• Arkeologi Bawah Air

    Negara Indonesia adalah negara yang besar dengan wilayah lautannya lebih luas daripada daratannya. Potensi lautannya menyimpan kekayaan peninggalan warisan bawah air yang sangat besar.

  • Arkeologi Islam

    Masjid Jamik telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM.10/PW.007/MKP/2004 tanggal 3 Maret 2004 tentang Penetapan Benteng Marlborough

  • Benteng Marlborough

    Lokasi Benteng Marlborough berdiri kokoh di tepi laut di atas sebuah dataran dengan ketinggian lebih kurang 8,5 meter di atas permukaan laut (dpl).

  • PELESTARIAN BENDA CAGAR BUDAYA: DAHULU DAN SEKARANG

    PendahuluanBangsa Indonesia yang memproklamirkan kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945 mempunyai latar sejarah yang sangat panjang, dimulai dari masa Prasejarah sampai dengan masa kolonial.

BELAJAR ARKEOLOGI BAWAH AIR Di Negeri Gajah Putih


Pendahuluan
Negara Indonesia adalah negara yang besar dengan wilayah lautannya lebih luas daripada daratannya. Potensi lautannya menyimpan kekayaan peninggalan warisan bawah air yang sangat besar. Ratusan atau bahkan mungkin ribuan kapal tenggelam menanti untuk diteliti dan dilestarikan. Kekayaan itu tidak luput dari ancaman manusia untuk kepentingan pribadi. Dari tahun ketahun keberadaan kapal-kapal tenggelam semakin berkurang oleh tangan-tangan nelayan maupun tangan-tangan yang bermodal besar.
Pelestarian warisan budaya bawah air di Indonesia menghadapi ancaman antara lain disebabkan perlindungan hukum yang tidak kuat dan kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang terampil. Penelitian di bawah air bukan pekerjaan yang mudah. Diperlukan tidak hanya kemampuan selam yang handal tetapi juga pengetahuan arkeologi bawah air yang baik.
Peningkatan keterampilan dan pengetahuan bagi pegawai yang terlibat di arkeologi bawah air secara rutin dilakukan oleh pemerintah melalui Direktorat Peninggalan Bawah Air dan Unit Pelaksana Teknis di daerah. Namun dipandang belum cukup untuk meningkatkan kemampuan teknis pegawainya. Hal itu antara lain disebabkan belum adanya upaya untuk mengundang ahli-ahli dibidang arkeologi bawah air. Faktor lainnya adalah belum adanya kerjasama di bidang pelatihan dan penelitian dengan negara-negara yang berpengalaman dalam penelitian arkeologi bawah air sebagai upaya untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan langsung di lapangan akibatnya perkembangan arkeologi bawah air di Indonesia masih tertinggal dibanding Thailand dan Srilangka. Mereka telah melakukan kerjasama pelatihan dan penelitian antara lain dengan Australia dan Belanda.
Kegiatan UNESCO Bangkok mengadakan kursus dasar dan dilanjutkan kursus lanjutan pada tahun ini diharapkan akan membantu meningkatkan pengetahuan dibidang warisan bawah air di Indonesia. Kursus dasar dilaksanakan selama 6 minggu dengan tenaga pelatih dari Inggris, Amerika, Australia, Belanda, Filipina dan Thailand. Kursus lanjutan rencananya dilaksanakan selama 2 minggu dengan materi mengenai Remote Sensing. Keikutsertaan peserta dari Indonesia diharapkan memberi manfaat semakin berkembangnya pengetahuan tentang perlindungan warisan budaya bawah air.


Materi Kursus
Pada tanggal 1 Maret sd. 10 April 2010 telah dilaksanakan UNESCO Second Foundation Course for Underwater Cultural Heritage di Chanthaburi, Thailand. Kegiatan kedua yang diadakan oleh UNESCO setelah kegiatan pertama yang dilaksanakan pada tanggal 26 Oktober sd. 4 Desember 2009. Kursus diatur dalam bentuk kursus dasar (foundation course) dan kursus lanjutan (advanced course). Kegiatan kursus merupakan respon dari rekomendasi para delegasi dan ahli yang menghadiri workshop regional Asia-Pasifik untuk mendiskusikan konvensi perlindungan warisan bawah air tahun 2001 di Hongkong, Cina pada tahun 2003. Pemerintah Thailand menjadi tuan rumah karena pengalamannya dan ketersediaan sarana dan prasarananya.
Pada kursus pertama dihadiri oleh peserta berjumlah 16 orang dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Kamboja, Laos, Thailand, dan Srilangka. Sedangkan kursus kedua dihadiri oleh peserta berjumlah 19 orang dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Kamboja, Brunei, Vietnam, Thailand, Pakistan, Banglades, dan Srilangka. Pelatih yang memberikan teori dan praktek merupakan para ahli dibidangnya yang berasal dari berbagai Negara berjumlah 11 orang yang berasal dari Inggris, Amerika, Australia, Belanda, Filipina, dan Thailand.
Para peserta dan pelatih ditempatkan di sebuah bangunan yang telah disediakan oleh panitia selama kegiatan berlangsung di daerah Chaetalep, Kota Chanthaburi. Lokasinya tepat dipinggir sungai. Bangunannya berbentuk memanjang terdiri dari kamar tidur, kamar mandi dan toilet, ruang kelas, ruang makan dan ruang tamu. Kamar tidur, ruang kelas, dan ruang makan dilengkapi dengan AC. Halamannya juga cukup luas. Tampak bahwa panitia mempersiapkannya dengan baik untuk kenyamanan.
Materi-materi kursus terdiri dari teori, praktek, dan kunjungan ke situs arkeologi. Pengajaran teori dilakukan di dalam kelas setiap hari dari jam 09.00 sampai 17.00 dengan diselingi coffee break dan makan siang. Kegiatan di dalam kelas berlangsung selama 3 minggu. Setelah itu praktek di situs kapal tenggelam bernama Mannok Shipwreck di Distrik Klaeng. Lokasinya sekitar 2 jam dengan mobil dan 4 jam dengan kapal. Kegiatan berlangsung selama 2 Minggu. Selanjutnya kembali ke Chanthaburi untuk mengikuti teori dan menyelesaikan tugas yang berupa pembuatan laporan Rencana Manajemen (management plan), pameran (exhibition), dan Presentasi Akhir (final presentation). Laporan lengkapnya sebagai berikut:


Teori
Pada kursus dasar ini diberikan teori-teori yang berjumlah 23 buah. Teori yang diberikan sebagian besar diajarkan oleh Christhoper Underwood yang merupakan pelatih dari Nautical Archaeology Society (NAS). NAS ini biasa mengadakan sertifikasi yang terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu tingkat I, II, dan III. Pada kursus dasar ini diajarkan teori dan praktek untuk tingkat I. Pengajar lainnya hanya memberikan satu atau dua materi. Teori-teori yang dipelajari lengkapnya sebagai berikut:

1. Pengenalan Arkeologi (Introduction to Archaeology)
Topik yang dipelajari meliputi definisi arkeologi, tipe-tipe peninggalan arkeologi, karakteristik dari situs-situs arkeologi bawah air, interpretasi artefak, dan metode-metode untuk identifikasi pertanggalan

2. Pengenalan Survei 2D (Introduction to 2D Survey)
Topik yang dipelajari meliputi tujuan survey, hasil dari survey, peralatan survei dasar, pengenalan metode-metode survey arkeologi 2D, dan hasil penggambaran.

3. Pengenalan Survei Situs 3D (Introduction to 3D Site Surveying)
Topik yang dipelajari meliputi revisi dari metode-metode survei 2D, Penggunakan metode-metode survei 2D untuk survei 3D, Metode survei langsung dan proses hasil survei

4. Pengenalan Manajemen Proyek (Introduction to Project Management)
Topik yang dipelajari meliputi tipe-tipe proyek yang berbeda, Pentingnya sasaran dan tujuan yang jelas, fase-fase proyek arkeologi yang berbeda, aspek-aspek yang berbeda yang diperlukan untuk menjadi kesimpulan dalam sebuah rencana, sumber-sumber informasi yang dapat digunakan dalam perencanaan sebuah proyek, dan pengenalan contoh-contoh praktis

5. Keselamatan Selam and Logistik Proyek (Diving Safety and Project Logistic)
Topik yang dipelajari meliputi tugas dan tanggungjawab yang berbeda pada sebuah situs, isu-isu keselamatan, keselamatan dan logistik secara umum, Keselamatan dan logistik situs bawah air dan situs kawasan pasang surut, sistim-sistim perekaman penyelaman

6. Metode-Metode Survey dan Pencarian area (Area Search and Survey Methods)
Topik yang dipelajari meliputi metode-metode survei atau pencarian oleh penyelam, pencarian dengan alat geografik, dan penentuan posisi.

7. Manajemen Data (Data Management)
Topik yang dipelajari meliputi prinsip-prinsip aktivitas setelah kerja lapangan, interpretasi sebuah situs, arsip situs dan penyebaran hasil.

8. Desk Based Assessment
Topik yang dipelajari meliputi prinsip-prinsip dari desk-based assessment, penggunaan sumber-sumber bahan primer dan sekunder, jangkauan dan batasan-batasan data dan apllikasinya untuk proyek-proyek perencanaan atau managemen, penggunaan sumber-sumber dokumentasi dan informasi evaluasi dan relevansinya

9. Teknologi Kapal (Ship Technology)
Topik yang dipelajari meliputi pengenalan kapal kayu dan besi Eropa dari abad 18-19 masehi.

10. Penilaian Signifikan (Significance Assessment)
Topik yang dipelajari meliputi konsep dari penilaian signifikan, penilaian signifikan budaya, pentingnya penilaian signifikan untuk manajemen warisan budaya bawah air, bagaimana menggunakan penilaian-penilaian dampak arkeologi dan perencanaan-perencanaan manajemen konservasi, mengaplikasikan informasi ke penilaian yang dimiliki dari sebuah situs yang dipilih.

11. Pengenalan Konvensi UNESCO 2001 (Introduction to the 2001 UNESCO Convention)
Topik yang dipelajari meliputi isi dari konvensi, isu-isu menurut aturan dan operasionalnya, dan tambahannya

12. Pengenalan GIS (Introduction to GIS)
Topik yang dipelajari meliputi apa yang dimaksud dengan GIS, Macam-macam penggunaan GIS, GIS dalam arkeologi

13. Publikasi Arkeologi (Archaeological Publication)
Topik yang dipelajari meliputi apa publikasi tentang arkeologi, proses-proses yang tersangkut dalam memperoleh mempublikasikan sebuah artikel, latihan yang paling baik dalam mengilustrasikan artikel-artikel untuk publikasi. Isu-isu yang berhubungan dengan hak penggandaan dan ijin untuk penggunaan gambar-gambar.

14. Analisis Budaya Materi (Material Culture Analysis)
Topik yang dipelajari meliputi produksi (penciptaan dan pembuatan), teknologi (contoh pembangunan kapal), fungsi (penggunaan) dan ragam- kelanjutan dan perubahan, arti, kontek, pertukaran (perdagangan), komsumsi, transformasi (perubahan penggunaan)

15. Pengenalan Arkeologi Intrusif (Introduction to Intrusive Archaeology)
Topik yang dipelajari meliputi pengenalan tentang ekskavasi sebagai bagian dari manajemen UCH, tanggungjawab sebagai arkeolog terhadap situs dan temuan, dan tehnik-tehnik intrusif

16. Penanganan Temuan/Konservasi (Finds Handling/Conservation)
Topik yang dipelajari meliputi pengenalan penilaian-penilaian kondisi, perawatan-perawatan, penyimpanan koleksi batu, kaca, keramik, besi, tembaga, timah, perak, emas, alumunium, dan bahan-bahan organik, dan pertolongan pertama pada temuan

17. Perlindungan insitu (In situ Protection)
Topik yang dipelajari meliputi pengenalan perlindungan in situ, kenapa perlindungan in situ, dan ancaman terhadap warisan budaya bawah air, pengukuran keluasan kerapuhan, dan contoh-contoh tehnik yang digunakan untuk perlindungan in situ

18. Sumber-Sumber Arkeologi (Archaeological Resources)
Topik yang dipelajari meliputi pembagian sumber-sumber arkeologi dalam subgrup, apa sumber-sumber arkeologi yang diketahui dan tak diketahui, dan sumber-sumber arkeologi masa depan

19. Mengelola Warisan Budaya Bawah Air (Managing Underwater Cultural Heritage)
Topik yang dipelajari meliputi pengenalan tentang mengelola warisan budaya bawah air, bagaimana cara mengelola UCH, penentu kebijakan.

20. Analisis Keramik Asia (Asian Ceramic Analysis)
Topik yang dipelajari meliputi pengenalan mengenai keramik Asia dan analisisnya, serta metode pertanggalannya.

21. Kapal Asia (Asian Boat)
Topik yang dipelajari meliputi pengenalan teknologi kapal Asia, istilah, dan struktur-struktur.

22. Museologi (Museology)
Topik yang dipelajari meliputi pengenalan museum, definisi, peranan-peranannya dalam warisan budaya bawah air, pameran, dan manajemen.

23. Arkeologi Publik/Peningkatan Kesadaran (Public Archaeology/Raising Awareness)
Topik yang dipelajari meliputi pengenalan tentang arkeologi publik dan bentuk-bentuk keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan arkeologi.


Praktek
Kegiatan praktek berupa pengukuran perahu dan pengukuran 2D/3D. Praktek pengukuran perahu kayu dilakukan di kantor Underwater Archaeology Division (UAD) Thailand. Peserta dibagi dalam empat tim yang masing-masing berjumlah 4 orang pada 2 buah perahu kayu. Pada kegiatan tersebut dilakukan pengukuran untuk mendapatkan gambar ship plan yang terdiri dari body plan (section plan), sheer plan (elevation plan or profile plan), dan half-breadth plan (water line plan or level line plan).
Praktek pengukuran 2D/3D dilakukan di sebuah situs kapal tenggelam yang bernama Situs Mannok. Di situs ini terdapat kapal tenggelam yang berasal dari abad 19 Masehi. Reruntuhan kapal merupakan kapal uap yang terbuat dari besi. Lokasi tenggelamnya di kedalaman 20 meter. Peserta dibagi dalam tiga tim yang masing-masing berjumlah 4 atau 5 orang. Kegiatan penyelaman dilakukan dua kali dalam sehari pada pagi dan siang hari. Para penyelam dibagi dalam 2 kelompok dari masing-masing tim. Ketiga tim melakukan pengukuran pada bagian depan (bow), tengah (mid), dan belakang (stern). Tugas masing-masing tim adalah untuk mempraktekkan pengukuran dengan cara offset, ties, atau trilateration. Pengukuran dilakukan pada sisa-sisa kapal dan temuan-temuan yang tersebar di dalam dan luar kapal. Gambar yang dihasilkan oleh masing-masing tim selanjutnya digabung dan menghasilkan gambar rencana situs (siteplan), potongan (cross section), dan elevasi (elevation). Setiap tim selanjutnya menuliskannya ke dalam management plan.


Kunjungan
Kegiatan kunjungan dilaksanakan pada waktu libur yang waktunya sehari dalam seminggu. Panitia membawa peserta ke Museum Maritim Nasional (National Maritime Museum) dan situs-situs arkeologi yang berada di kota Chanthaburi. Museum maritim merupakan museum yang dibangun di dalam sebuah benteng kuno. Museum ini satu kompleks dengan kantor Underwater Archaeology Division (UAD). Museum maritim menampilkan sejarah maritim Kerajaan Thailand dan juga hasil-hasil yang telah dilakukan oleh tim UAD. Di dalam museum ini terdapat diorama aktivitas arkeologi bawah air dan gudang penyimpanan benda-benda yang ditemukan pada kapal tenggelam yang telah diteliti. Isi gudang sebagian besar berupa keramik Thailand. Ditampilkan juga beragam replika perahu kuno dan perahu yang dipergunakan oleh raja dan masyarakat.
Kunjungan ke situs-situs arkeologi adalah ke lokasi kolam kuno yang dibangun pada masa Kerajaan Khmer dan kolam perahu kuno. Situs kolam kuno adalah tempat yang dipergunakan untuk mandi mensucikan diri sebelum melakukan ibadah di pura. Tak jauh dari lokasi terdapat dua buah bangunan stupa yang terbuat dari bata kuno. Kedua stupa tersebut sekarang berada di dalam kompleks ibadah para biksu yang dilengkapi dengan bangunan baru. Di sana juga terdapat museum yang menyimpan peninggalan-peninggalan purbakala.
Lokasi kolam perahu kuno disebut situs Samed Ngam. Diduga dahulunya merupakan tempat pembangunan kapal. Di situs terdapat kapal tenggelam yang disebut Junk. Kapal itu pertama kali ditinjau pada tahun 1982 dan dilanjutkan penelitiannya pada tahun 1989. Pada saat sekarang kerangka kapal masih dibiarkan di dalam air menyerupai kolam dilindungi oleh bangunan pelindung sehingga tidak terkena panas dan hujan. Di dekatnya dibangun museum yang berisikan foto-foto proses penelitian, gambaran tentang junk, dan temuan-temuan arkeologis.


Penutup
Indonesia sebagai negara yang belum meratifikasi Konvensi 2001 telah mendapatkan kesempatan untuk mengirimkan warganegaranya mengikuti kursus dasar warisan budaya bawah air di Thailand. Dibandingkan dengan negara-negara peserta lainnya, maka Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi warisan bawah air yang paling banyak dan juga rawan dalam kasus pengangkatan yang dilakukan oleh pemburu harta karun. Satu hal yang menjadi keprihatinan UNESCO adalah adanya kegiatan pengangkatan yang bertujuan untuk komersial.
UNESCO mengadakan kursus ini bertujuan untuk membangun kemampuan regional dalam perlindungan dan manajemen warisan bawah air melalui pelatihan profesional mengenai teknik-teknik pemetaan dan inventarisasi arkeologi bawah air, identifikasi situs, inventarisasi dan investigasi, museologi, pemantauan dan perlindungan menurut standar profesional internasional; untuk menyediakan sebuah jaringan diantara negara-negara peserta melalui dorongan kerjasama yang erat dan penyebarluasan pelatihan yang baik, dan juga pertukaran informasi dalam bidang konservasi dan manajemen; dan untuk menyiapkan negara-negara anggota dalam pengesahan dan pelaksanaan konvensi 2001 dan tambahannya.
Share:

TEMUAN KUBUR BATU DI LAHAT



Pendahuluan

Dataran tinggi Pegunungan Bukit Barisan yang memanjang sepanjang Pulau Sumatera menyimpan banyak peninggalan-peninggalan tua dari masa Prasejarah. Hal itu tidak mengherankan karena dataran tinggi tersebut merupakan daratan yang tidak terendam oleh laut dan merupakan jalur migrasi manusia prasejarah. Peninggalan manusia prasejarah tersebut dapat ditemukan di daerah Kerinci (Jambi), daerah Pasemah (Sumatera Selatan), dan lima puluh kota (Sumatera Barat). Namun dibanding dengan daerah lainnya, daerah Pasemah merupakan daerah yang paling kaya dengan peninggalan Prasejarahnya. Batu-batu besar dengan berbagai bentuk, pahatan di bukit batu, susunan batu yang membentuk ruangan sangat menakjubkan dan memerlukan keahlian yang tinggi. Masyarakat Pasemah menyebutnya batu gajah, rumah batu, batu macan, dan sebagainya. Kalangan para ahli menggolongkannya dalam tradisi megalitik.

Peninggalan megalitik di Pasemah sekarang ini berada di lahan milik penduduk yang berupa sawah atau kebun. Sering terjadi pada saat pengolahan lahan ditemukan peninggalan megalitik yang terpendam di dalam tanah. Namun berbeda halnya dengan laporan temuan kubur batu di Kecamatan Pajar Bulan, Kabupaten Lahat yang berasal dari mimpi. Apapun penyebabnya, penemuan itu kemudian dilaporkan masyarakat kepada instansi terkait. Penemuan Kubur Batu ini merupakan kabar gembira bagi penelitian arkeologi dalam rangka mengungkap “misteri” peninggalan purbakala di dataran tinggi Pasemah.

Letak dan Lingkungan
Temuan kubur batu secara administratif terletak di Desa Talang Pagar Agung, Kecamatan Pajar Bulan, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan. Secara astronomis terletak pada titik koordinat 03° 59' 45.3" LS dan 103° 17' 28.0" BT. Desa Talang Pagar Agung dapat ditempuh dari dua arah, yaitu melalui Kantor Kecamatan Pajar Bulan dengan jarak tempuh 7 km atau melalui Simpang Karet yang terletak sebelum Pasar Kota Pagaralam dengan jarak tempuh lebih jauh sekitar 9 km. Perjalanan melalui Kantor Kecamatan Pajar Bulan dari arah Kota Lahat melalui Kota Pagaralam terlebih dahulu. Namun jalannya tidak dapat dilalui oleh kendaraan roda empat. Kami menuju lokasi melalui Simpang Karet yang lokasinya berada di sebelah kanan jalan dari Kota Lahat. Pada awal perjalanannya melalui jalan yang tidak berkelok-kelok. Namun setelah melalui Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Kota Pagaralam, maka jalan dilalui dengan berkelok-kelok. Kondisi jalan yang semula aspal selanjutnya jalan tanah yang pada saat itu sedang dalam pembangunan saluran air.

Desa Talang Pagar Agung dahulunya merupakan daerah perkebunan di jaman Belanda. Nama Talang berarti tempat tinggal sementara yang biasa ditempati para pekerja kebun. Setelah Belanda keluar dari daerah itu, maka para pekerja kebun menempatinya dan akhirnya terbentuk sebuah desa. Mereka berasal dari Desa Pagar Agung. Nama Desa Talang Pagar Agung merupakan gabungan dari kata Talang dan Desa Pagar Agung. Sekarang Desa Talang Pagar Agung dihuni oleh 124 KK dengan jumlah penduduk 684 jiwa. Luas desa berukuran 275 ha terdiri dari kebun 270 ha dan pemukiman 5 ha.

Temuan kubur batu berada di sebelah kiri jalan di dalam kebun kopi milik Bapak Lukman. Lokasinya sebelum rumah Kepala Desa yang bernama Bapak Fahrudin. Dari jalan desa menuju kubur batu dengan berjalan kaki menempuh jarak sekitar 100 meter. Kubur batu tersebut telah dipagar dengan menggunakan bambu dan batang pohon oleh penduduk setelah selesai penggalian di bagian dalamnya. Di luar pagar tersebut di sebelah Barat terdapat batu besar yang diperkirakan juga merupakan kubur batu. Namun untuk mengetahui lebih lanjut perlu dilakukan penelitian. Temuan lain yang diperkirakan juga merupakan kubur batu adalah batu besar di kebun yang pemiliknya bernama Bapak Alpin. Batu berukuran cukup besar dengan bagian permukaan yang datar. Batu tersebut ditopang atau batu-batu yang berada di bawahnya. Batu di bagian bawah tampak telah terbelah sehingga mengakibatkan batu besar dibagian atas bergeser.



Deskripsi Kubur Batu

Temuan kubur batu di kebun kopi milik Bapak Lukman letaknya berdampingan dengan orientasi Utara-Selatan. Kedua kubur batu mempunyai pintu masuk di sebelah Barat. Menurut informasi, semula bagian yang tampak dari permukaan tanah hanya sedikit, yaitu bagian atap dari kubur batu yang berada di sisi Utara. Setelah dilakukan penggalian, maka ditemukan dua kubur batu. Bagian atap ini terkubur dalam tanah sedalam 20 cm. Penggalian kubur batu dilakukan oleh masyarakat berjumlah 12 orang. Mereka melakukan penggalian selama 10 hari. Kegiatan penggalian itu mengikuti petunjuk seseorang yang dipercaya sebagai paranormal. Tanah yang berada di dalam kubur batu dikeluarkan dan diratakan sekitar kubur batu. Pada saat penggalian ditemukan kepala manusia dari batu putih dan batu-batu pipih dan runcing.

Temuan lainnya yang berada di sekitar kubur batu adalah adanya batu besar yang berada di sebelah Barat dari temuan 2 kubur batu. Jaraknya sekitar 500 cm. Batu ini diduga juga merupakan kubur batu bagian atap. Namun untuk membuktikan hal tersebut perlu dilakukan penelitian. Pada kesempatan itu juga kami ditunjukkan batu besar lain yang berada di kebun milik Bapak Alpin. Lokasi kebun berada di sebelah Timur dari kubur batu. Berikut uraian temuan-temuan purbakala hasil peninjauan di Desa Talang Pagar Agung

a. Kubur Batu I (Utara)
Kubur batu ini terletak di sebelah Utara. Pintu masuk berada di sebelah Barat berukuran tinggi 97 cm dan lebar 45. Pintu ini cukup besar untuk dimasuki orang yang mempunyai berat 80-90 kg. Pintu masuk ini lebih rendah daripada permukaan tanah sekitarnya sedalam 80 cm. Pintu masuk dibentuk dari dua buah batu yang disusun di sebelah kanan dan kiri. Berikutnya kita memasuki kubur batu yang lantainya lebih rendah dari jalan masuk sedalam 63 cm. Lantai tersusun dari beberapa lempengan batu yang kecil. Ruangan kubur batu berukuran panjang 225 cm dan lebar 157 cm dan tinggi 160 cm. Ruangan ini mempunyai dinding yang terbuat dari batu-batu besar di sisi Utara, Timur, dan Selatan. Hasil pengukuran batu besar yang dilakukan dibagian tengah batu menghasilkan ukuran sebagai berikut : Batu besar yang di sisi Utara berukuran panjang 212 cm dan lebar 129 cm. Pada dindingnya tidak tampak adanya lukisan hanya ada lubang-luang berbentuk lingkaran. Batu yang di sisi Timur berukuran panjang 150 cm dan lebar 127 cm. Pada dinding sisi Timur ini tampak adanya lukisan. Namun lukisan tersebut tidak jelas lagi hanya terlihat adanya goresan warna hitam dan merah. Batu yang di sisi Selatan berukuran panjang 188 cm dan lebar 131 cm. Pada batu ini tidak terdapat lukisan. Pada bagian atap tersusun dari dua batu dengan batu yang paling besar berukuran panjang 250 cm lebar 169 cm.

b. Kubur Batu II (Selatan)
Kubur batu ini terletak di sebelah Selatan dari kubur batu I. Pintu masuknya berada di sebelah Barat. Pintu masuk berukuran lebar 45 cm dan tinggi 84 cm. Pintu masuk tersusun dari dua buah batu yang berada di sebelah kanan dan kiri. Lantai kubur batu lebih rendah sedalam 76 cm. Batu-batu besar menyusun kubur batu menjadi ruangan berukuran panjang 214 cm dan lebar 180 cm dengan tinggi 160 cm. Batu di dinding sisi Utara berukuran panjang 194 cm dan lebar 130 cm. Pada dinding terdapat pahatan yang berupa lingkaran. Batu di sisi Timur berukuran panjang 189 cm dan lebar 159 cm. Pada dinding Timur tampak lukisan di hampir sebagian besar permukaan batunya menggunakan warna merah dan hitam. Warna hitam digunakan untuk menarik garis membentuk sesuatu sedangkan warna merah untuk mengisi bagian dalam dari bentuk tersebut. Lukisan tampak sudah tidak jelas sehingga sulit untuk diketahui bentuk yang digambarkan. Batu di sisi Selatan berukuran panjang 157 cm dan lebar 148 cm. Lukisan di sisi Selatan juga dibuat di sebagian besar permukaan batunya. Pada sisi kanan atas tampak adanya gambar manusia dengan kaki yang sedang melangkah lebar dan tangan ke depan sedang memegang benda berbentuk bulat. Penggunaan warna hitam dipakai untuk menarik garis. Sedangkan warna merah sebagai isinya. Gambar-gambar lainnya tidak jelas lagi. Sementara itu bagian atap tersusun dari satu buah batu yang berukuran panjang 190 cm dan lebar 150 cm. Pada bagian atap terdapat pahatan berupa kotak-kotak seperti papan catur.

c. Kepala Arca
Kepala arca menurut informasi berasal dari Kubur Batu II. Kepala ini hanya sampai batas leher bagian atas. Kepala arca berukuran panjang 15 m dan lebar 12 cm. Kepala arca terbuat dari batu putih. Tampak bagian mata yang menonjol berbentuk lonjong. Dibawah mata adalah pipi yang juga menonjol. Bagian hidung telah putus tinggal menyisakan sedikit. Sementara bagian mulut tampak lebar dan samar-samar.

d. Temuan Lainnya
Pada kesempatan itu ditunjukkan pula temuan lain yang lokasinya tidak jauh dari temuan kubur batu. Lokasinya berada di Kebun Kopi milik Bapak Alpin. Tepatnya di sebelah Timur dari temuan kubur batu. Temuan berupa batu besar dan pipih yang ditopang oleh batu yang berada di bawahnya. Batu bagian bawah tampak belum lama terbelah menyebabkan batu bagian atas bergeser. Diperkirakan batu ini merupakan kubur batu atau meja batu.

Kubur Batu Besemah
Daerah lembah lereng Gunung Dempo ke selatan sampai ke Ulu sungai Ogan (Kisam), ke barat sampai Ulu alas (Besemah Ulu Alas), ke utara sampai ke Ulu Musi Besemah (Ayik Keghuh), dan ke arah timur sampai Bukit Pancing dikenal pada jaman dahulu sebagai Besemah atau Pasemah. Pada masa sekarang termasuk dalam wilayah administrasi Kota Pagaralam dan Kabupaten Lahat. Daerah Besemah merupakan dataran tinggi dan pegunungan yang bergelombang. Ketinggian wilayah sangat bervariasi, dari ketinggian sekitar 441 meter dpl ( diatas permukaan laut ) sampai dengan 3.000-an meter lebih dpl. Daerah dataran tinggi 441 meter sampai dengan 1.000 meter dpl, sedangkan daerah berbukit dan bergunung ( bagian pegunungan ) berada pada ketinggian di atas 1.000 meter hingga 3.000 meter lebih dpl. Titik tertinggi adalah 3.173 meter dpl, yaitu puncak Gunung Dempo yang sekaligus merupakan gunung tertinggi di Sumatera Selatan. Daerah Gunung Dempo dengan lereng-lerengnya pada sisi timur dan tenggara mencakup 58,19 % dari luas wilayah Kota Pagar Alam sekarang yang 633,66 hektar.

Bukit dan gunung yang terpenting di wilayah Kota Pagar Alam, antara lain adalah Gunung Dempo (3.173 m), Gunung Patah, (2.817 m), Bukit Raje Mendare, Bukit Candi, Bukit Ambung Beras, Bukit Tungku Tige (Tungku Tiga), dan Bukit Lentur. Bagian wilayah kota yang merupakan dataran tinggi, terutama bagian timur, umumnya disebut “ Tengah Padang”. Daerah pusat Kota Pagar Alam yang meliputi kecamatan Pagaralam Utara dan Kecamatan Pagaralam Selatan atau wilayah bekas Marga Sumbay Besak Suku Alundue terletak pada ketinggian rata-rata 600 samapai 3.173 meter dpl. Daerah Besemah dialiri sejumlah sungai. Satu diantaranya adalah sungai Besemah (Ayik Besemah).

Mengenai keadaan alam Besemah pada permulaan abad ke-19, menurut pendatang Belanda dari karangan van Rees tahun 1870 melukiskan bahwa sampai dengan tahun 1866 ada rakyat yang mendiami perbukitan yang sulit di datangi di sebelah tenggara Bukit Barisan yang tidak pernah menundukkan kepalanya kepada tetangga walaupun sukunya lebih besar. Walau hanya terdiri dari beberapa suku saja, mereka menamakan dirinya rakyat bebas merdeka. Dari barat daya sulit ditembus oleh orang-orang Bengkulu, dari tiga sudut lain dipagari oleh gunung-gunung yang menjulang tinggi dan ditutupi oleh hutan rimba yang lebat dan luas di daerah pedalaman Palembang.

Di daerah Besemah ini banyak ditemukan peninggalan megalitik. Peninggalan megalitik di daerah ini pernah dilaporkan oleh Ullman tahun 1850, Tombrink tahun 1870, Engelhard tahun 1891, Krom tahun 1918, Westernenk tahun 1922, dan Hoven tahun 1927, yang hampir semuanya beranggapan bahwa bangunan-bangunan tersebut merupakan peninggalan Hindu. Pada tahun 1929, van Eerde mengunjungi tempat tersebut, ia berbeda pendapat dengan angggapan-anggapan terdahulu. Van Eerde menyatakan, bahwa peninggalan megalitik di Besemah tidak pernah dipengaruhi oleh budaya Hindu, tetapi masih termasuk dalam jangkauan masa prasejarah. Bentuk megalitik tampak nyata pada peninggalan tersebut seperti pada menhir, dolmen, dan lain-lain. Kemudian van der Hoop melakukan penelitian yang lebih mendalam selama kurang lebih 7 bulan di Tanah Besemah. Hoop menghasilkan publikasi lengkap tentang megalit di daerah tersebut. Publikasi ini sampai kini masih sangat berharga bagi penelitian situs-situs megalit di Tanah Besemah. Van Heerkeren telah membuat ikhtisar tentang penemuan-penemuan megalitik di Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan, sedangkan Peacock mencoba membahas megalit Besemah ini dari sudut pandang sejarah dan fungsinya dalam usaha penelahan kehidupan sosial masa lampau.

Para ahli memperkirakan budaya megalitik yang masuk .ke Indonesia melalui dua gelombang besar. Gelombang pertama, yang disebut megalitik tua, diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar 2.500-1.500 tahun sebelum Masehi yang ditandai oleh pendirian monumen-monumen batu seperti menhir, undak batu, dan patung-patung simbolis-monumental. Gelombang kedua disebut sebagai megalitik muda yang diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar awal abad pertama sebelum Masehi hingga abad-abad pertama Masehi. Monumen-monumen yang mewakili kelompok tinggalan Megalitik muda antara lain berupa monumen peti kubur batu, dolmen, dan sarkofagus.

Bangunan megalitikum tersebut terdapat hampir diseluruh kepulauan Indonesia. Bentuk bangunan kuno ini bermacam-macam dan berdiri sendiri ataupun berkelompok. Maksud utama dari pendirian bangunan tersebut tidak luput dari latar belakang pemujaan nenek-moyang, dan pengharapan kesejahteraan bagi yang hidup, serta kesempurnaan bagi si mati. Bangunan yang paling tua dengan bentuk tersebut di atas dapat diduga umurnya secara nisbi (relatif). Bentuk-bentuk tempat penguburan dapat berupa dolmen, peti kubur batu, bilik batu, dan lain-lain. Di tempat kuburan-kuburan semacam itu biasanya terdapat berbagai batu besar lainya sebagai pelengkap pemujaan nenek-moyang, seperti menhir, patung nenek-moyang, batu saji, batu lumpang, batu lesung, batu batu dakon, tembok batu atau jalan yang berlapis batu.

Hasil penelitian-penelitian arkeologis menegaskan bahwa di Tanah Besemah pernah ada masyarakat yang hidup dan berkembang dalam lintasan prasejarah. Hal ini terbukti dengan banyaknya peninggalan budaya megalitik yang tersebar, misalnya di Tegurwangi, Tanjungaro, Belumai, Gunung Kaya, Gunung Megang, Pulau Panggung, Geramat dan sebagainya. Di beberapa situs itu ditemukan kubur batu. Kubur batu terbentuk dari batu-batu besar yang digunakan sebagai dinding dan atap. Batu-batu tersebut disusun dalam lubang yang telah disiapkan terlebih dahulu.

Selain Van der Hoop, penelitian tentang kubur batu ini dilakukan juga oleh peneliti C.C. Batenberg dan C.W.P. de Bie. Van der hoop sendiri telah meggali salah satu kubur batu yang berada di Teguwangi, yang dianggap paling besar di antara-antara kubur batu lainnya. Ia berhasil menemukan benda-benda yang penting sebagai bukti peninggalan dari pendukung tradisi kubur batu. Pemukaan atas tutup kubur batu berada 25 cm dibawah permukaan tanah, dan tutup peti kubur batu ini terdiri dari beberapa papan batu. Sela – sela antara batu – batu penutup dan antara penutup dengan peti tersebut diisi dengan batu – batu kecil. Diantara papan – papan penutup, yang paling besar berukuran panjang 2,5 m. Lantai yang agak melandai dengan arah timur barat, terdiri dari 3 papan batu. Lapisan tanah selebar 20 cm dari atas peti, berisi temuan – temuan, seperti 4 butir manik – manik merah berbentuk silindrik, sebuah manik berwarna hijau transparan berbentuk heksagonal tangkup, sebuah paku emas berkepala bulat dan ujung yang tumpul, sebuah manik berwarna kuning keabu – abuan dua buah mekanik berwarna biru serta sebuah fragment perunggu selain itu masih ditemukan manik – manik dalam berbagai bentuk sebanyak 63 buah.

Didalam kubur batu yang lainnya yang pernah dibuka oleh Batenburg, ditemukan beberapa buah manik – manik berwarna kuning dan sebuah mata tombak dari besi yang telah sangat berkarat. Didalam kubur batu yang ditemukan oleh de Bie, terdapat sebuah lempengan perunggu berbentuk segiempat yang mengembung di bagian tengah. Selanjutnya de Bie menemukan peti kubur batu rangkap di Dusun Tanjung aro yang terdiri dari dua ruang sejajar berdampingan, dipisahkan oleh dinding yang di lukis dengan warna-warna hitam, putih, merah, kuning, dan kelabu. Lukisan ini menggambarkan manusia dan binatang yang distilir antara lain tampak gambar tangan dengan tiga jari, kepala kerbau dengan tanduknya, dan mata kerbau yang digambarkan dengan lambang-lambangnya dihubungkan dengan konsepsi pemujaan nenek-moyang.

Dalam bidang seni, tradisi megalitik di Besemah telah mengenal seni lukis yang berkualitas tinggi, baik dari segi bentuk maupun dari tata warna. Gaya naturalis serta gaya-gaya stilir telah muncul pada berbagai dinding kubur batunya yang dapat dilihat di situs megalitik Tanjungaro, megalitik Tegurwangi, dan megalitik Kotaraya Lembak. Lukisan purba di dusun Tanjungaro ditemukan pertama kali oleh Van der Hoop. sedangkan yang di dusun Tegurwangi dan dusun Kotaraya Lembak ditemukan oleh penduduk sekitar tahun 1987. Lukisan-lukisan tersebut mempunyai perpaduan warna yang menunjukkan bukti bahwa pembuatnya sudah mempunyai teknik yang berkualitas tinggi dalam penguasaan tata warna.

Menurut hasil analisis bentuk yang dilakukan Hoop, lukisan dari kubur batu Tanjungaro menggambarkan seorang manusia yang mengendarai seekor kerbau yang mengacu pada bentuk antropomorpik (bentuk manusia) dan bentuk fauna baik jenis kerbau maupun kera. Pada lukisan dari kubur batu Tegurwangi dan Kotaraya Lembak, juga memiliki kualitas tinggi baik dipandang dari sudut estetika maupun simbol yang melatarbelakanginya. Tampaknya lukisan tersebut merupakan suatu pesan dari pelukisnya dalam bentuk simbol yang mengacu pada perilaku dan kehidupan religius masa itu. Analisis laboratorium yang dilakukan oleh Samidi, dari Direktorat perlindungan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, berhasil mengungkapkan tentang bahan-bahan yang digunakan memakai warna hitam, merah, putih dan kuning. Warna merah dalam pada masa prasejarah telah menduduki tempat yang sangat penting. Warna merah telah banyak digunakan dalam upacara-upacara prosesi penguburan.

Objek-objek lukisan purba di Besemah di atas adalah manusia, fauna, flora, benda buatan manusia dan alam. Lukisan manusia digambarkan dengan susunan anatomi yang lengkap terdiri dari kepala, leher, badan, kaki dan berbagai anggota badan, seperti hidung, mata, mulut dan lain-lain secara lengkap. Walaupun demikian penggambaran tokoh manusia dibuat dalam proporsi yang tidak sebenarnya, antara lain posisi kepala terlalu kedepan, sehingga objek lukisan seolah-olah bongkok. Demikian pula kadang-kadang badan terlalu gemuk dan leher pendek, penggambaran kaki seorang tokoh biasanya lebih pendek dibandingkan dengan anggota badan lainnya. Tokoh manusia banyak yang menunjukkan bentuk fisik seperti fisik orang Negro. Di dalam kubur batu di Dusun Tegurwangi, tokoh manusia ada yang digambarkan seperti seorang wanita dengan payudara yang besar. Tampaknya dalam bidang seni ada kesejajaran dalam tingkat keahlian antara seni lukis dan seni pahat. Hal ini tampak dari hasil pahatan dalam bentuk arca maupun dalam bentuk lukisan yang menghasilkan bentuk dan proporsi manusia yang hamper sama. Dalam seni lukis tokoh manusia juga di gambarkan dengan posisi bongkok dan dengan bibir lebar yang tebal.

Lukisan dalam bentuk binatang (fauna) terdiri dari binatang liar dan binatang-binatang yang telah dibudidayakan. Binatang liar, antara lain, adalah harimau (pengamatan Teguh Asmar), burung hantu (pengamatan Haris Sukendar), dan ular. Sedang binatang yang telah dibudidayakan, antara lain, lukisan kerbau. Lukisan binatang ini tampaknya erat sekali dengan pemahaman pendukung tradisi megalitik dengan lingkungan. Binatang yang menjadi objek lukisan terdapat di hutan belantara Besemah. Seperti juga pada tinggalan-tinggalan arca, maka lukisan purba Besemah mempunyai maksud yang hampir sama, yaitu bertujuan sebagai harapan terjadinya keakraban antara manusia dengan binatang hutan yang ganas. Kalau Hoop mendeskripsikan lukisan kerbau di Dusun Tanjungaro menggambarkan seorang manusia mengendarai kerbau, sedangkan Teguh Asmar mendeskripsikan lukisan kerbau pada dinding pintu masuk salah satu kubur batu di Kotaraya. Selanjutnya, Asmar mengatakan bahwa kerbau dilukiskan kepala, leher, badan, seta kaki dengan penampilan yang tidak proporsional. Tanduknya hanya kelihatan satu, melengkung ke atas dan berwarna putih. Badannya begitu pendek diteruskan gambaran kaki kanannya yang memanjang kearah bawah, sedangkan kaki kirinya hanya tampak sampai separuh paha. Melihat bawahnya terlukis sebuah motif yang tidak jelas, karena warna lukisan banyak yang hilang. Kecuali tanduk dan selempang leher, kerbau diberi warna hitam dengan warna kontras putih. Kemungkinan yang dikira Asmar kerbau itu adalah badak, karena “tanduk”nya satu dan melengkung ke atas dan badannya begitu pendek, serta mempunyai selempang leher.

Lukisan burung hantu merupakan lukisan yang indah di kubur batu Kotaraya Lembak. Haris Sukendar mengatakan bahwa lukisan itu menggambarkan burung hantu yang memiliki kuku panjang dan runcing, bagian muka (paruh dan mata) digambarkan secara jelas, sedangkan menurut Asmar bahwa binatang yang dimaksud adalah harimau. Tetapi menurut masyarakat setempat “burung hantu” tersebut adalah burung gerude (garuda). Selain lukisan “burung hantu” di dinding sebelah kiri, di dekat pintu masuk kubur batu adalah lukisan palak nage (kepala naga). Arca-arca dalam tradisi megalitik biasanya digunakan sebagai sarana untuk menjaga keselamatan, khususnya “keselamatan” si mati dalam mencapai dunia arwah. Untung Sunaryo telah menemukan lukisan purba yang menggambarkan seperti serigala atau harimau dalam satu bidang dengan seorang objek lukisan manusia. Lukisan ini ditemukan tahun 1987 di kubur bilik batu Tegruwangi. Tetapi sayang sekali, lukisan itu telah hilang. Dari pengamatan Haris Sukendar, lukisan fauna di megalitik Besemah dalam bentuk fisiknya dibagi menjadi dua bagian yaitu (1) Lukisan realistis, lukisan digambar sesuai dengan bentuk aslinya, seperti lukisan burung hantu, (2) Lukisan bersifat stilir, lukisan yang digambarkan dengan bentuk yang bergaya, tetapi mempunyai makna seperti objek aslinya, seperti lukisan kerbau di dusun Tanjungaro.

Seperti juga pada seni pahat, seni lukis kerbau ditemukan pada dinding kubur batu yang membuktikan bahwa kerbau telah dikenal dan dibudidayakan dalam tradisi megalitik di Besemah. Kerbau dalam tradisi megalitik ini menjadi binatang utama. Dalam berbagai upacara penting, kerbau selalu berperan yang digunakan sebagai binatang kurban yang disembelih baik untuk keperluan berkaitan dengan kepercayaan (beliefs), yaitu sebagai kendaraan arwah ketika menuju alam arwah atau sebagai konsumsi manusia itu sendiri. Selain itu, kerbau juga merupakan simbol harkat dan martabat seseorang. Lukisan kerbau pada tradisi megalitik di Besemah menunjukkan bahwa masyarakatnya telah akrab dengan binatang ini.

Penemuan kubur batu di Desa Talang Pagar Agung menambah daftar temuan kubur batu di daerah Kota Pagaralam dan Kabupaten Lahat. Kubur batu ditemukan di Dusun Belumai, Tegurwangi, Tanjungaro, Pematangbango, Kotaraya Lembak, dan Gunungmegang. Namun disayangkan bahwa temuan kubur batu di Desa Talang Pagar Agung ini telah rusak akibat penggalian yang dilakukan masyarakat. Temuan yang diharapkan akan menambah data arkeologis menjadi sirna dengan dikeluarkannya tanah yang berada di dalam kubur batu. Sesuatu yang mungkin terkandung di dalam tanah tersebut menjadi hilang. Kemungkinan keberadaan sisa-sisa rangka manusia atau bekal kubur telah musnah. Kami hanya menemukan adanya lukisan yang telah samar-samar dan kepala manusia dari batu putih. Selebihnya adalah batu-batu pipih yang tidak diketahui fungsinya.

Lukisan-lukisan terdapat di kedua kubur batu. Lukisan di kubur batu sebelah Utara terdapat di dinding batu sisi Timur. Lukisan telah benar-benar tidak dapat diidentifikasi bentuknya. Tampak samar-samar adanya goresan warna hitam dan merah. Sedangkan lukisan di kubur batu sebelah Selatan terdapat di dinding batu sisi Timur dan Selatan. Lukisan menutupi hampir sebagian besar permukaan tanah. Namun itupun juga telah samar-samar. Namun lebih baik dari lukisan yang ada di kubur batu sebelumnya. Lukisan di dinding sisi Timur menggunakan warna yang sama, yaitu warna hitam dan merah. Warna hitam digunakan sebagai garis untuk membentuk gambar, sedangkan warna merah untuk mengisi diantara warna hitam. Lukisan tidak diketahui lagi bentuknya. Sementara itu di dinding sisi Selatan tampak jelas adanya gambar manusia yang sedang melangkah kakinya dengan lebar ke depan. Tangannya lurus ke depan agak ke atas sedang menggenggam benda berbentuk bulat. Pada lukisan ini tampak adanya bagian kepala. Pada dinding Selatan itu juga tampak seluruh permukaan batunya dilukis. Namun sudah tidak jelas lagi. Warna hitam digunakan untuk membuat garis-garis pinggir dari lukisan manusia tersebut. Sedangkan warna merah untuk bagian dalam diantara garis hitam.

Penutup
Temuan kubur batu di Desa Talang Pagar Agung merupakan data penting yang harus segera dilakukan penelitian arkeologis. Rasa keingintahuan masyarakat terhadap temuan tersebut yang diiringi dengan ketidaktahuan yang harus dilakukan telah menyebabkan kubur batu tersebut mengalami gangguan, yaitu dengan dilakukannya penggalian tanah yang berada di dalam kubur batu ke luar. Tentu saja pengalian yang tidak dilakukan dengan baik itu akan menghilangkan benda-benda yang mungkin bercampur dengan tanah. Tindakan masyarakat melaporkan penemuan kubur batu sudah benar, tetapi seharusnya dengan tidak melakukan penggalian.

Temuan kubur batu menjadi unik dan menarik karena terdapat lukisan kubur batu. Memang lukisan kubur batu ditemukan di hampir semua kubur batu. Namun yang membedakannya adalah bentuk yang digambarkan dan warna yang dipakai. Tentunya hal itu menjadi kekhasan setiap kubur batu. Hal yang paling penting adalah kubur batu di dataran tinggi Pasemah tidak terdapat di daerah lainnya di Indonesia.
Share:

CANDI BUMIAYU : Candi Hindu di Tepi Sungai Lematang


Pendahuluan
Kompleks Percandian Bumiayu secara administratif terletak di Desa Bumiayu, Kecamatan Tanah Abang, Kabupaten Muaraenim, Propinsi Sumatera Selatan. Desa tersebut berbatasan dengan Desa Tanah Abang Selatan di sebelah Utara, Desa Kemala (Prabumulih Barat) di sebelah Timur, Desa Siku di sebelah Selatan dan Desa Pantadewa di sebelah Barat. Sedangkan secara astronomis, situs tersebut terletak pada 03 9,5’59” LS dan 104 5,5’45” BT.
Kompleks Percandian Bumiayu memiliki 10 (sepuluh) gundukan tanah yang diduga berisi struktur bata sisa bangunan kuno. Dari 10 (sepuluh) gundukan tanah tersebut 4 (empat) diantaranya berukuran cukup besar, yaitu gundukan Candi 1, Candi 2, Candi 3 dan Candi 8. Kawasan situs dialiri oleh Sungai Lematang di sebelah Timur dan dikelilingi oleh sungai-sungai kecil, yaitu: Sungai Piabung, Sungai Lebak Jambu, Sungai Lebak Tolib, Sungai Lebak Panjang, Sungai Lebak Siku dan Sungai Siku Kecil. Keseluruhan sungai-sungai tersebut saling berhubungan membentuk parit yang mengelilingi kompleks percandian Bumiayu dan melalui Sungai Siku bermuara di Sungai Lematang.

Riwayat Penelitian dan Pelestarian
Situs Bumiayu pertama kali dilaporkan oleh E.P Tombrink pada tahun 1864 dalam Hindoe Monumenten in de Bovenlanden van Palembang. Dalam kunjungannya di daerah Lematang Ulu dilaporkan adanya peninggalan-peninggalan Hindu berupa arca dari trasit berjumlah 26 buah, diantaranya berupa arca Nandi, sedang di daerah Lematang Ilir ditemukan runtuhan candi dekat Dusun Tanah Abang, dan sebuah relief burung kakatua yang sekarang disimpan di Museum Nasional. Kemudian pada tahun 1904 seorang kontrolir Belanda bernama A.J Knaap melaporkan bahwa di wilayah Lematang ditemukan sebuah runtuhan bangunan bata setinggi 1,75 meter, dan dari informasi yang diperoleh bahwa reruntuhan tersebut merupakan bekas keraton Gedebong-Undang. JLA Brandes juga melakukan penelitian pada tahun yang sama.Di dalam majalah Oudheidkundig Verslag, FDK. Bosch menyebutkan bahwa di Tanah Abang ditemukan sudut bangunan dengan hiasan makhluk ghana dari terrakota, sebuah kemuncak bangunan berbentuk seperti lingga, antefiks, dan sebuah arca tanpa kepala. Tahun sebelumnya yaitu tahun 1923 Westenenk melakukan hal yang sama. Pada tahun 1936 F.M. Schnitger telah menemukan tiga buah runtuhan bangunan bata, pecahan arca Siwa, dua buah kepala Kala, pecahan arca singa dan sejumlah bata berhias burung. Artefak-artefak yang dibawa Schnitger itu sekarang disimpan di Museum Badaruddin II, Palembang
Penelitian yang dilakukan oleh bangsa Indonesia baru dilaksanakan pada tahun 1973 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bekerja sama dengan Universitas Pennsylvania. Pada penelitian tersebut ditemukan tiga buah runtuhan bangunan yang dibuat dari batu bata. Kemudian pada tahun 1976 dilakukan survei dan berhasil menemukan tiga buah runtuhan bangunan. Penelitian secara intensif dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada tahun 1990 yang bekerja sama dengan Ecole Francaise d’Extreme Orient (EFEO). Kemudian penelitian dilanjutkan pada tahun 1991 dengan melakukan pemetaan menyeluruh di kompleks Percandian Bumiayu, serta penelitian biologi dan geologi. Dari hasil penelitian tahap I ini dapat diketahui bahwa situs tersebut dikelilingi parit yang berhubungan dengan sungai Lematang. Sedang dari hasil pengamatan geologi dilaporkan bahwa lokasi kompleks percandian yang terletak di kelokan sungai Lematang ini dalam jangka waktu 20 tahun dikhawatirkan bangunan candinya akan terbawa arus sungai.
Hasil penelitian ini ditindaklanjuti dengan dilakukannya ekskavasi di Candi I pada tahun 1992 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Pada penelitian tahap II ini ditemukan sudut bangunan bagian penampil bangunan candi dan dilaporkan pula bahwa di kompleks percandian tersebut ditemukan sembilan buah gundukan tanah yang mengindikasikan adanya runtuhan bangunan serta memberi penomoran pada gundukan-gundukan tersebut. Penomoran di bagian belakang kata “candi” diurutkan berdasarkan urutan penemuannya, dan ditempatkan dalam peta situasi Kompleks Percandian Bumiayu. Penamaan “candi” pada setiap gundukan tidak mengindikasikan bahwa gundukan tersebut merupakan bangunan candi, karena dari hasil penelitian, diketahui bahwa tidak semua bangunan kuno yang terdapat di situs ini bersifat sakral, namun ada juga yang bersifat profan. Penamaan ini hanya dimaksudkan untuk memudahkan dalam inventarisasi. Dengan demikian tidak semua gundukan tanah yang ditemukan di situs Percandian Bumiayu merupakan runtuhan bangunan sakral yang biasa disebut bangunan candi. Di Kompleks Percandian Bumiayu berdasarkan hasil penelitian terdapat 11 (sebelas) struktur bata sisa bangunan kuno. 4 (empat) diantaranya telah dipugar, yaitu Candi 1, Candi 2, Candi 3, Candi 8, dan Candi 7. Kawasan situs dialiri oleh Sungai Lematang di sebelah Timur dan dikelilingi oleh sungai-sungai kecil, yaitu: Sungai Piabung, Sungai Lebak Jambu, Sungai Lebak Tolib, Sungai Lebak Panjang, Sungai Lebak Siku dan Sungai Siku Kecil. Keseluruhan sungai-sungai tersebut saling berhubungan membentuk parit yang mengelilingi kompleks percandian Bumiayu dan melalui Sungai Siku bermuara di Sungai Lematang.
Kegiatan pemugaran di Situs Bumiayu pada awalnya dilakukan oleh Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (P2SKP) Propinsi Sumatera Selatan dengan melakukan penggalian secara menyeluruh di Candi 1 pada tahun 1992 - 1993. Dari hasil penggalian dan pengupasan Candi 1 dapat diketahui bentuk denah dan ukurannya. Selain itu juga ditemukan komponen-komponen bangunan dan sejumlah arca dari batu putih, seperti Siwa, arca Agastya, dua arca tokoh, dan arca yang menggambarkan tiga tokoh dari batu hitam. Pada tahun 1994 - 1995 dilanjutkan dengan pemugarannya. Candi induk yang berhasil dipugar kemudian dicungkup untuk pengamanannya pada tahun 1996. Pada tahun berikutnya berturut-turut dilakukan pemugaran terhadap Candi 3 dan 8.
Pemugaran Candi 2 dimulai dengan pengupasan gundukan pada tahun 2001 oleh Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatera Selatan. Selanjutnya pada tahun 2002 dan tahun 2003 dilakukan pemugarannya oleh Proyek Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (P2SP) Jambi dengan menggunakan dana APBN. Hal itu dikarenakan adanya perubahan Propinsi Sumatera Selatan menjadi daerah otonom. Pada Candi 2 yang telah dipugar kemudian dibangun cungkup oleh Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Sumatera Selatan menggunakan dana APBD pada tahun 2004. Pada tahun yang sama juga dilakukan pengupasan, pemugaran, dan pencungkupan pada Candi 7, serta perbaikan bangsal temuan Candi 1.Pencungkupan yang dilakukan pada Candi 2 dan Candi 7 menggunakan model cungkup Candi 1, yaitu tiang coran semen, kuda-kuda dari besi, dan atap menggunakan seng. 

Deskripsi
Candi 1
Candi 1 Bumiayu terletak di sebelah barat Sungai Piabung. Candi ini yang pertama akan terlihat ketika memasuki kompleks percandian Bumiayu. Pandangan dari jalan raya ke Candi 1 terhalang dikarenakan di dekatnya terdapat bangunan sekolah dasar. Candi 1 terpisah dari lingkungan sekitarnya dengan pagar BRC dan pagar kawat. Kompleks candi 1 terdiri dari satu buah candi induk dan tiga buah candi perwara.

a. Candi Induk

Candi induk merupakan bangunan yang telah dipugar dan dicungkup oleh Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (P2SKP) Propinsi Sumatera Selatan mulai tahun anggaran 1992/993 sampai dengan tahun anggaran 1995/1996. Bentuk bangunan berdenah empat persegipanjang berukuran 16,8 x 16 meter. Pada setiap sisinya terdapat sebuah penampil dan terdapat pilaster-pilaster di setiap sudutnya. Penampil bagian timur memiliki tangga masuk yang merupakan pintu masuk utama dan sekaligus menunjukkan arah hadap candi ke arah Timur. Pintu masuk menjorok ke depan sekitar 4,46 meter dari dinding sisi timur bangunan. Bentuk penampil terbagi menjadi tiga bagian yang masing-masing berdenah empat persegipanjang. Secara keseluruhan penampil di sisi timur ini membentuk denah segi dua belas yang ukurannya semakin ke timur semakin mengecil. Di depan penampil terdapat teras berlantai bata setinggi 0,25 meter dari permukaan tanah dengan ukuran 2,28 x 2,80 meter.

Candi 1 diperkirakan dibangun dalam dua tahapan. Bangunan utama candi dibuat pada tahap I dan berbahan dasar bata berwarna putih kekuningan serta tidak memiliki profil yang terletak di belakang penampil-penampil dan pilaster sudut. Penampil-penampil pada setiap sisi bangunan diduga merupakan bangunan tambahan pada tahap II, karena terlihat adanya ketidaksatuan antara penampil dengan bangunan utama. Dengan kata lain, struktur bata antara keduanya hanya menempel.

b. Candi Perwara

Candi Perwara berjumlah tiga buah yang terletak di sebelah Timur candi induk. Kondisi ketiga candi telah jauh berbeda dengan kondisi pada tahun 2002. Pada saat itu dilaporkan candi perwara I masih memiliki 11 lapis bata sedangkan candi lainnya di bawah 8 lapis bata. Uraian ketiga candi perwara adalah sebagai berikut :

Candi Perwara I
Candi terletak di sebelah Utara berukuran 5,20 x 5,20 meter dengan tinggi yang tersisa 0,72 meter. Bangunan berupa reruntuhan bata yang menyisakan lapisan bata sebanyak 9 lapis. Candi Perwara ini dalam kondisi yang paling baik dibandingkan dengan candi perwara lainnya.

Candi Perwara II
Candi perwara II terletak di tengah dan merupakan reruntuhan bangunan kedua yang kondisinya masih cukup baik. Candi ini juga berukuran 5,20 x 5,20 meter dengan tinggi 0,40 meter. Bata-bata dibagian penampil berhasil direkonstruksi dan membentuk denah empat persegipanjang. Di atas susunan bata bagian Selatan terdapat bata berelief yang diperkirakan merupakan bagian mulut binatang.

Candi Perwara III
Candi terletak di sebelah Selatan dan merupakan reruntuhan bata yang mengalami kerusakan paling parah. Bata-batanya telah banyak yang hilang. Namun berdasarkan sisa-sisa struktur yang ada diperkirakan bentuk bangunannya sama dengan bangunan lainnya, yaitu berukuran 5,20 x 5,20 meter. Struktur bata yang tersisa di bagian sisi Utara tingginya 0,32 meter.

Candi Perwara IV
Candi ini terletak sekitar 10 meter di sebelah Timur Candi Perwara dengan posisi sejajar dengan candi perwara II yang berada di tengah. Candi ini diperkirakan berdenah empat persegipanjang berukuran 2,40 x 3,30 meter. Lapisan bata yang masih tersisa berada di sisi timur berjumlah 5 lapis atau 0,40 meter.

c. Pagar Keliling
Di kompleks Candi 1 ini diperkirakan juga terdapat pagar keliling karena ekskavasi yang dilakukan di sebelah Selatan Candi Induk menemukan struktur bata yang memanjang dari Barat ke Timur. Struktur bata terdiri dari 5 lapis dengan ketebalan dinding 1 meter. Namun untuk menentukannya lebih lanjut perlu dilakukan penelitian di lokasi lainny, yaitu sebelah Utara, Timur, dan Barat.

Candi 7
Candi 7 terletak di sebelah Timut Laut Candi 1 dengan jarak 20 meter. Dari keletakannya sebetulnya Candi 7 ini masih bagian dari candi-candi yang berada di Candi 1. Pada mulanya Candi 7 merupakan gundukan tanah yang berukuran 18 x 18 meter dan tinggi sekitar 1 meter. Pada tahun 2002 tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melakukan ekskavasi dan berhasil menemukan struktur bata yang memanjang dengan orientasi barat-timur panjangnya 390 cm. Pada tahun 2003 tim dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi melakukan ekskavasi dan menemukan struktur bata dengan lebar 1 meter. Sementara itu pada bagian tengah tidak ditemukan adanya susunan bata. Pada tahun 2004 Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Sumatera Selatan melakukan kegiatan yang berupa pengupasan, konsolidasi, dan pencungkupan. Selain itu juga di bangun sebuah bangunan untuk menyimpan koleksi.
Candi 7 berdenah dasar empat persegipanjang dengan penampil di sebelah Barat. Denahnya berukuran 9 x 10,60 meter sedangkan penampil berukuran 5,53 x 5,80 meter. Bentuk Candi 7 ini tidak lazim karena bagian tengahnya kosong atau tidak ada bata-bata isian. Selain itu di bagian dalam atau tepatnya di sisi barat laut terdapat susunan bata yang membentuk lingkaran berukuran 1,55 x 1,75 cm. Berbeda dengan dibagian penampil yang padat dengan bata-bata isian yang sudah tidak lagi beraturan.

Candi 2
Candi 2 terletak di sebelah Barat Candi 1 atau di sebelah Utara Candi 3. Jarak antara Candi 1 ke Candi 2 dan antara Candi 2 dan Candi 3 hampir sama. Apabila ditarik garis lurus pada ketiga candi tersebut maka akan terbentuk segitiga sama kaki. Candi 2 merupakan sebuah kompleks bangunan candi yang terdiri dari sebuah candi induk, empat struktur bata, dan sebuah candi perwara.Di kompleks Candi 2 ini didapatkan empat buah struktur bata yang tidak terdapat di candi lain. Letaknya berjajar dengan orientasi Utara - Selatan. Fungsi keempat struktur bata tersebut belum diketahui. Kemungkinan pengupasan pada Perwara Candi 2 akan mengungkap keberadaan kedudukannya di dalam kompleks Candi 2.

a. Candi Induk
Candi induk merupakan bangunan yang telah dilakukan pengupasan oleh Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatera Selatan pada tahun 2000. Pemugarannya dilakukan oleh Proyek P2SP Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi pada tahun 2002 dan 2003. Sedangkan pencungkupannya oleh Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Sumatera Selatan pada tahun 2004.
Bangunan candi induk berukuran 9,91 x 12,74 meter dan tinggi 1,0 meter. Denah dasarnya berbentuk persegi empat dengan ukuran 9,52 x 9,91 meter. Pada ketiga sisinya, kecuali sisi Timur terdapat penampil yang berukuran hampir sama sekitar 40 cm x 4,90 meter. Sedangkan di sisi Timur terdapat dua buah penampil yang berukuran 2,58 x 7,33 meter dan 0,52 x 3,30 meter. Penampil ini menjadi petunjuk arah hadap candi. Pada penampil ini terdapat dua buah jalan naik ke atas candi. Letaknya di sisi Utara dan Selatan. Di tempat itu terdapat dua susunan bata yang dibentuk membulat yang sama persis. Hal lain yang juga menarik pada penampil sisi timur adalah adanya susunan bata dengan pola susun lepas atau bareh (bhs. Jawa). Susunan bata tersebut berada pada lima lapis bata terbawah. Lokasinya antara denah denah dasar candi dengan penampil sisi timur dan yang lainnya di dekat atau di bawah hiasan bentuk yang membulat. Diperkirakan hal tersebut terjadi pada saat proses penyusunan bata yang terpisah antara denah dasar dengan penampil sisi timur atau merupakan bangunan tambahan.Candi induk ini menyisakan lapisan bata berjumlah 16 bata berdasarkan bukti yang diperoleh dari susunan bata hasil pengupasan di sisi selatan.

b. Candi Perwara
Berdasarkan kegiatan studi teknis yang dilakukan pada tahun 2006 diketahui bahwa gundukan candi mengandung struktur bata berbentuk empat persegi panjang berukuran 980 x 1300 cm. Pada sisi sebelah Barat terdapat struktur bata yang membentuk huruf U dengan panjang masing-masing sisinya 100 cm. Struktur yang berbentuk huruf U ini yang masih utuh terletak di sisi Selatan. Sementara yang terletak di sisi Utara telah rusak terkena pengupasan. Disimpulkan pula bahwa arah hadap bangunan adalah ke Barat. Bentuk denah bangunan ini mempunyai bentuk yang tidak umum. Adanya bagian sisi Barat yang membentuk huruf U dapat dikaitkan dengan keberadaan empat struktur bata yang berada tepat di antara Candi Induk dan Candi Perwara Candi 2. Hasil analisis menunjukkan bahwa susunan bata di Candi Perwara 2 menyerupai pagar keliling.

c. Empat Struktur Bata
Empat struktur bata yang terletak di sebelah timur Candi induk mempunyai bentuk dan ukuran yang sama, yaitu merupakan susunan bata yang dibentuk empat persegi panjang berukuran 68 cm x 78 cm. Posisi struktur bata berbaris dari utara ke selatan. Ketinggian keempat struktur tidak diketahui lagi, dikarenakan kondisinya sudah tidak lengkap. Struktur bata No. 1 menyisakan empat lapis bata, struktur bata No. 2 menyisakan 12 lapis bata, struktur bata No. 3 menyisakan empat lapis bata, dan struktur bata No. 4 menyisakan dua lapis bata. Pemugaran yang dilakukan pada struktur bata menjadikan Struktur bata No. 1 sebanyak 10 lapis bata, struktur bata No. 2 tetap 12 lapis bata, struktur bata No. 3 dan No. 4 sebanyak sembilan lapis bata.

Candi 8
Pada Bulan Oktober tahun 1997 dilakukan pengupasan terhadap gundukan tanah yang dinamakan Candi 8. Hasil pengupasan menampakkan struktur bangunan yang berukuran 5 x 12 meter. Selain struktur bangunan, di sebelah Timur bangunan tersebut ditemukan empat buah makara yang kondisinya relatif utuh. Candi 8 terletak di dekat sebuah danau yang ada di kompleks Candi Bumiayu. Danau tersebut berair di musim hujan dan sebaliknya akan kering di musim kemarau. Lokasi Candi 8 ini akan dilewati ketika akan menuju Candi 3. Candi 8 mempunyai bentuk yang berbeda dengan candi-candi lainnya karena candi induknya berbentuk persegi panjang.

a. Candi Induk
Candi induk berdenah empat persegi panjang berukuran 5 x 12 meter. Setelah empat lapis bata dibagian bawah, diatasnya terdapat bata-bata berhias yang tidak beraturan. Bata-bata berhias itu tampak seperti ditempatkan begitu saja. Selanjutnya disusun bata sebanyak enam lapis dengan dua lapis teratas dipasang menjorok ke dalam.

b. Candi Perwara
Candi Perwara ini terletak di sebelah Selatan candi induk berjarak 12 Meter. Candi ini mempunyai denah yang berbeda dengan candi induknya, yaitu berdenah bujur sangkar berukuran 3,10 x 2,10 x 0,42 meter. Candi Perwara menyisakan enam lapis bata yagn semakin rapuh karena terkena panas dan hujan terus menerus. Ukuran Batanya adalah 29 x 18 x 7 cm.

Candi 3
Pada tahun 1996 sd. 1997 dilakukan pengupasan yang berhasil menemukan adanya sau buah candi induk dan tiga buah candi perwara. Kegiatan pengupasan tersebut juga menghasilkan komponen-komponen bangunan yang tidak diketahui lagi tempatnya dan fragmen arca yang berbagai jenis. Candi 3 ini dibandingkan dengan candi-candi lainnya diperkirakan yang paling megah bangunan. Candi induknya berdenah 12 persegi dengan sekeliling bangunan yang dihiasi dengan ukiran-ukiran mulai dari bagian kaki hingga atap. Candi 3 Bumiayu sekarang ini merupakan kompleks candi yang paling jauh dari jalan masuk. Letak Candi 3 dari Candi 1 berjarak sekitar 500 meter. Candi 3 dikelilingi pagar kawat yang sekarang telah rusak berukuran 50 x 70 meter. Namun sebenarnya dibagian luar dari pagar kawat tersebut terdapat gundukan memanjang yang diperkirakan pagar keliling yang lebarnya sekitar 2 meter dan tingginya 0,40 meter.

a. Candi Induk
Candi induk mempunyai bentuk unik karena berdenah segi dua puluh yang terbentuk dari segi empat yang berukuran 13,80 x 13,80 meter dan empat buah penampil di empat sisinya berukuran 1,80 x 3,50 meter. Tetapi pada bagian pusat bangunan berdenah segi delapan yang sisi-sisinya berukuran 1 meter. Diperkirakan pada masa berdirinya candi induk ini dahulunya, bagian yang berdenah segi empat merupakan bagian kaki candi, sedangkan bagian yang berdenah delapan ini menjulang tinggi sebagai bagian dari tubuh candi. Sekarang lapisan bata yang tersisa dari candi induk ini adalah berjumlah 23 lapis bata. Lapisan yang paling tinggi terdapat dibagian pusat bangunan atau yang berdenah delapan. Kerusakan lapisan bata yang parah terjadi pada bagian bata luar (kulit).
Pada bagian Timur Candi induk terdapat struktur bata yang merupakan selasar penghubung dengan Candi Perwara I. Berdasarkan hal itu, maka diperkirakan bahwa arah hadap atau pintu tangga menuju batur adalah di sebelah Timur.

b. Candi Perwara
Candi Perwara di kompleks Candi 3 berjumlah 3 buah yang terletak di sebelah Utara, Timur, dan Selatan candi induk. Candi-candi tersebut mempunyai ukuran yang berbeda dengan candi perwara yang paling luas di sebelah Timur dan candi perwara yang terkecil di sebelah Utara. Uraian candi-candi perwara itu adalah sebagai berikut

Candi Perwara I
Candi Perwara I merupakan candi yang ukurannya paling luas berdenah segi empat berukuran 11 x 11,40 meter. Candi Perwara ini terhubung dengan candi induk dengan adanya selasar. Lapisan bata yang masih tersisa berjumlah 2 lapis. Pada bagian tengah candi berupa tanah yang tidak rata permukaannya.

Candi Perwara II
Candi Perwara II ini terletak di sebelah Selatan candi induk. Lokasinya persis di Selatan candi induk dan sangat dekat. Namun antara keduanya terpisah dan tidak ada selasar seperti pada candi perwara I. Candi Perwara II berdenah bujursangkar berukuran 5,20 x 7,40. Pada sisi Utara terdapat penampil berukuran 1,20 x 1,20 meter. Bata-bata pada penampil ini disusun kembali sampai menutupi bagian atasnya. Sedangkan bagian lainnya hanya ditutup dengan dengan pasir.

Candi Perwara III
Candi Perwara III lokasinya di sebelah Utara dari Candi Perwara I. Candi berdenah segi empat berukuran 6,70 x 6,70 meter. Lapisan bata hasil penyusunan kembali berjumlah 5 lapis. Bagian atas candi keseluruhan tertutup oleh susunan bata.
Share:

Profile

Foto saya
AGUS SUDARYADI, arkeolog yang bekerja di Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi Wilayah Kerja Prop. Jambi, Sumsel, Bengkulu, dan Kep. Bangka-Belitung yang sering melakukan Jelajah Situs dalam rangka Pelestarian Cagar Budaya. Menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Situs adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. Pekerjaan tersebut memberikan saya kesempatan untuk menjelajahi pelosok negeri di Propinsi Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Kepulauan Bangka-Belitung. Pelosok karena lokasi yang kami datangi kebanyakan berada di luar kota, bahkan sampai masuk hutan. Maklum Cagar Budaya atau Diduga Cagar Budaya yang saya tuju sekarang berada di daerah yang jauh dari kota. Kegiatan yang memerlukan stamina dan mental yang kuat adalah dalam rangka pelestarian Cagar Budaya Bawah Air. Saya telah mengikuti pelatihan Arkeologi Bawah Air di dalam dan luar negeri, antara lain Makassar Sulsel, Pulau Bintan Kepri, Tulamben Bali, dan Karimunjawa Jateng serta Thailand dan Sri lanka.

Popular Posts

Recent Posts

Pages