang-orang arab dan melayu yang hidup dan tinggal menetap pada masa Kesultanan Jambi. Hasil kegiatan Inventarisasi Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi mendapatkan adanya 37 nisan. Secara umum pembagian halaman makam terdiri atas tiga keturunan keluarga yaitu Al Baragbah (15 buah), Al Jufri (4 buah), dan Al Habsi (18 buah). Kegiatan  fokus kepada ketiga keluarga yang dimakamkan di kompleks makam Tahtulyaman.
Berdasarkan penanggalan yang terdapat pada nisan berinskripsi keluarga Al Baragbah berangka tahun yang paling tua yaitu tahun 1773 dan 1816 Masehi. Keluarga Al Jufri menempati periode yang lebih muda yakni 1836 dan 1885 Masehi. Sedangkan untuk Keluarga Al Habsyi belum ditemukan inskripsi pada nisannya yang menyebutkan penanggalan.
Nisan-nisan yang terdapat di kompleks makam Tahtulyaman terdiri dari yang berbahan kayu, batu, dan tanpa nisan. Nisan berbahan kayu mendominasi dengan jumlah terbanyak yakni 24 buah. Nisan lainnya terbuat dari batu sebanyak 8 buah. Terdapat sebuah nisan dengan bahan sungkai. Jenis seperti ini apakah dapat dikaitkan dengan kepercayaan pra Islam maupun tradisi lokal masih diperlukan penelitian lebih lanjut. Selain ketiga jenis nisan juga terdapat makam tanpa nisan. Hal ini kaitannya dengan keberadaan makam lama yang kemudian ditinggikan posisi/keletakannya dan diberikan jirat baru.
Keberadaan jirat sebagai suatu kesatuan makam seperti yang diungkapkan oleh Profesor Boechari tidak sepenuhnya dapat diterapkan  karena secara keseluruhan diperoleh data masing-masing makam terkait jiratnya sebagai berikut. Makam dengan jirat lama pada umumnya terbuat dari batu, susunan bata, dan beberapa bata tersebut diplester. Jirat lainnya merupakan jirat baru yang dibuat oleh keturunan dari tokoh yang dimakamkan. Beberapa nisan tidak terdapat jirat, bahkan sebagian telah tertimpa dengan jirat makam baru. Ragam hias pada jirat hanya ditemui pada sebuah makam yaitu makam No. 25. Ragam hias geometris pada jirat berupa segitiga (tumpal), persegi empat, dan garis. Ragam hias flora berupa bunga, daun, dan suluran.
Nisan-nisan di kompleks makam Tahtulyaman ada yang terdapat inskripsinya dan ada yang polos tanpa inskripsi. Pada nisan yang terdapat inskripsi pada dasarnya diharapkan dapat memeberikan informasi terkait tokoh, penanggalan dan lain sebagainya. Namun dalam kenyataannya nisan yang terdapat inskripsi di kompleks makam Tahtulyaman hanya ada 9 (sembilan) nisan. Dari sejumlah nisan yang terdapat inskripsi hanya 4 (empat) nisan yang masih dapat dibaca.
Berdasarkan pembacaan pada keempat inskripsi tersebut diperoleh nama tokoh dan penanggalann mengenai saat wafatnya tokoh  dan doa. Informasi tersebut adalah sebagai berikut:
a.    Makam No 7. Makam Sayyid Qosim bin Hussein Baraghbah yang berangka          tahun   1186 H atau 1773 M.
b.   Makam No. 12 Makam Sayyid Syarif Abu Bakar bin Almarhum Sayyid Syarif      Al Jufri yang berangka tahun 1302 H atau 1885 M.
c.    Makam No. 14 Makam Sayyid Syarif Abdurrahman Ibnu Al Habib Husain            Baraqbah yang berangka tahun 1231 H atau 1816 M.
d.   Makam No. 17 Abu Bakar Bin Hasan Bin Alwi Al Jufri yang berangka tahun 1252 H atau 1836 M.
Selain berdasarkan sumber inskripsi, informasi mengenai tokoh yang dimakamkan diperoleh berdasarkan sumber informan yang didukung sumber Manaqib adalah sebagai berikut.
a.     Makam No. 8 yaitu makam Sayyid Hussein Bin Ahmad Baragbah;
b.     Makam No. 24 yaitu Istri Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Zein Al    Habsyi; dan
c.     Makam No. 25 yaitu Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Zein Al Habsyi.
Melangkah pada kondisi keberadaan nisan diperoleh data bahwa komponen nisan tidak selalu lengkap nisan bagian kepala dan nisan bagian kaki. Namun kadangkala dijumpai nisan bagian kepalanya saja atau nisan bagian kakinya saja. Secara kuantitatif penjabarannya adalah sebagai berikut.
a.     Nisan lengkap yang terdiri dari nisan bagian kepala dan nisan bagian kaki berjumlah 25 buah
b.     Nisan bagian kepala saja berjumlah 5 buah
c.     Nisan bagian kaki saja berjumlah 3 buah
b.     Makam tanpa nisan berjumlah 4 buah.
Penjelasan mengenai makam tanpa nisan ini adalah bahwa beberapa makam yang oleh keturunannya direnovasi dengan membuatkan cungkup dan jirat baru, nisan lama yang kemungkinan sudah rusak tidak disertakan lagi di atas jirat yang baru.
Struktur makam yang terdiri dari nisan dan jirat secara utuh hanya sebanyak 2 (dua) buah, dijumpai pada makam No. 17 dan No. 25. Keduanya berbahan batu, sedangkan nisan berbahan kayu pada umumnya jiratnya dibuat dengan bentuk dan bahan yang lebih sederhana. Selebihnya adalah makam yang struktur makamnya tidak lengkap atau hanya berupa nisan saja. Pendapat Hasan Muarif Ambary (1998: 43) mengenai tipe makam berjirat dan tidak berjirat sulit untuk sepenuhnya diterapkan sebagai pendekatan pada kompleks makam Tahtul Yaman. Hal ini disebabkan karena keletakan jirat beberapa yang sudah dinaikkan dan pembuatan nisan baru. Selain itu juga karena adanya tumpang tindih dengan makam-makam baru. Temuan nisan yang hanya ditemukan bagian kepala atau kaki saja juga menjadi kendala dalam mengidentifikasi jirat suatu makam.
Berdasarkan bentuknya, struktur nisan lengkap yang terdiri atas bagian mahkota, badan dan dasar dijumpai dalam jumlah 7 (tujuh) selebihnya pada umumnya hanya dijumpai pada bagian mahkota dan badan nisan. Struktur nisan yang lengkap umumnya dijumpai pada makam yang lengkap strukturnya yaitu nisan dan jirat, dan biasanya terbuat dari batu. Oleh sebab itu pada nisan yang berbahan kayu pada umumnya telah ditancapkan/dibenamkan lebih dalam ke dalam tanah agar lebih kuat. Di sisi lain, bagian dasarnya menjadi tidak nampak sehingga tidak dapat diidentifikasi.
Pada nisan yang berbahan kayu pada umumnya telah mengalami kerusakan fisik berupa aus, keropos dan lapuk. Sebagian besar ornamen bagian mahkota telah rusak sehingga tidak dapat teridentifikasi bentuk dan ragam hiasnya. Beberapa nisan berbahan kayu oleh keturunan keluarga nya telah diperbaiki dengan perkuatan sederhana. Pada nisan yang berbahan batu pada umumnya masih relatif utuh. Kerusakan yang dialami berupa patah pada bagian-bagiannya. Namun secara umum masih dapat dipadukan kembali.
Kompleks makam Tahtulyaman memiliki beragam variasi tipe nisan. Berdasarkan identifikasi ciri-ciri nisan dapat disimpulkan bahwa tipe nisannya adalah sebagai berikut.
a.     Tipe Demak Troloyo.
Ciri tipe Demak Troloyo yang paling sering dijumpai pada nisan di kompleks makam Tahtulyaman adalah ragam hias medalion.  Nisan dengan tipe Demak Troloyo berjumlah 15 buah.
b.     Tipe Aceh.
Ciri tipe Aceh yang paling sering dijumpai pada nisan di kompleks makam Tahtul Yaman adalah bentuk dasar, badan, dan mahkota nisan yang sesuai dengan ciri yang dikemukakan oleh Othman. Bentuk umum berupa pilar dan pipih. Nisan dengan tipe ini dapat dijumpai pada nisan nomor 24, 25, 27, dan 37 berjumlah 4 buah.
c.     Tipe Melayu.
Menurut pendapat Othman, bahwa tipe-tipe nisan yang tidak memenuhi kriteria tipe Aceh masuk ke dalam kategori tipe melayu (Yatim, 1988: 163). Nisan dengan tipe ini berjumlah 4 buah.
d.     Tipe lokal.
Tipe lokal didasarkan pada penggunaan bahan nisan. Bahan dalam hal ini berupa sungkai, dapat dikaitkan dengan tradisi lokal berjumlah 1 buah.
e.     Tidak teridentifikasi tipenya berjumlah 13 buah.
           











-->
Share:

Profile

Foto saya
AGUS SUDARYADI, arkeolog yang bekerja di Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi Wilayah Kerja Prop. Jambi, Sumsel, Bengkulu, dan Kep. Bangka-Belitung yang sering melakukan Jelajah Situs dalam rangka Pelestarian Cagar Budaya. Menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Situs adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. Pekerjaan tersebut memberikan saya kesempatan untuk menjelajahi pelosok negeri di Propinsi Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Kepulauan Bangka-Belitung. Pelosok karena lokasi yang kami datangi kebanyakan berada di luar kota, bahkan sampai masuk hutan. Maklum Cagar Budaya atau Diduga Cagar Budaya yang saya tuju sekarang berada di daerah yang jauh dari kota. Kegiatan yang memerlukan stamina dan mental yang kuat adalah dalam rangka pelestarian Cagar Budaya Bawah Air. Saya telah mengikuti pelatihan Arkeologi Bawah Air di dalam dan luar negeri, antara lain Makassar Sulsel, Pulau Bintan Kepri, Tulamben Bali, dan Karimunjawa Jateng serta Thailand dan Sri lanka.

Popular Posts

Recent Posts

Pages