• Arkeologi Bawah Air

    Negara Indonesia adalah negara yang besar dengan wilayah lautannya lebih luas daripada daratannya. Potensi lautannya menyimpan kekayaan peninggalan warisan bawah air yang sangat besar.

  • Arkeologi Islam

    Masjid Jamik telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM.10/PW.007/MKP/2004 tanggal 3 Maret 2004 tentang Penetapan Benteng Marlborough

  • Benteng Marlborough

    Lokasi Benteng Marlborough berdiri kokoh di tepi laut di atas sebuah dataran dengan ketinggian lebih kurang 8,5 meter di atas permukaan laut (dpl).

  • PELESTARIAN BENDA CAGAR BUDAYA: DAHULU DAN SEKARANG

    PendahuluanBangsa Indonesia yang memproklamirkan kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945 mempunyai latar sejarah yang sangat panjang, dimulai dari masa Prasejarah sampai dengan masa kolonial.

CANDI MUARAJAMBI











 Lokasi
Candi ini terletak lebih kurang 27,5 kilometer dari Kota Jambi. Secara administratif berada di Desa Muaro Jambi, Kecamatan Marosebo, Kabupaten Muaro Jambi. Sedangkan secara astronomis terletak pada 103º22’ - 103º45’ Bujur Timur dan 1º24’ - 1º33’ Lintang Selatan. Luas candi Muarajambi lebih kurang 2062 hektar menempati bentang lahan mengikuti alur tepian sungai Batanghari sepanjang 7,5 kilometer

Latar Sejarah
Informasi tertua yang berhubungan dengan daerah Jambi ditemukan pada Naskah Berita Dinasti Tang (618-906 M) yang menyebutkan kedatangan utusan Kerajaan Mo-lo-yue ke Cina pada tahun 644 M dan 645 M. Begitu pentingnya Negeri Mo-lo-yue sehingga seorang pendeta I-Tsing menyempatkan singgah selama 2 bulan untuk memperdalam agama sebelum melanjutkan perjalanannya ke India. Ketika beliau kembali dari India dikatakan Mo-lo-yue tahun 692 telah menjadi bagian Shih-li-fo-shih (Sriwijaya). Suatu keadaan yang ditafsirkan terkait erat dengan Prasasti Karangbrahi (686 M) yang ditemukan di wilayah Jambi hulu.

Nama Jambi sendiri diidentifikasikan dari berita Cina pada tahun 853 dan 871, menyebut kedatangan misi dagang dari Chan-pi atau Pi-chan. Berita Dinasti Sung (960-1279 M) menyebutkan bahwa Chan-pi merupakan tempat bersemayamnya Maharaja San-fo-tsi (Sriwijaya), rakyatnya tinggal pada rumah-rumah panggung di tepi sungai. Raja dan para pejabatnya bermukim di daratan. Sekitar awal abad ke-11 Masehi Chan-pi menobatkan raja di negerinya sendiri dan mengirim utusan ke Cina pada tahun 1079, 1082, serta 1088 M sebagai pemberitahuan bahwa Chan-pi telah menjadi negeri yang berdaulat.

Nama Melayu kembali muncul pada abad ke-13 Masehi dalam Kitab Pararaton dan Nagarakertagama yang menyebutkan bahwa Raja Singhasari bernama Kertanagara mengirimkan Ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275 M. Ekspedisi ini bertujuan untuk menjalin pertahanan bilateral antara Singhasari dan Melayu melawan serangan Mongol. Dalam Kitab Nagarakertagama nama Melayu juga disebutkan sebagai sebuah region di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 Masehi.

Sejarah penemuan, Penelitian dan Pelestarian
Situs Muarajambi pertama kali diketahui keberadaaanya dari seorang perwira Inggris bernama S.C. Crooke pada tahun 1820. Penemuan ini terjadi saat ia sedang melakukan kunjungan ke daerah-daerah pedalaman Batanghari guna melakukan survei pemetaan aliran Sungai Batanghari. Crooke sempat menyaksikan reruntuhan bangunan-bangunan dari bata dan arca batu. Ia mengatakan bahwa sejumlah penduduk menganggap bahwa reruntuhan di Muarajambi tersebut pernah menjadi ibukota dari sebuah kerajaan kuno (Anderson, 1971: 398).

Sekitar setengah abad setelah penemuannya, Muarajambi kembali dilaporkan oleh sebuah tim ekspedisi Belanda bernama Expedition Midden Sumatera yang memasukkan Muarajambi dalam daftar daerah yang dikunjunginya. Sayangnya hingga kini laporan tim tersebut belum pernah ditemukan. Pada yahun 1921 dan 1922 kembali nama Muarajambi disebut-sebut yakni ketika T. Adams menerbitkan catatannya dalam majalah Oudheidkundig Verslag. Kunjungan berikutnya dilakukan oleh F. M. Schnitger pada tahun 1935 yang menyebutkan bahwa sedikitnya ada tujuh bangunan kuno di Muarajambi yakni Stano, Gumpung, Tinggi, Gedong I, Gedong II, Gudang Garem, dan Bukit Perak. Selain itu Schnitger juga melakukan serangkaian penggalian pada bangunan-bangunan kuno tersebut kecuali di Candi Astano (Schnitger, 1935: 12-13). Sayangnya penelitiannya ini tidak diikuti dengan dokumentasi lengkap sehingga banyak informasi yang diperoleh tidak ditulis dalam laporan.

Pada tahun 1954 sebuah tim yang diketuai oleh R. Soekmono melakukan inventarisasi kepurbakalaan di Sumatera, terutama kepurbakalaan di Muarajambi. Tempat-tempat yang dikunjungi antara lain Candi Astano, Gumpung, Tinggi. Penelitian arkeologis dalam arti sesungguhnya baru diadakan pada tahun 1981 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, walaupun sebelum itu beberapa ahli dari lembaga yang sama telah mengunjungi Situs Muarajambi.

Selain penelitian, kegiatan lain yang dilakukan untuk pelestarian dan pengembangan situs Muarajambi adalah pemugaran. Pertama kali diadakan pada tahun 1976 dengan kegiatan berupa pembersihan kompleks percandian untuk membebaskannya dari tumbuhan hutan yang berada di atasnya. Pada waktu itu candi-candi di Muarajambi masih tertimbun tanah yang ditutupi oleh tumbuh-tumbuhan. Dilanjutkan dengan pemugaran oleh Ditlinbinjarah yang dimulai pada tahun 1978 dengan candi Tinggi sebagai objek utama dan selesai pada tahun 1987. pemugaran selanjutnya dilakukan pada Candi Gumpung yang dilaksanakan pada tahun 1982 s.d. 1988, Candi Astano dari tahun 1985 s.d. 1989, Candi Kembarbatu dari tahun 1991 s.d. 1995, Candi Gedong I mulai tahun 1996 s.d. 2000, dan terakhir adalah Candi Gedong II yang dilaksanakan pada tahun 2000 s.d. 2004, serta pada tahun anggaran 2005 pemugaran Candi Tinggi II mulai dilaksanakan dengan pekerjaan pertama adalah pengupasan.

Tinggalan Arkeologis
Situs ini tersebar pada areal yang berada di atas tanggul alam sepanjang 7,5 kilometer dengan luas lebih kurang 12 kilometer persegi. Merupakan sebuah dataran sempit yang dibatasi oleh rawa-rawa di sebelah utara dan Sungai Batanghari di sebelah Selatan. Daerahnya diapit oleh tiga buah parit dan sebuah sungai kecil. Ketiga parit tersebut adalah Sekapung, Buluh, dan Johor, sedangkan sungai kecil bernama Sungai Jambi.

Sampai kini tinggalan yang ditemukan di kawasan Situs Percandian Muarajambi mencapai lebih dari 85 buah. Duabelas di antaranya merupakan bangunan yang sudah dapat diidentifikasi sebagai kompleks candi. Penggunaan istilah kompleks digunakan di sini karena pada umumnya candi di situs ini ditemukan bukan merupakan sebuah bangunan, namun merupakan sebuah sistem yang terdiri dari bangunan induk, satu atau lebih bangunan pendamping (perwara), tembok keliling dengan pintu masuk (gapura) serta kadang-kadang parit keliling. Diantaranya yakni Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong II, Gedong I, Gumpung, Tinggi, Kembarbatu, Astano, Teluk I, Teluk II, Sialang, dan Tinggi II, serta sebuah kolam kuno yang dikenal dengan sebutan Telagorajo. Tinggalan lain berupa menapo atau gundukan tanah yang di dalamnya berisi struktur bata. Selain itu beraneka ragam artefak kuno yang merupakan temuan-temuan lepas yang mempunyai keterkaitan dengan keberadaan candi-candi di Muarajambi. Temuan tersebut antara lain berupa arca, lapik arca, lesung, belanga perunggu, gong perunggu, lempengan emas yang berisi mantra-mantra, keramik, manik-manik, bandul jaring, benda-benda perlengkapan upacara, dan perhiasan.

Pada umumnya candi di Sumatera dibuat dengan menggunakan bahan bata yang ukurannya lebih besar dari bata sekarang. Namun demikian penggunaan batu juga ditemukan, terutama pada beberapa unsur bangunan seperti pada sudut-sudut bangunan yang rentan terhadap daya tekan besar. Dari hasil penelitian terhadap bangunan candi dapat diketahui bahwa cukup banyak bangunan candi di Muarajambi yang dibangun lebih dari satu kali, ada yang dua kali, bahkan ada yang sampai tiga kali. Mengingat peninggalannya berupa kompleks percandian, maka situs Muarajambi dapat dikatakan sebagai situs keagamaan. Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan, antara lain berupa Arca Dewi Prajnaparamitha, wajra (sebuah alat keagamaan berujung empat dan terbuat dari logam) dan rancangan kompleks percandian yang didasari konsep makrokosmos dan mikrokosmos dapat diketahui aliran agama yang melatari Situs Muarajambi adalah agama Budha Mahayana.

Selain merupakan situs keagamaan, Situs Muarajambi juga merupakan situs pemukiman. Hal ini ditandai dengan adanya temuan-temuan yang berkaitan dengan aktivitas keseharian manusia yang telah menetap dan berintegrasi dengan lingkungannya dalam jangka waktu yang lama di lokasi tersebut. Misalnya temuan berupa keramik lokal dan asing yang ditemukan dalam jumlah besar di dalam maupun di luar kompleks percandian. Penelitian arkeologis di Muarajambi telah menempatkan kronologi relatif situs ini pada abad 9-14 Masehi. Rentang masa itu merupakan bagian dari masa pemerintahan Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya di Sumatera.
 
Pengembangan dan Pemanfaatan
Pemanfaatan dan pengembangan Kawasan Situs Percandian Muarajambi ini diarahkan pada bidang antara lain:
- Ilmu Pengetahuan
- Pendidikan
- Kebudayaan
- Pariwisata
- Agama
- dan Sosial

Saat ini Kawasan Situs Percandian Muarajambi telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya dengan Nomor: 31/C1/JB/99 tertangal 26 Januari 1999 dan sebagai Benda Cagar Budaya dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 045/M/2000 tertanggal 30 Maret 2000. Sebagai Benda Cagar Budaya yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan sudah tentu kita wajib menjaganya bersama. Anda dapat berpartisipasi menyelamatkannya dengan tidak merusak bangunan bersejarah ini. Bantulah candi ini untuk memenuhi keinginannya “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”



Share:

BENTENG MARLBOROUGH (1714-1719)


Lokasi
Benteng Marlborough berdiri kokoh di tepi laut di atas sebuah dataran dengan ketinggian lebih kurang 8,5 meter di atas permukaan laut (dpl). Secara administratif benteng ini terletak di Desa Kebon Keling, Kelurahan Kampung Cina, Kecamatan Teluk Segara, Kota Bengkulu, Propinsi Bengkulu.

Bagian luar benteng dikelilingi parit dan tanggul, namun pada bagian depan dan belakang sudah tidak tampak lagi hanya berupa tanah yang agak rendah dan bekas bangunan yang telah dibongkar. Sisi luar parit keliling yang merupakan tanggul kini dibuatkan jalan setapak selebar kurang lebih 1 meter. Dari jalan setapak ini masih terdapat halaman yang dibatasi oleh pagar besi yang mengelilingi benteng yang menjadi pembatas antara benteng dengan lingkungan luar.

Lingkungan di luar pagar benteng berbatasan dengan jalan raya, yaitu pada sebelah timur berbatasan dengan jalan Benteng, (dahulu Jalan Burniat), berlanjut dengan pertigaan yang merupakan ruas Jalan Khodijah dan Taman Tapak Paderi dengan latar pemukiman penduduk dan tepat pada sudut pertigaan jalan terdapat sekolah. Di sebelah barat berbatasan dengan Jalan Jenderal A. Yani dan pertokoan serta pecinan, termasuk bekas Gedung Pengadilan, sebelah utara Jalan Jenderal A. Yani dan Pelabuhan Lama (obyek wisata Pantai Bai), dan sebelah selatan Jalan Benteng dan perumahan masyarakat Kelurahan Kebun Keling

Latar Belakang Sejarah
Kedatangan Bangsa Eropa ke Bengkulu seperti juga ke daerah lain, pada mulanya untuk berhubungan dagang. VOC datang pada tahun 1604 dan mendirikan kantor pelelangan, kemudian pergi pada tahun 1670. Sedangkan Inggris melalui EIC (East India Company) datang pada tahun 1685 dan mengadakan perjanjian dengan Kerajaan Selebar. Kolonial Inggris berkuasa di Bengkulu selama 140 tahun terhitung mulai dari tahun 1685 dan berakhir pada tahun 1825 dengan adanya perjanjian London (Treaty of London) yang berisi penyerahan daerah kekuasaan Inggris kepada Belanda. Dalam rentang waktu tersebut, Inggris membangun sarana dan prasarana untuk menunjang imperialismenya di Bengkulu. Sarana dan prasarana yang dibangun antara lain garnizun, loji, gudang, jalan, pelabuhan, perkantoran dan benteng-benteng pertahanan. Salah satu benteng yang dibangun adalah benteng Marlborough. Pemberian nama Marlborough adalah sebagai penghormatan kepada John Churchil yang bergelar Duke of Marlborough I.

Pembangunan benteng Marlborough dimaksudkan sebagai benteng pertahanan untuk mempertahankan kekuasaan Inggris di kawasan pantai barat Sumatera dari ancaman Belanda. Selain itu juga dimaksudkan untuk mempertahankan daerah Bengkulu sebagai daerah monopoli lada dan pusat perdagangan.

Pembangunan benteng diprakarsai oleh Gubernur Yoseph Collet (1712-1716). Awal pembangunannya dimulai pada tahun 1713 dan selesai tahun 1719, dalam rentang waktu tersebut tercatat nama-nama penguasa Inggris yang mempunyai andil dalam pembangunan benteng tersebut, antara lain Yoseph Collet (1712-1716), Thiophillus Shyllings (1716-1717), Richard Former (1717-1718) dan Thomas Cooke (1718).

Fungsi Benteng Marlborough sebagai benteng pertahanan terus berlanjut pada periode berikutnya, yaitu oleh pihak Belanda (1825-1942), Jepang (1942-1945) dan oleh tentara Republik Indonesia pada masa perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Benteng yang masih berdiri kokoh sampai sekarang ini merupakan monumen perjuangan rakyat Bengkulu dalam menuntut keadilan dan kebebasan dari penjajah.

Arsitektur Bangunan
Benteng Marlborough berdiri di atas lahan seluas 44.100,5 meter2 dengan panjang 240,5 m dan lebar 170,5 m, dengan orientasi 215 derajat ke arah barat daya. Benteng Marlborough berbentuk kura-kura dengan arah hadap kepala ke barat daya, sedangkan pintu masuk benteng lebih mengarah ke barat, yaitu sisi mata kanan kura-kura dengan pintu masuk dan jembatan yang menghubungkan jalan masuk dengan bagian luar.

Pada bagian kepala dan badan dihubungkan dengan jembatan yang membentuk bagian leher. Pada bagian belakang benteng terdapat pintu masuk dari belakang dan sebuah jembatan di atas parit yang membentuk bagian ekor. Ketiga jembatan itu pada masa awalnya sewaktu-sewaktu dapat diangkat dan diturunkan. Disekeliling benteng dari batas terluar dinding masih terdapat batas-batas asli berupa parit-parit.

Pada bagian dalam benteng terdapat beberapa bangunan memanjang yang pada awalnya difungsikan sebagai gudang persenjataan, tempat tahanan dan perkantoran serta ruang terbuka yang merupakan halaman bagian dalam. Secara keseluruhan bentuk ba-ngunan yang berdenah kura-kura merupakan ciri khas benteng-benteng di Eropa. Bagian kepala kura-kura berfungsi sebagai pintu masuk benteng, sedangkan badan kura-kura berfungsi sebagai benteng dan keempat kakinya berfungsi sebagai bastion.

Benteng ini dibangun dengan menggunakan campuran kapur, pasir, dan semen merah. Tinggi dinding benteng bagian luar 8,65 m, tebal 3 m dan tinggi bagian dalam 8,50 m, tebal 1,85 m. Bangunan benteng terdiri atas delapan bangunan yaitu :
a. Bangunan kepala kura-kura
(panjang 60 m dan lebar 40,40 m)
b. Bangunan kaki kura-kura bagian selatan
(panjang 50,90 m dan lebar 50,60 m);
c. Bangunan kaki kura-kura bagian timur
(panjang 50,90 m dan lebar 50,10 m)
d. Bangunan kaki kura-kura bagian utara
(panjang 70,20 m dan lebar 40,60 m);
e. Bangunan kaki kura-kura bagian barat
(panjang 50,40 m dan lebar 50,10 m);
f. Bangunan timur laut
(panjang 50,20 m dan lebar 6,80 m);
g. Bangunan tenggara
(panjanng 60 m dan lebar 6,80 m);
h. Bangunan barat laut
(panjang 61 m dan lebar 6,80 M).

Tiap-tiap bangunan mempunyai ruangan-ruangan yang berfungsi sebagai tempat tahanan, gudang persenjataan, perlengkapan dan kantor. Pada tiap kaki kura-kura (bastion) terdapat beberapa pucuk meriam baik berukuran besar maupun berukuran kecil dan pada bagian bawah bangunan kaki kura-kura bagian utara terdapat terowongan yang berukuran panjang 6 m dan lebar 2 m. Dalam bangunan terdapat lubang perlindungan yang dipergunakan sebagai jalan keluar dari kepungan musuh. Bagian tengah benteng terbuka tanpa atap, sedang lantainya terbuat dari ubin, batu kali atau karang sedang atap terbuat dari genteng. Pintu gerbang dan pintu-pintu ruangan lainnya terbuat dari kayu yang diberi penguat berupa pasak-pasak besi. Sedang ruang tahanan menggunakan terali besi.

Pada bagian belakang pintu benteng terdapat tiga buah bangunan makam, yaitu makam Thomas Parr, Charles Muray dan satu makam tak dikenal. Selain ketiga makam tesebut terdapat pula empat buah prasasti nisan berbahasa Inggris yang ditempelkan pada dinding gerbang pintu masuk dari belakang yang bertuliskan : George Thomas Shaw yang meninggal tanggal 25 April 1704, Richard Watts yang meninggal 17 Desember 1705 dalam usia 44 tahun, Henry Stirling yang meninggal pada bulan April 1744 dalam usia 25 tahun dan Capt. James Coney yang meninggal Februari 1737 dalam usia 36 tahun.

Riwayat Pelestarian
Dalam upaya melestarikan dan melindungi bangunan benteng dari kemungkinan terjadinya kerusakan, pada tahun anggaran 1977/1978 sd. 1983/1984 dilakukan pemugaran oleh Proyek Pembinaan dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bengkulu. Pemugaran meliputi bagian kepala kura-kura, kaki kura-kura barat dan utara, jembatan (tiang dinding pengaman), pembuatan pintu dan jendela serta pertamanan. Pada tahun 1984 dilakukan peresmian purnapugar Benteng Marlborough oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Prof. Dr. Haryati Soebadio.

Upaya pemeliharaan selanjutnya dilakukan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi Wilayah Kerja Propinsi Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Bangka Belitung bekerja sama dengan Proyek Pembinaan dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bengkulu. Meliputi penunjukan juru pelihara pada tahun 1994, penataan kembali pertamanan benteng pada tahun 1992, konservasi meriam benteng pada tahun 1997 dan pengangkatan Satuan Pengamanan (SATPAM) tahun 1998.

Selain itu untuk menunjang terlaksananya pelestarian bangunan dan lingkungannya dengan lebih maksimal juga dilakukan pemintakatan situs dan evaluasi kondisi keterawatan pasca pemugaran oleh Bagian Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Bengkulu pada tahun 1997/1998. Pemugaran selanjutnya dilakukan oleh Proyek Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jambi dari tahun anggaran 2002 sd. 2004.

Penutup
Keberadaan Benteng Marlborough sebagai benda cagar budaa harus tetap dipertahankan karena mengingat peranannya di masa lalu. Pada masa lalu benteng ini merupakan salah satu bukti sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Selain itu benteng dan kawasan lingkungan pemukiman yang melingkupinya menunjukkan adanya ciri arsitektur yang khas. Kekhasan ini tampak dari gaya arsitektur bangunan yang memperlihatkan suatu ciri kawasan kota yang pernah mendapatkan pengaruh beragam, yaitu mulai dari pengaruh Inggris, Belanda, dan Jepang serta masa perjuangan kemerdekaan. Dengan adanya ciri khas ini, maka benteng Marlborough menjadi salah satu aset wisata budaya andalan bagi Propinsi Bengkulu.

Share:

Profile

Foto saya
AGUS SUDARYADI, arkeolog yang bekerja di Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi Wilayah Kerja Prop. Jambi, Sumsel, Bengkulu, dan Kep. Bangka-Belitung yang sering melakukan Jelajah Situs dalam rangka Pelestarian Cagar Budaya. Menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Situs adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. Pekerjaan tersebut memberikan saya kesempatan untuk menjelajahi pelosok negeri di Propinsi Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Kepulauan Bangka-Belitung. Pelosok karena lokasi yang kami datangi kebanyakan berada di luar kota, bahkan sampai masuk hutan. Maklum Cagar Budaya atau Diduga Cagar Budaya yang saya tuju sekarang berada di daerah yang jauh dari kota. Kegiatan yang memerlukan stamina dan mental yang kuat adalah dalam rangka pelestarian Cagar Budaya Bawah Air. Saya telah mengikuti pelatihan Arkeologi Bawah Air di dalam dan luar negeri, antara lain Makassar Sulsel, Pulau Bintan Kepri, Tulamben Bali, dan Karimunjawa Jateng serta Thailand dan Sri lanka.

Popular Posts

Recent Posts

Pages