• Arkeologi Bawah Air

    Negara Indonesia adalah negara yang besar dengan wilayah lautannya lebih luas daripada daratannya. Potensi lautannya menyimpan kekayaan peninggalan warisan bawah air yang sangat besar.

  • Arkeologi Islam

    Masjid Jamik telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM.10/PW.007/MKP/2004 tanggal 3 Maret 2004 tentang Penetapan Benteng Marlborough

  • Benteng Marlborough

    Lokasi Benteng Marlborough berdiri kokoh di tepi laut di atas sebuah dataran dengan ketinggian lebih kurang 8,5 meter di atas permukaan laut (dpl).

  • PELESTARIAN BENDA CAGAR BUDAYA: DAHULU DAN SEKARANG

    PendahuluanBangsa Indonesia yang memproklamirkan kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945 mempunyai latar sejarah yang sangat panjang, dimulai dari masa Prasejarah sampai dengan masa kolonial.

TINGGALAN BAWAH AIR DI PERAIRAN PULAU TIKUS BENGKULU


Pendahuluan
Bengkulu merupakan salah satu provinsi yang berada di pesisir Barat Sumatera. Wilayahnya memanjang menghadap ke Samudera India (Indian Ocean). Samudera India merupakan lautan yang luasnya 20% dari total permukaan bumi. Lautan ini berada di urutan ketiga setelah Samudra Pasifik dan Atlantik. Kedalaman Samudera India rata-rata sedalam 3.960 meter dengan titik terdalamnya disebut  Palung Diamantina  yang terletak di Barat Daya Perth, Australia Barat mencapai 8.047 meter.
Perairan Bengkulu menyimpan tinggalan bawah air yang belum banyak diketahui karena sangat minimnya penelitian. Hal itu tidak saja terjadi di Bengkulu saja tetapi juga di daerah lain yang berada di perairan Barat Sumatera. Baru beberapa kapal tenggelam saja yang telah diketahui, yaitu Kapal Belanda bernama MV Boelongan Nederland di Teluk Mandeh, Kabupaten Pesisir Selatan dan kapal tenggelam di dekat Pulau Sibaru-baru Kabupaten Kepulauan Mentawai. Keduanya berada di Provinsi Sumatera Barat. Penemuan kapal tenggelam di Perairan Mentawai berawal dari adanya kegiatan pengangkatan tanpa ijin yang menghebohkan pada tahun 2010. Bandingkan dengan perairan Timur Sumatera yang telah banyak ditemukan tinggalan bawah air seperti kapal tenggelam Belitung (The Belitung Wreck), The Teksing Wreck dan kapal VOC bernama Geldermalsen  (The Geldermalsen Wreck) yang terkenal di dunia arkeologi bawah air. Dua nama terakhir malah tercantum dalam terbitan The Unesco Convention on The Protection of The Undewater Cultural Heritage yang dikeluarkan oleh United Nation Education Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Kapal tenggelam atau shipwreck beserta benda berharga muatannya merupakan kapal kuno yang tenggelam sebelum abad ke-20 hingga masa Perang Dunia II. Jumlah kapal tenggelam di perairan Indonesia diperkirakan mencapai hingga ribuan kapal (Mundardjito 2007: 16-17).
Sedikitnya kapal tenggelam di perairan Barat Sumatera diperkirakan karena sepinya pelayaran yang mengarungi Samudera India.  Tantangan alam  dan teknologi yang belum memadai menyebabkan para pelaut lebih memilih melakukan pelayaran dengan  menyusuri Selat Malaka hingga Laut Cina Selatan. Akibatnya di sepanjang Selat Malaka muncul pelabuhan-pelabuhan yang ramai.  Kerajaan Melayu dan  Sriwijaya mempunyai pelabuhan dagang dari Cina ke India dan sebaliknya. Kemudian muncul Malaka yang menjadi tempat berlabuh kapal-kapal dagang dari Cina, India, dan Arab. Setelah penaklukan Malaka oleh Portugis  maka rute pelayaran beralih ke Pantai Barat Sumatera, seterusnya ke Laut Jawa lewat Selat Sunda. Peralihan itu menyebabkan muculnya pusat perdagangan di Aceh dan Banten. Keduanya menjadi negara yang cukup penting dalam abad ke-16 (Hamid, Abd Rahman, 2015 :128). Di masa kemudian, lautan benar-benar dikuasai oleh bangsa Eropa hingga berakhir pada masa pendudukan tentara Jepang. Selama Perang Dunia II banyak kapal perang yang tenggelam baik dari pihak Sekutu maupun Jepang.
Pada tahun 2019 Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi untuk pertama kalinya mengadakan survei tinggalan bawah air di Perairan Pulau Tikus Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu. Kegiatan berdasarkan informasi dari klub selam bernama Rafflesia Bengkulu Dive Center (RBDC) yang sering melakukan kegiatan selam di sana baik dalam rangka  sertifikasi selam atau rekreasi. Dikabarkan bahwa di sana terdapat sejumlah jangkar kapal yang berdiri di karang. Sementara untuk benda-benda yang diduga tinggalan bawah air ditunjukkan melalui foto.

Hasil Kegiatan
Pulau Tikus terletak di sebelah Barat Kota Bengkulu dan dapat ditempuh dengan perahu nelayan sekitar 45 menit. Kegiatan survei bawah air yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi melibatkan Rafflesia Bengkulu Dive Center (RBDC)  yang mengatur penyelam pendamping, peralatan selam, dan perahu yang digunakan.  Perahunya  menyewa dari  nelayan. Kegiatan survei bawah air dapat dilakukan dua kali, yaitu Bulan September dan Desember 2019 setelah melalui proses revisi kegiatan sehubungan dengan tidak dapat dilaksanakannya kegiatan di Pulau Enggano. Kegiatan kedua bertujuan untuk mengumpulkan data yang belum diketemukan sebelumnya karena keterbatasan waktu. Dengan dilakukannya dua kali kegiatan di waktu yang berbeda tersebut maka data yang terkumpul semakin jelas dan upaya rekonstruksi tinggalan bawah air menjadi mudah.
Pada kegiatan di bulan September 2019 setiap penyelaman yang dilakukan oleh penyelam BPCB Jambi selalu didampingi penyelam dari RBDC sebagai safety diver. Penyelaman dilakukan dua kali dalam sehari.  Pada penyelaman awal masih dilakukan penyelaman orientasi sambil mencari temuan di dasar laut. Pada lokasi yang terdapat temuan diberi tanda menggunakan botol plastik sebagai pelampung dengan tali yang terikat pada ban di dasar laut. Para penyelam turun dan mengikuti tali tersebut.  
Pencarian sebaran temuan dilakukan dengan tehnik melingkar (circle).  Tali berwarna putih diikatkan pada  tali yang terikat pada ban kemudian mengulurnya untuk berkeliling membentuk lingkaran.  Setelah berkeliling dan menemukan temuan yang banyak maka ujung tali diikatkan pada karang kecil. Tali itu selanjutnya digunakan sebagai tali pandu bagi penyelam karena jarak pandang (visibility) tidak begitu baik  sekitar 1-2 meter. Tali yang terikat masing-masing ujungnya di ban dan karang itu berorientasi ke arah Utara.
Penyelaman berikutnya membawa tali berwarna kuning yang diikatkan ke ban dan mengulurnya ke arah Selatan. Ujung tali diikatkan pada benda yang diduga terbuat dari besi. Dengan demikian di dasar laut terbentang tali berwarna putih dan kuning sebagai tali pandu bagi penyelam.  Selama penyelaman menemukan benda-benda  yang berupa guci yang utuh dan pecahan, botol utuh dan pecahan, pecahan mangkuk, bata, senjata tajam, bata, dan tulang.  Beberapa benda dapat dipetakan lokasinya karena berada dekat tali pandu. Sementara benda yang berada jauh dari tali pandu menggunakan tehnik baringan kompas, yaitu dengan mengulur meteran 50 meter kemudian mencatat jarak  benda dari titik nol.  Pada saat kegiatan juga telah diangkat benda-benda yang berupa botol keramik, botol kaca, teko keramik, dan golok. 
Pada penyelaman di Bulan Desember 2019  telah dipersiapkan pemberat yang terbuat dari semen dan kawat besi untuk mengikat tali bouy dan juga baseline. Hal itu dilakukan karena tidak adanya karang yang cukup besar untuk mengikat tali bouy pada kegiatan pertama. Dimana hanya menggunakan ban yang ditemukan di dasar laut. Pemberat dari semen digunakan diturunkan dengan masing-masing tali yang diikat jerigen plastik warna merah dan kuning sebagai bouy. Jerigen kuning berada di sisi Utara dan jerigen warna merah di sisi Selatan. Tali untuk baseline berwarna kuning yang diikat dengan meteran sepanjangnya  50 meter. Benda-benda diberi nomor dan difoto menggunakan skala dilanjutkan dengan menggunakan tehnik Offset, yaitu mengukur benda dari baseline dengan tegak lurus 90 derajat. Dalam rangka identifikasi lebih lanjut, maka beberapa temuan diangkat guna penelitian lebih lanjut dan juga dapat digunakan untuk peningkatan kemampuan konservasi tinggalan bawah air serta pameran.

Jenis Temuan
Lokasi ditemukannya tinggalan bawah air di Perairan Pulau Tikus terletak pada sebuah teluk yang berada di sebelah Barat Laut pulau. Pulau Tikus merupakan daratan yang luasnya tidak kurang dari 1 hektar dan  dikelilingi oleh karang yang sangat luas. Karang-karang itu akan akan muncul dan tenggelam seiring dengan pasang surut air laut. Di sebelah Barat dari Pulau Tikus tersebut terdapat alur yang masih bisa dilalui walaupun pada saat air surut. Melalui alur tersebut perahu dapat keluar masuk  pulau dan terhubung dengan area yang lebih dalam menyerupai teluk. Teluk itu lebarnya sekitar 200 meter dan panjangnya 300 meter. Pada bagian tengah teluk mempunyai kedalaman sekitar 15 meter. Di tepian  teluk tersebut terdapat sekitar sembilan jangkar kapal terbuat dari besi yang disusun teratur membentuk huruf U.
Benda-benda arkeologis yang ditemukan di dasar laut pada kedalaman sekitar 15 meter terdiri dari jangkar, guci, mangkuk, pring, botol, bata, senjata tajam, dan tulang.  Tergeletak di permukaan yang berupa pasir. Beberapa benda dari aktivitas manusia sekarang juga banyak ditemukan antara lain alat pancing, jala, sisa karamba, dan meja transplantasi karang.
Benda yang berupa guci besar yang kemungkinan utuh terletak tidak jauh dari ban yang menjadi pengikat tali pelampung. Di dekat ban juga terdapat mangkuk yang hampir utuh. Ke arah utara dengan menyusuri tali putih terdapat satu buah bata dan lebih jauh lagi beberapa  pecahan mangkuk. Pada ujung tali putih yang diikat pada karang ke arah utara terdapat pecahan-pecahan guci dan juga botol keramik yang utuh. Di sana selintas juga terlihat tulang yang diduga bagian kaki. Diperkirakan merupakan tulang binatang.
Dalam rangka analisis lebih lanjut telah dilakukan pengangkatan benda berupa satu botol bertangkai dalam kondisi utuh, satu botol yang tersisa bagian dasarnya, satu golok, tujuh pecahan botol berwarna hitam, satu teko terbuka yang pecah pada bagian bibirnya, dan 4 pecahan mangkuk yang berbeda.

Pembahasan
Pulau Tikus merupakan pulau kecil yang berada di Sebelah Barat Kota Bengkulu. Pulau ini cukup terkenal di kalangan wisatawan dan mancanegara. Di sana terdapat mercusuar terbuat dari tiang  besi untuk memperingatkan kapal-kapal dari karang yang mengelilingi pulau. Wisatawan berkunjung untuk menikmati keindahan pulau yang teduh oleh pepohonan, bermain  pasir yang putih, dan beraktivitas dipermukaan karang yang muncul diwaktu air laut surut. Orang-orang juga datang untuk menyelam atau mendapatkan sertifikat selam di area yang berupa teluk. Kedalamannya  bervariasi hingga bagian yang paling dalam sekitar 15 meter sangat cocok untuk mereka yang ingin mendapatkan sertifikat selam dari Persatuan Olah Raga Selam Seluruh Indonesia (POSSI). Karena memang klub selam yang ada di sana berafiliasi dengan POSSI.
Pulau Tikus selain mempunyai pemandangan yang indah ternyata menyimpan benda-benda arkeologi yang penting. Baik yang berupa jangkar kapal maupun tinggalan bawah airnya. Keberadaan jangkar kapal sudah lama diketahui tetapi tidak banyak yang mengetahui sejarahnya. Sementara untuk tinggalan bawah air setelah dilakukannya survei bawah air. 
Diperkirakan pada masa penjajahan Inggris di Bengkulu, Pulau Tikus memiliki peranan yang penting sebagai penunjang pelayaran. Di pulau dibangun mercusuar untuk menghindarkan kecelakaan. Selain itu banyak hal yang tidak diketahui. Keberadaan jangkar-jangkar di sana pun masih menjadi misteri. Literatur sejarah mengenai jangkar-jangkar tersebut belum ditemukan. Temuan bawah air di sana kiranya dapat mengungkap misteri tersebut. Berdasarkan temuan bawah air yang berada di kedalaman 15 meter diduga bahwa Perairan berupa teluk menjadi tempat berlabuhnya  kapal yang datang dan menunggu keberangkatannya kembali ke negeri Eropa. Dikaitkan dengan keberadaan Benteng Marlborough, maka kapal-kapal yang dimaksud adalah kapal bangsa Inggris. Kapal-kapal yang datang dan pergi ke Bengkulu tidak berlabuh di laut depan benteng mengingat daerahnya berombak. Dipilihlah teluk di pulau Tikus yang lebih tenang dan dalam.  Sebagai alat komunikasi antara Pulau Tikus dan benteng Marlborough digunakan isyarat lampu.
Teluk yang tidak begitu luas cukup berbahaya bagi kapal yang tidak terikat kuat. Fungsi jangkar kapal yang berjumlah sembilan itu adalah untuk mengikat kuat kapal sehingga tidak bergerak mendekati karang di sekitarnya.  Jangkar-jangkar semula berdiri dengan posisi satu bagian yang runcing menancap ke bawah dan satu lainnya di atas. Namun sekarang hanya dua yang kedudukannya masih seperti dulu. Jangkar kapal tersebut jelas merupakan jangkar yang dibuat oleh bangsa Eropa.
Tinggalan bawah air di Pulau Tikus bukan merupakan muatan dari kapal tenggalam tetapi hasil aktivitas manusia yang berada di atas kapal saat berlabuh di teluk. Benda-benda jatuh ke laut baik sengaja ataupun tidak disengaja. Benda-benda itu biasa digunakan oleh orang-orang Eropa. Botol dan guci digunakan sebagai wadah minuman beralkohol yang digandrungi mereka. Mangkuk dan piring digunakan untuk wadah makanan berasal dari Cina.  Sementara senjata tajam digunakan untuk memotong benda yang dikehendaki. Bata digunakan pada bagian kapal yang terdapat dapur. Gunanya untuk melindungi dinding kapal yang terbuat dari kayu dari jilatan api. Hampir sebagian besar temuan dalam kondisi tidak utuh lagi.
Temuan tinggalan bawah air di perairan Pulau Tikus akan menambah kekayaan tinggalan bawah air di Indonesia.  Tinggalan budaya bawah air memiliki potensi sebagai bagian dari daya tarik wisata berbasis bahari. Wisata bahari dapat menjadi alat memanfaatkan tinggalan budaya bawah air sebagai atraksi wisata selam, sekaligus untuk melestarikan keberadaan tinggalan budaya bawah air secara berkesinambungan (Ardiwidjaya, 2017: 140). Menurut Kusumastanto, Indonesia sebagai negara maritim, memiliki kekayaan yang beranekaragam, mulai dari flora dan fauna laut hingga tinggalan budaya bawah air berupa kapal tenggelam beserta muatannya, yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan, antara lain sektor perikanan, pariwisata, dan industri kelautan (Kusumastanto 2013: 13-19).
Tinggalan budaya bawah air di Pulau Tikus akan meramaikan  wisata selam di sana.  Selama ini penyelaman di sana umumnya dalam rangka sertifikasi selam dan  penelitian karang oleh Mahasiswa Ilmu Kelautan Universitas Bengkulu yang diselenggarkan oleh RBDC. Dari RBDC juga diperoleh kabar bahwa pada tahun 2002 akan dilaksanakan Jambore Selam oleh Forum Mahasiswa Penyelam Indonesia di Pulau Tikus. BPCB sendiri bisa  menjadikan lokasi sebagai tempat pelatihan bawah air bagi arkeolog pemula. Sebaran temuan dan kedalaman yang hanya 15 meter sangat cocok untuk penyelam tingkat Open Water atau Bintang Satu (A1) melakukan latihan pendokumentasian temuan atau pengukuran dengan tehnik offset, triletaration, ties, atau  frame.
Pemanfaatan tinggalan bawah air di Pulau Tikus tentu saja diharapkan akan menambah daya tarik wisata. Namun harus dibarengi dengan himbauan atau sosialisasi agar para penyelam tidak memindahkan, mengambil atau merusak benda yang melanggar Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Daftar Pustaka
Hamid, Abd Rahman. 2015. Sejarah Maritim Indonesia. Penerbit Ombak. Yogyakarta

Kusumastanto, T. 2013. “Arah Strategi Pembangunan Indonesia Sebagai Negara Maritim”. Researchgate. Accessed July 20, 2017. https://www.researchgate.net/ publication/266080942 %0A.

Mundardjito. 2007. “Paradigma Dalam Arkeologi Maritim”. Wacana 9: 1-20.

Adiwidjaja, Roby 2017. “Pelestarian Tinggalan Bawah Air : Pemanfaatan Kapal Karam Sebagai Daya Tarik Wisata Selam”.  Amerta Vol. 35 No. 2
















-->
Share:

PENELITIAN ARKEOLOGI DI PANTAI TIMUR SUMATERA SELATAN

Penelitian Arkeologi Pantai Timur Sumatera Selatan merupakan kali kedua saya mengikutinya bersama Balai Arkeologi Sumatera Selatan. Kegiatan dalam rangka meneliti pemukiman kuno itu dilakukan sebagai upaya untuk mengungkap kehidupan masa lampau yang tinggal di daerah rawa. Penelitian yang dikenalkan sebagai Arkeologi Lahan Basah (Wetland Archaeology) itu telah lama dilakukan oleh peneliti. 
Pada tahun 2019 ini Balai Arkeologi Sumatera Selatan melaksanakan penelitian di Situs Air Sugihan yang berlokasi di Desa Kerta Mukti, Kecamatan Air Sugihan Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Tim yang diketahui Drs. Budi Wiyana bertema Subsistensi Lahan Basah Pantai Timur Sumsel bertujuan untuk mengetahui cara hidup manusia masa lampau yang bermukim di Pantai Timur Sumatera Selatan yang berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya bahkan membuktikan berasal dari masa Pra Sriwijaya. Menurut Timothy (1980) Subsistensi (mata pencaharian) mencakup segala aktivitas yang tidak lepas pada berbagai aspek, seperti tingkat kemahiran teknologi, pengorganisasian sumberdaya (manusia dan alam) dalam usaha mengolah dan memenuhi kebutuhan hidup, pilihan lokasi tempat tinggal, prosedur dan pengeksploitasian lingkungan sekitar dan lain sebagainya. Temuan-temuan arkeologis yang ditemukan pada kotak ekskavasi sebanyak 14 kotak umumnya adalah Fragmen gerabah. Temuan lainnya adalah fragmen keramik, benda logam, manik-manik, tulang binatang, buah dan biji, papan perahu, serta tiang rumah.
Share:

BENTENG LINAU : Benteng Perbatasan di Selatan Bengkulu


1.   Pendahuluan
Benteng Linau merupakan benteng yang dibangun oleh Tentara Inggris di Bengkulu bagian Selatan. Benteng lainnya yang dibangun adalah Benteng Marlborough dan Benteng Anna. Benteng Marlborough sebagai benteng utama berada di Kota Bengkulu. Benteng Anna dibangun di Bengkulu bagian Utara. Benteng Linau dan Benteng Anna diperkirakan merupakan benteng-benteng yang membatasi daerah jajahan Inggris dengan daerah yang dikuasai oleh Belanda.
Secara umum benteng berkaitan erat dengan kegiatan militer. Dalam Ensiklopedia Indonesia, benteng didefinisikan sebagai lokasi militer atau bangunan yang didirikan secara khusus, diperkuat dan tertutup yang dipergunakan untuk melindungi sebuah instalasi, daerah atau sepasukan tentara dari serangan musuh atau menguasai suatu daerah. Dalam perkembangannya sebenarnya benteng tidak hanya digunakan untuk instalasi militer, tapi juga berfungsi sebagai perlindungan sebuah pemukiman.
Bentuk pertahanan selain keletakannya (dataran tinggi dan sungai), terkadang dilengkapi dengan benteng tanah, parit, dan bambu aur. Pemukiman lama atau kuna yang berada di bukit biasanya berbentuk persegi panjang dan dilengkapi dengan benteng tanah dan bambu aur. Tidak tertutup kemungkinan juga terdapat parit. Keberadaan benteng tanah biasanya satu kesatuan dengan parit, karena badan benteng tanah tercipta akibat penggalian parit untuk menimbun sisi luar benteng sehingga lebih tinggi dari tanah sekitarnya.
Berdasarkan data arkeologi dan sumber-sumber sejarah diketahui bahwa kota-kota,  keraton atau desa yang tumbuh sebelum kedatangan bangsa Eropa dilindungi oleh pagar keliling baik yang terbuat dari tanah, kayu maupun bata. Berdasarkan gambaran bangsa asing (Belanda), keraton Banten dikelilingi benteng dari tembok (bata), sedangkan keraton Kuto Gawang (Palembang) dikelilingi benteng dari kayu.
-->

2.   Letak dan Lingkungan
Benteng Linau secara administratif berada di Desa Benteng Harapan, Kecamatan Maje, Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu. Benteng ini merupakan salah satu peninggalan kolonial Inggris di Provinsi Bengkulu yang terletak di sebuah bukit bernama Pematang Linau yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki sejauh ± 200 meter dari jalan raya. Benteng Linau terletak pada koordinat S 04° 49’ 54.09” E 103° 24’ 54.56”.
Benteng Linau berupa gundukan tanah yang berbentuk segi empat berukuran 42 x 43 m dan dikelilingi oleh parit dengan lebar 3,75 m dan dalam 1,75 m. Vegetasi lingkungan benteng berupa pohon asam kandis, cengkeh, sendilau, dan semak belukar. Di lokasi ini juga terdapat cekungan bekas meriam yang telah dipindahkan ke halaman rumah dinas Bupati KDH TK II Bengkulu Selatan.
Benteng berada di atas bukit dengan pemandangan ke Samudera Hindia. Bukit tersebut memanjang dengan orientasi Utara-Selatan. Pada sisi Barat dan Timur merupakan lereng bukit. Lereng sisi Barat lebih landai dibandingkan dengan lereng sisi Timur. Lereng sisi Timur mempunyai sudut kemiringan mencapai 70-80 derajat. Perjalanan menaiki bukit menuju benteng dari arah Selatan yang telah difasilitasi dengan anak tangga berjumlah sekitar 130 anak tangga. Terdapat juga bangunan pelindungan yang berjumlah 2 buah, salah satunya berada di sebelah Selatan benteng.  Tangga dibangun juga berfungsi sebagai jalur evakuasi bilamana terjadi Tsunami. Pada masa sebelumnya untuk menuju ke benteng dari arah Barat. Namun jalan setapak dengan jalan yang lebih curam itu telah lama ditinggalkan.
Hasil pemantauan tim dari BPCB Jambi menunjukkan bahwa benteng dalam kondisi yang cukup terawat karena sudah ada juru pelihara yang ikut memelihara dan melindunginya dari ancaman dan gangguan yang berasal dari luar.

3.   Deskripsi Benteng Linau
Benteng Linau pernah dilakukan ekskavasi oleh Balai Arkeologi Palembang pada tahun 1994 dan 1995. Ekskavasi tahun 1994 menemukan struktur bata di sudut Tenggara bagian luar benteng. Di dalam laporannya menyebutkan bahwa temuan struktur bata masih sulit diketahui bentuk dan fungsinya sehingga perlu diadakan penelitian lanjutan untuk menampakkan seluruh struktur bata. Ekskavasi tahun 1995 melanjutkan ekskavasi untuk menampakkan struktur bata di sudut Tenggara bagian luar benteng. Namun disebabkan struktur bata kondisinya tidak utuh lagi, maka belum diketahui bentuk dan fungsinya. Analisis berdasarkan lapisan tanah menunjukkan pematang benteng dibuat dari tanah hasil penggalian parit. Berdasarkan  lapisan tanah yang berwarna hitam diduga bahwa benteng dibuat di atas lapisan tersebut. Lapisan hitam tersebut diindikasikan akibat pembukaan lahan dengan cara dibakar. Struktur bata yang ditemukan itu sudah tertutup tanah kembali dan hanya terlihat sedikit pecahan bata dipermukaan tanah.
Pada tahun 2014 Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi melakukan ekskavasi  untuk mengungkap sisa-sisa aktivitas manusia pendukung benteng lebih lanjut. Ekskavasi dilakukan pada bagian dalam benteng, struktur benteng, parit keliling, dan tanah datar di luar benteng. Titik Datum Point (DP), mengikuti penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Palembang berada di tengah benteng.
Benteng Linau merupakan sebuah benteng tanah yang dikelilingi oleh parit. Benteng berdenah segi empat dengan sudut di dua sisi yang berlawanan terdapat bastion. Pengukuran yang dilakukan menghasilkan ukuran panjang 25,70 meter dan lebar 24,90 meter. Permukaan tanah di dalam benteng tampak rata. Tanggul tanah yang mengelilingi benteng lebarnya adalah 0,96 – 191 meter dan tingginya sekitar   0,77 – 1,13 meter.  Tanggul tanah ini tentu saja telah berubah lebih kecil sesuai dengan waktu. Pengikisan tanah menjadi faktor dominan yang menyebabkan pengecilan. Parit keliling mempunyai lebar sekitar 0,69 – 1,22 meter. Pendangkalan dan penyempitan parit disebabkan erosi tanah dari tanggul dan tanah sekitarnya.
Pengamatan di permukaan tanah di luar benteng menemukan fragmen keramik berwarna putih dan biru serta berwarna hiasan merah berasal dari Cina masa Dinasti Ming (abad 16-17 Masehi) dan Dinasti Ching (18-19 Masehi), fragmen botol berwarna hitam kecoklatan. Dalam rangka pelestarian, Benteng Linau pernah dikelilingi oleh pagar kawat berduri dengan tiang kayu. Namun sekarang hanya menyisakan sisa-sisa fondasi tiang-tiang kayu. Tanah sekitarnya berupa perkebunan masyarakat antara lain karet.
Keberadaan benteng atau bentuk pertahanan  lainnya terkadang dapat dirunut dari penamaan atau sebutan lokasi dimana benteng tersebut berada. Penamaan suatu daerah dengan nama benteng; koto; kuto; maupun kute patut diduga berkaitan dengan suatu bentuk pertahanan, baik benteng tanah maupun pemukiman kuna yang dilengkapi dengan pertahanan. Kata koto; kuto; maupun kute mempunyai arti yang hampir sama, yaitu suatu tempat atau pemukiman lama yang terkadang dilengkapi dengan sistem pertahanan. Pada beberapa keraton masa islam di Jawa (terutama Yogyakarta dan Surakarta) terdapat penamaan tempat di sekitar keraton yang diambil dari nama pasukan keraton.
Di Kabupaten Kaur terdapat beberapa tempat yang menggunakan kata benteng, seperti Benteng Harapan dan Benteng Bakal Makmur. Nama Benteng Harapan mengacu pada benteng tanah Linau. Apakah nama Benteng Bakal Makmur juga mengindikasikan suatu permukiman lama yang dilengkapi dengan sistem pertahanan tertentu? Mungkin masih banyak lagi tempat atau lokasi yang menggunakan nama tertentu yang mengindikasikan adanya sistem pertahanan.
Data arkeologi yang berhasil terkumpul dari tiga kali penelitian berupa fragmen gerabah, keramik, dan kaca dalam jumlah tidak terlalu banyak serta struktur batu-bata di luar benteng bagian tenggara. Fragmen-fragmen keramik yang ditemukan di dalam benteng berasal dari Cina masa Dinasti Ming (16-17 Masehi) dan Dinasti Ching (18-19 Masehi).  Dengan mengamati data hasil ekskavasi dan keberadaan benteng, diduga benteng ini tidak didiami dalam waktu lama, melainkan hanya dalam waktu singkat atau hanya sementara. Hal ini didasarkan pada tidak terdapatnya bangunan permanen di lokasi. Dugaan ini juga diperkuat dengan adanya temuan piring dan kendi dari keramik serta botol kaca.  Benda-benda tersebut mudah dibawa.
Benteng Linau diduga hanya berfungsi sebagai tempat penjagaan atau pengawasan  untuk mengawasi Teluk Linau yang berada di sebelah barat benteng.  Sebagai pengawas yang bersifat sementara lebih memungkinkan daripada sebagai tempat tinggal permanen. Pengawasan daerah strategis (pelabuhan atau gudang) untuk tujuan perdagangan. Daerah Krui (Lampung) memang penghasil sarang burung pada masa kolonial.

Daftar Pustaka
Milburn, William, 1825. Oriental Commerce or The East India Trader’s Complete Guide; Containing A Geographical and Nautical. Description of The Maritime Ports of India, China, Japan, and Neighbouring Countries including The Eastern Islands and The Trading Station on the Passage from Europe. London: Kingsbury, Parbury and Allens.

Mujib dkk, 1994. “Laporan Survei dan Ekskavasi Benteng Linau Bengkulu Selatan”, Laporan Penelitian Arkeologi. Palembang: Balai Arkeologi Palembang (tidak diterbitkan).

Mujib dkk, 1995. Laporan Penelitian Arkeologi Benteng Linau Tahap II. Palembang : Balai Arkeologi Palembang (tidak diterbitkan)

















--> -->
Share:

BENTENG ANNA : Benteng Perbatasan di Utara Bengkulu

1. Pendahuluan
Benteng Anna merupakan sisa-sisa benteng Inggris selama berkuasa di daerah Bengkulu. Benteng ini adalah benteng yang menjaga perbatasan sebelah Utara Bengkulu dengan Sumatera Barat yang dikuasai oleh Belanda. Benteng lainnya adalah Benteng Linau yang menjaga perbatasan sebelah Selatan Bengkulu dengan Lampung. Kondisi Benteng Anna telah mengalami kerusakan yang cukup parah. Kerusakan benteng terjadi pada masa Belanda berkuasa yang menggunakan bata-batanya untuk membangun bangunan di Muko-Muko. Pengambilan bata-bata yang dilakukan oleh masyarakat sekitar tahun 1970 telah memperparah kerusakan benteng. Sekarang ini dinding-dinding benteng yang masih berdiri tegak hanya dijumpai di sisi Barat Laut, Barat Daya, dan Tenggara. Terjadinya gempa juga menyebabkan runtuhnya bangunan yang berbentuk terowongan dan retaknya dua dinding di sisi Barat Laut. 
Pertama kali diketemukan Benteng Anna hanya tersisa tiga potongan tembok utara sepanjang 15 meter dengan tinggi 3 meter, serta ketebalan dinding 2,5 meter. Selain itu, terdapat sisa lorong (terowongan) sepanjang 5,5 meter dengan tinggi 2,5 meter. Pada benteng ini juga ditemukan dua buah meriam yang panjangnya 2,9 meter. Data survei tahun 1997 melaporkan bahwa tanah benteng telah dibebaskan dengan luas 1 hektar.

2. Letak dan Lingkungan
Benteng Anna terletak di Kelurahan Pasar Muko-Muko, Kecamatan Muko-Muko Utara, Kabupaten Muko-Muko, Propinsi Bengkulu. Situs ini berada pada ketinggian 2 meter di atas permukaan laut.       
Benteng Anna dapat ditempuh melalui jalur darat dari Kota Bengkulu menuju Kota Muko-Muko. Perjalanan melalui jalan yang lurus dan berkelok-kelok berupa  dataran rendah dan dataran tinggi disepanjang pantai Barat Sumatera. Kondisi jalan mulus dan dibeberapa tempat berlubang-lubang. Waktu yang diperlukan selama 5 jam.  Selama perjalanan akan diwarnai dengan pemandangan Samudera Hindia.  Lokasi Benteng Anna berada di daerah sebelum masuk Kota Muko-Muko yang ditandai dengan adanya jembatan besi di atas Sungai Selagan. Jalan menuju ke Benteng belok ke kiri sedangkan jalan lurus untuk  menuju Kota Muko-Muko. Benteng berada tepat di pinggir Sungai Selagan. Jarak sungai ke dinding benteng sebelah Utara hanya berjarak sekitar 1-3 meter. Erosi sungai telah menyebabkan tepi sungai semakin dekat. Bahkan telah menyebabkan sebagian dinding sebelah utara runtuh masuk ke dalam sungai.  Benteng Anna dipagari dengan pagar kawat berduri yang sebagian besar telah rusak.
Lingkungan benteng sebelah Utara adalah Sungai Selagan, sebelah Barat adalah sebuah rumah penduduk dan lahannya yang berupa kebun kelapa, sebelah Selatan adalah Jalan aspal yang diseberangnya rumah-rumah penduduk, dan sebelah Timur adalah kebun kelapa. Benteng dan lingkungan sekitarnya dipisahkan dengan pagar kawat yang dibeberapa bagian telah hilang yang tertinggal adalah tiang beton dan tiang besi.

3. Riwayat Penelitian dan Pelestarian
Benteng Anna merupakan sebuah benteng yang dibangun oleh Inggris pada saat berkuasa di Bengkulu. Beberapa sumber menyebutkan bahwa benteng Anna dibangun pada tahun 1798 oleh Mr Carmiel. Perjalananan Letnan Hastings Dare ke Muko-Muko pada Tanggal 22 Januari 1805 memberikan gambaran tentang Muko-Muko. Menurutnya, Fort Ann terletak pada seberang sebelah Selatan Sungai Si Lagan, sedangkan pemukiman terdapat di seberang Utara dan Muko-Muko terletak lebih ke Utara. Daerah Pasar Muko-Muko terdiri dari sekitar seratus rumah tempat tinggal dan waktu itu penuh dengan anak kecil. Di ujung Utara Pasar Muko-Muko terdapat kediaman Sultan yang tidak ada perbedaan dengan kediaman rakyat biasa.
Benteng Anna berdasarkan hasil survei tahun 1993 telah mengalami kerusakan yang parah. Kerusakan benteng disebabkan pengambilan bata-bata dengan cara merubuhkan temboknya hingga ke dasar sekitar tahun 1970 an. Bata-bata yang diambil digunakan sebagai bahan pembuatan rumah dan bangunan lainnya. Akibatnya tembok benteng yang tersisa adalah tiga buah dinding yang menjulang setinggi 3 meter di sisi Utara dan sisa lorong setinggi 2,5 meter di sisi Selatan.  Selain itu ditemukan dua buah meriam yang masing-masing panjangnya 2,90 meter.
Penelitian arkeometri tahun 1996 mengungkap adanya dua faktor penyebab kerusakan benteng, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal  berupa cuaca/iklim dan tumbuhan yang hidup di permukaan batu-bata. Sedangkan faktor eksternal disamping  pencurian batu-bata, kemungkinan adanya faktor pertempuran pada masa lampau.
Data survei tahun 1997 melaporkan bahwa tanah benteng telah dibebaskan dengan luas 1 hektar dan untuk memelihara benteng telah ditempatkan dua orang juru pelihara. Namun kondisi objek dan situsnya tidak terawat. Batang-batang pohon yang telah ditebang bergeletakan tidak dibersihkan. Pada tahun 2006 untuk pertamakalinya dilakukan pemetaan benteng Anna untuk merekam posisi benteng secara keruangan.
Ekskavasi penyelamatan yang dilakukan tahun 2011 menunjukkan bahwa dari 9 kotak yang digali untuk menemukan fondasi, maka hanya dua kotak yang terdapat fondasi dari susunan bata, yaitu dinding II yang berada di sisi Barat Laut dan di dinding yang berada di sisi Barat Daya. Kotak-kotak lainnya hanya berisi pecahan-pecahan bata saja. Itupun diragukan sebagai fondasi.  Bahkan pada sebuah kotak yang berada tepat di lokasi runtuhan dinding di sisi Timur Laut juga tidak menemukan adanya fondasi. Ketiadaan fondasi itulah yang mungkin menyebabkan dinding-dinding mudah runtuh dan rusak. Selama kegiatan ekskavasi juga ditemukan dua buah bola besi, pecahan-pecahan keramik Cina dari masa Dinasti Ming dan Ching serta keramik Eropa, dan pecahan botol.
Penelitian Balai Arkeoogi Palembang pada tahun 2012 menemukan berbagai benda berupa artefak batu, gerabah, keramik, artefak logam, artefak kaca, tulang dan cangkang moluska. Berdasarkan temuan-temuannya dapat terungkap aktivitas keseharian  penghuni benteng, yaitu pola makan dan pola hidup.

4. Deskripsi Benteng Anna
a.   Sisa-sisa Bangunan
Benteng Anna diperkirakan berbentuk segi empat berukuran lebar 58,50 meter dan panjang 63 meter. Orientasi benteng Barat Laut-Tenggara. Benteng ini telah mengalami kerusakan yang sangat parah. Kondisi benteng berupa beberapa sisa dinding yang masih berdiri tegak dan telah runtuh, di halamannya berupa gundukan tanah dan lubang-lubang yang memanjang. Dinding-dinding kelilingnya telah banyak yang hilang dan hanya menyisakan sedikit dinding yang masih berdiri tegak. Kegiatan pengambilan bata oleh penduduk telah menghilangkan sebagian besar dindingnya. Dinding-dinding yang tersisa berada di sisi Barat Laut, Barat Daya, Tenggara, dan Timur Laut.
Di halaman tengah permukaaan tanahnya tidak rata, khususnya di sisi Barat Daya lebih tinggi dari permukaan tanah sekitarnya. Sementara di bagian tengah halaman terdapat lubang-lubang tengah yang memanjang dengan kedalaman antara 30 cm – 50 cm.  Lubang-lubang tersebut merupakan hasil aktifitas masyarakat untuk mencari harta karun. Selain itu ditemukan pula dua buah gundukan tanah yang berada di sudut Tenggara dan Barat Laut atau berlawanan arah. Gundukan tanah disebelah Tenggara berukuran lebar 19 meter, panjang 20,50 meter dan tingginya 1,6 meter. Sedangkan gundukan tanah di sebelah Barat Laut berukuran lebar 7 meter, panjang 4,7 meter, dan tinggi 1,4 meter. Gundukan tanah tersebut diperkirakan adalah bastion. Apabila benar gundukan tersebut adalah bastion, maka benteng Anna mempunyai kemiripan dengan benteng Linau, yaitu dilengkapi dengan dua buah bastion di arah yang berlawanan. Bedanya adalah Benteng Linau merupakan benteng tanah atau tidak mempunyai dinding yang terbuat dari bata. Berikut uraian benteng Anna yang masih tersisa dan dua buah meriam yang ada disana:

Dinding  Barat Laut
Dinding Barat Laut ini diperkirakan merupakan dinding benteng bagian depan. Dinding menghadap Sungai Segalan yang merupakan jalur keluar masuk benteng. Pada sekitar tahun 1970-an masyarakat yang mengambil bata-bata datang ke benteng dari arah seberang sungai. Pada saat itu sekeliling benteng berupa hutan. Dinding bata yang tersisa berjumlah tiga buah. Dinding yang berlokasi di tengah lebih tinggi dibanding dua lainnya. Puncaknya juga lebih utuh dibanding yang lainnya dengan bentuk segitiga sama kaki. Dinding tersebut tingginya  5,10 meter. Ketiga dinding di sisi dalam berbentuk miring dengan sudut kemiringan sekitar 70 derajat. Sedangkan di sisi luar bata-batanya telah hilang disebabkan pengambilan bata-batanya. Pengambilan bata-bata tersebut meninggalkan dinding yang berdiri tegak dan tidak rata. Pengukuran di dinding yang tersisa dibagian bawah adalah 2,35 meter. Namun apabila ditarik garis dari puncaknya yang berbentuk segitiga sama kaki maka akan membentuk dinding segitiga sama kaki yang lebar bagian bawah adalah 3,30 meter. Dengan demikian dinding yang hilang adalah 0,95 meter. Belum diketahui apakah dahulunya ketiga dinding tersebut menyatu atau tidak. Namun terlihat bahwa dinding sisi bagian dalam yang miring itu satu arah dan sama kemiringannya. Ukuran dari ketiga dinding sebagai berikut:

Dinding I
Lokasinya berada di sebelah Barat. Bagian puncaknya tidak utuh lagi. Kerusakan dinding terjadi pada sisi bagian Utara. Bagian itu tampak ”digerogoti” bata-batanya. Dua sisi lainnya menampakkan susunan bata-batanya dengan berselang-seling bata yang menonjol dan yang rata. Sementara sisi bagian Selatan yang merupakan bagian yang miring susunan batanya diplester dan bercat warna putih. Dinding ini dikhawatirkan akan runtuh dikarenakan adanya retakan yang cukup lebar akibat gempa Bengkulu 7,9 SR tahun 2007.  Dinding I ini tingginya 4 meter dan lebar 2 meter. Susunan bata di bagian samping yang tersisa adalah 2,30 meter. 

Dinding II
Lokasinya berada di bagian Tengah. Dinding ini diperkirakan merupakan dinding yang paling utuh. Bagian puncaknya masih tersisa berbentuk segitiga sama kaki. Apabila diurutkan dengan bagian puncak tersebut, maka diperkirakan bahwa dinding ini berbentuk segitiga sama kaki. Sama halnya dengan dinding I, maka dinding II juga telah mengalami kerusakan yang parah di sisi Utara. Bata-batanya tampak telah diambil sehingga menampakkan susunan bata yang tidak rata. Sedangkan tiga sisi lainnya menunjukkan bentuk yang sama dengan dinding-dinding lainnnya. Dinding ini tidak mengalami keretakan seperti dua dinding lainnya akibat gempa Bengkulu tahun 2007 Dinding II ini tingginya 5,10 meter dengan perincian 1,10 m merupakan dinding bagian puncak yang tidak mengalami kerusakan dan  ketinggian 0-4 meter merupakan dinding dengan susunan bata yang terbuka atau tidak diplester. Lebar sisa dinding bagian samping yang berbentuk segitiga sama kaki diukur dari bagian paling bawah adalah 2,35 meter. Apabila bagian samping ini masih utuh, maka diperkirakan lebar bagian paling bawah adalah 3,30 meter.

Dinding III
Lokasinya berada di sebelah Timur. Dinding ini merupakan dinding yang paling rendah dari dua dinding lainnya karena bagian puncaknya telah hilang/rusak. Kerusakan lainnya sama dengan dinding lainnya, yaitu hilangnya susunan bata di sisi Utara. Di dinding ini juga terdapat retakan yang cukup lebar akibat gempa Bengkulu tahun 2007. 

Dinding Barat Daya
Dinding Barat Daya hanya menyisakan sebuah dinding yang lokasinya di sudut sisi Barat Laut. Dari sisa-sisanya dapat diketahui bahwa dinding ini kedua sisi dalam dan luar berdiri tegak lurus. Dinding yang tersisa berukuran tebal 1,10 meter, panjang 3,5 meter, dan tinggi 1 meter.

Dinding Tenggara
Dinding Selatan bentuknya berupa terowongan. Foto survei tahun 1993 memperlihatkan bentuknya yang masih utuh. Tampak bahwa bagian atasnya membentuk melengkung dan bisa dilalui oleh orang dewasa. Terowongan berukuran panjang 6 meter, lebar 3 meter dan tingginya 1,57 meter.  Dinding ini runtuh diakibatkan gempa Bengkulu tahun 2007

Dinding Timur Laut
Dinding Timur dalam kondisi telah runtuh ke sebelah Barat atau ke dalam benteng. Dindingnya tidak setebal dinding di sebelah Barat, yaitu tebalnya hanya 80 cm. Tingginya 3,5 meter dan panjangnya 5,80 meter.

b.  Meriam-Meriam
Di Benteng Anna masih dijumpai dua buah meriam. Kedua meriam sudah tidak ditempatnya karena tergeletak di tanah dan diganjal dengan sisa-sisa dinding. Pada saat itu kami juga diberitahukan tentang adanya meriam-meriam di sebuah sekolah dan kantor camat. Hasil peninjauan menunjukkan bahwa di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 Muko-muko terdapat dua buah meriam dan di Kantor Camat Muko-muko terdapat dua buah meriam. Meriam-meriam di kantor tersebut dicat dengan warna biru. Diperkirakan meriam-meriam tsb berasal dari Benteng Anna melihat kesamaan adanya tanda di bagian meriam yang berupa mahkota.  Ukuran meriam adalah panjang 1,35 meter dan diameter 0,47 meter

5. Arsitektur Benteng
Berdasarkan data arkeologi dan sumber-sumber sejarah, diketahui bahwa kota-kota yang tumbuh sebelum kedatangan bangsa Eropa dilindungi oleh pagar keliling baik yang terbuat dari tanah, kayu maupun bata. Kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara diawali oleh kepentingan perdagangan. Untuk memperlancar kegiatan perdagangannya, mereka mendirikan bangunan-bangunan yang berfungsi sebagai kantor maupun gudang penyimpanan dan untuk melindungi kegiatan tersebut mereka melengkapi dengan persenjataan.
Keadaan ini juga terjadi di Bengkulu, ketika EIC (East Indie Company) membuat perjanjian dengan penguasa Selebar, EIC mendapat konsesi berupa tanah di muara Sungai Serut untuk gudang penyimpanan dan bangunan-bangunan lainnya serta sebuah benteng yang diberi nama York. Karena kondisi lingkungan Benteng York yang kurang baik mengakibatkan banyak penghuni benteng yang meninggal karena penyakit malaria. Berdasarkan hal tersebut maka EIC pada tahun 1714 mendirikan benteng baru yang berjarak sekitar 2 km ke arah tenggara dan diberi nama Marlborough.
Pada masa selanjutnya, EIC melebarkan sayapnya hingga ke wilayah-wilayah lain di sekitar Bengkulu, yaitu Mukomuko di bagian utara dan Kaur di bagian Selatan. Di wilayah-wilayah tersebut EIC juga membangun pos-pos dagang yang dilindungi oleh benteng, yaitu Benteng Anna di Mukomuko dan Benteng Linau di Kaur. Berdasarkan penelitian Lucas Pertanda Koestoro (1994) diketahui selain Benteng Anna dan Linau, EIC juga mendirikan benteng di bagian utara Bengkulu yang diberi nama Victoria, namun keletakan benteng tersebut masih belum dapat diidentifikasikan.
Dalam buku Oriental Commerce or the East India Trader’s Complete Guide, diberitakan bahwa tanaman lada dibudidayakan masyarakat di seluruh wilayah Bengkulu dan menjadi komoditi dagang utama selain serbuk emas dan sarang burung. Secara khusus serbuk emas diproduksi dari Mukomuko, sedangkan sarang burung dari Krui yang sekarang termasuk wilayah administrasi Lampung. Keseluruhan komoditi tersebut kemudian dikapalkan ke Bengkulu.
Dari kelima benteng yang didirikan oleh EIC, yang dapat diidentifikasikan secara arkeologis adalah Benteng York, Marlborough, Anna dan Linau. Namun demikian dikarenakan tingkat abrasi Sungai Serut yang cukup tinggi mengakibatkan sisa-sisa pondasi Benteng York hancur sehingga tidak dapat diidentifikasikan lagi bentuknya. Secara umum benteng-benteng yang masih dapat diketahui bentuknya adalah Benteng Marlborough dan Linau. Benteng Marlborough memiliki bentuk persegi dengan ukuran 116,98 m x 100,9 m. Di bagian sudut-sudutnya terdapat bastion berbentuk segilima dan di bagian depannya terdapat sebuah raveline yang berbentuk segitiga dengan ukuran 51,13 m x 54,69 m. Raveline adalah bastion yang dibangun terpisah dari bangunan benteng yang berfungsi juga sebagai pertahanan di bagian pintu masuk benteng. Benteng Linau memiliki bentuk persegi dengan ukuran 34,5 m x 32,9 m. Bastion benteng Linau berbentuk segilima dan terdapat di sudut utara serta selatan saja.
Secara keseluruhan Benteng Marlborough dan Benteng Linau memiliki parit kering yang mengelilingi benteng. Di Benteng Anna keberadaan parit kering hanya terdapat di bagian baratnya saja, sedangkan di bagian timur dan selatannya adalah  rawa dan bagian  utara adalah Sungai Selagan. Berdasarkan keadaan tersebut maka diperkirakan bentuk Benteng Anna adalah persegi dengan ukuran sekitar 100 m x 98 m.
Pada dasarnya bentuk benteng dapat dikaitkan dengan lokasi keberadaan benteng tersebut dan keletakan bastionnya dibangun berdasarkan titik-titik yang dianggap berbahaya atau perlu untuk diwaspadai seperti garis pantai, jalur sungai, jalan darat, pelabuhan, pusat perekonomian, dan istana. Data sejarah menyebutkan bahwa pemukiman penduduk lokal berada di bagian utara Sungai Selagan. Di pemukiman tersebut terdapat pasar yang terdiri dari 100 rumah. Di bagian utara pasar terdapat rumah Sultan yang bentuknya tidak berbeda dengan rumah penduduk lainnya hanya berukuran lebih besar.
Pengamatan terhadap jalur Sungai Selagan menunjukkan bahwa aliran sungai dari depan Benteng Anna berbelok ke arah utara dan bermuara sekitar 1 km dari benteng. Selain itu dari sisa dinding benteng diketahui bahwa dinding tersebut memiliki bentuk yang semakin tinggi semakin menipis sehingga membentuk bidang miring. Berdasarkan bentuk dinding dan lokasi pemukiman penguasa lokal serta keletakan muara Sungai Selagan maka kemungkinan bagian utara benteng merupakan bagian yang perlu diwaspadai. Berdasarkan hal tersebut maka di bagian utara Benteng Anna diperkirakan terdapat bastion.
Berdasarkan sisa-sisa artefak yang diketemukan sewaktu ekskavasi tahun 2012 di benteng dapat diketahui bahwa di dalam  benteng terdapat bagian bangunan (pintu dan jendela) dan atap yang terbuat dari kayu. Asumsi ini didasarkan atas temuan paku, engsel, dan penahan/pengait dari logam. 

6. Fungsi Benteng 
Secara umum benteng berkaitan erat dengan kegiatan militer. Dalam Ensiklopedia Indonesia, benteng didefinisikan sebagai lokasi militer atau bangunan yang didirikan secara khusus, diperkuat dan tertutup yang dipergunakan untuk melindungi sebuah instalasi, daerah atau sepasukan tentara dari serangan musuh atau menguasai suatu daerah. Dalam perkembangannya sebenarnya benteng tidak hanya digunakan untuk instalasi militer, tapi juga berfungsi sebagai perlindungan sebuah pemukiman.
Istilah benteng mengingatkan pada konteks pertahanan dan peperangan, khususnya yang terjadi pada masa lalu. Konotasi harafiah ini memiliki makna yang lebih luas daripada arti sebelumnya ketika mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan kota di Indonesia.
Sesuai tujuan pembangunannya, benteng memiliki fungsi sebagai tempat perlindungan bagi mereka yang tinggal di dalamnya. Dengan banyak dan beragamnya individu yang tinggal di dalam benteng, dinamika kehidupan menjadi kompleks. Bersamaan dengan itu, benteng tidak lagi menjadi simbol pertahanan tetapi juga menjadi pusat aktivitas dan interaksi sosial manusia. Berbagai macam kegiatan dilaksanakan bukan hanya terbatas pada aktivitas peperangan atau yang berkaitan dengan militer, melainkan juga dengan cabang kehidupan manusia lainnya, termasuk aspek ekonomi dan budaya. Hal ini mempengaruhi benteng yang bukan lagi melambangkan institusi militer dan peperangan melainkan menjadi pusat kehidupan sosial dan akhirnya berkembang menjadi pusat administrasi dan pemerintahan.
Bentuk pergeseran fungsi ini terjadi pada benteng-benteng yang dibangun dan digunakan oleh lembaga-lembaga dagang masa lalu yang memiliki kekuasaan dari negara induknya. Lembaga-lembaga ini memiliki wewenang dan dukungan kekuatan bukan hanya untuk melakukan transaksi niaga tetapi juga membangun suatu pangkalan yang dibangunnya sehingga berbentuk suatu jaringan dan kolonisasi. Hal ini dilakukan oleh VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) dan EIC  di Asia pada abad 17 - 18 Masehi dengan hak-hak politik dan ekonomi yang bersifat monopolis dari negara induknya.
Benteng-benteng bagi lembaga-lembaga perdagangan masa lalu menjadi kebutuhan primer disamping modal dagang mereka. Dengan benteng, VOC dan EIC tidak hanya digunakan untuk mengkoordinasikan semua aktivitas dan menjalankan segala urusannya. Benteng yang digunakan sebagai simbol kekuatan mereka yang digunakan sebagai ancaman terhadap lawan-lawannya ketika mereka menghadapi kesulitan untuk mewujudkan maksud-maksud ekonominya. Bangunan tersebut kemudian juga mengalami perkembangan fungsi ketika dijadikan  sebagai pusat pemerintahan dan kegiatan administrasi yang mengatur wilayah kekuasaan badan-badan usaha ini. Akibatnya, benteng menjadi simbol penguasaan wilayah baik secara politik, ekonomi maupun militer. Benteng kemudian identik dengan dominasi kekuatan eksploitasi ekonomi dan simbol kekuasaan asing di suatu daerah yang dikuasai oleh raja-raja dan penguasa pribumi.

Daftar Pustaka

Abbas, Novida. 2001. Dutch Forts of Java. A Locational Study. A Thesis Submitted for The Degree of Master of Arts Southeast Asian Study Programme, National University of Singapore.

Ambary, Hasan Muarif dkk. 1988. Fort York Bengkulu. Laporan Penelitian Arkeologi. Puslit Arkenas, Jakarta. 

Gill, Ronald Gilbert. 1995. De Indische Stad op Java en Madoera. Disertasi, Universitas Delft.

Harrison, Brian. 1954. South-east Asia: A Short History. Macmillan & Co, London. 

Koestoro, Lucas Partanda. 1993. Penelitian Arkeologi Bengkulu Utara. Laporan Penelitian Arkeologi. Balai Arkeologi Palembang, Palembang. 

Koestoro, Lucas Pertanda dkk. 1994. Laporan Hasil Penelitian Survei Arkeologi Bengkulu 1993. Laporan Penelitian Arkeologi. Balai Arkeologi Palembang, Palembang.

Latifundia, Effie dkk. 2001. Peninggalan Sejarah Purbakala Di Kabupaten Bengkulu Utara Propinsi Bengkulu. Laporan Penelitian Arkeologi. Dinas Pendidikan Nasional, Bengkulu.

Marhaeni SB, Tri dkk. 2012. Pusat Peradaban Di Pantai Barat Sumatera: Perkembangan Hunian Dan Budaya. Laporan Penelitian Arkeologi. Balai Arkeologi Palembang, Palembang:.

Merillees, Scott. 2000. Batavia in Nineteenth Century Photopraphy. Archipelago Press, Singapore.

Milburn, William. 1825. Oriental Commerce or The East India Trader’s Complete Guide; Containing A Geographical and Nautical. Description of The Maritime Ports of India, China, Japan, and Neighbouring Countries including The Eastern Islands and The Trading Station on the Passage from Europe. Kingsbury, Parbury and Allens, London.

Novita, Aryandini. 1997. Laporan Penelitian Arkeologi Kolonial di Kotamadya Bengkulu. Laporan Penelitian Arkeologi. Balai Arkeologi Palembang, Palembang.

Sudaryadi, Agus dkk. 2012. Ekskavasi Penyelamatan Benteng Anna Kelurahan Pasar Mukomuko, Kecamatan Mukomuko Utara, Kabupaten Mukomuko, Propinsi Bengkulu. Laporan. BP3 Jambi, Jambi.

Sukendar, Haris dkk. 1996. Penelitian Arkeometri di Bengkulu Utara. Laporan Penelitian Arkeologi. Balai Arkeologi Palembang, Palembang.




-->
Share:

Profile

Foto saya
AGUS SUDARYADI, arkeolog yang bekerja di Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi Wilayah Kerja Prop. Jambi, Sumsel, Bengkulu, dan Kep. Bangka-Belitung yang sering melakukan Jelajah Situs dalam rangka Pelestarian Cagar Budaya. Menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Situs adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. Pekerjaan tersebut memberikan saya kesempatan untuk menjelajahi pelosok negeri di Propinsi Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Kepulauan Bangka-Belitung. Pelosok karena lokasi yang kami datangi kebanyakan berada di luar kota, bahkan sampai masuk hutan. Maklum Cagar Budaya atau Diduga Cagar Budaya yang saya tuju sekarang berada di daerah yang jauh dari kota. Kegiatan yang memerlukan stamina dan mental yang kuat adalah dalam rangka pelestarian Cagar Budaya Bawah Air. Saya telah mengikuti pelatihan Arkeologi Bawah Air di dalam dan luar negeri, antara lain Makassar Sulsel, Pulau Bintan Kepri, Tulamben Bali, dan Karimunjawa Jateng serta Thailand dan Sri lanka.

Popular Posts

Recent Posts

Pages