• Arkeologi Bawah Air

    Negara Indonesia adalah negara yang besar dengan wilayah lautannya lebih luas daripada daratannya. Potensi lautannya menyimpan kekayaan peninggalan warisan bawah air yang sangat besar.

  • Arkeologi Islam

    Masjid Jamik telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM.10/PW.007/MKP/2004 tanggal 3 Maret 2004 tentang Penetapan Benteng Marlborough

  • Benteng Marlborough

    Lokasi Benteng Marlborough berdiri kokoh di tepi laut di atas sebuah dataran dengan ketinggian lebih kurang 8,5 meter di atas permukaan laut (dpl).

  • PELESTARIAN BENDA CAGAR BUDAYA: DAHULU DAN SEKARANG

    PendahuluanBangsa Indonesia yang memproklamirkan kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945 mempunyai latar sejarah yang sangat panjang, dimulai dari masa Prasejarah sampai dengan masa kolonial.

PELESTARIAN BENDA CAGAR BUDAYA: Dahulu Dan Sekarang


Pendahuluan
Bangsa Indonesia yang memproklamirkan kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945 mempunyai latar sejarah yang sangat panjang, dimulai dari masa Prasejarah sampai dengan masa kolonial. Menghasilkan peninggalan-peninggalan sejarah dan purbakala yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Masyarakat menyebutnya dengan bermacam-macam sebutan, antara lain benda kuno, benda antik, benda purbakala, monumen, peninggalan arkeologi (archaeological remains), atau peninggalan sejarah (historical remains). Istilah Benda Cagar Budaya (BCB) mulai dipakai sejak tahun 1992, yaitu dengan adanya Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 yang dimaksud Benda Cagar Budaya adalah:
  1. Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan
  2. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Benda cagar budaya memiliki sifat unik (unique), langka, rapuh, tidak dapat diperbaharui (nonrenewable), tidak bisa digantikan oleh teknologi dan bahan yang sama, dan penting (significant) karena merupakan bukti-bukti aktivitas manusia masa lampau. Oleh karena itu dalam penanganannya harus hati-hati dan diusahakan tidak salah yang bisa mengakibatkan kerusakan dan perubahan pada benda. Perubahan yang terjadi sekecil apapun akan menyebabkan dampak yang mengurangi nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Karena tinggalan benda cagar budaya dapat memberikan gambaran tentang tingkat-tingkat kemajuan dalam kehidupan sosial ekonomi, pemukiman, penguasaan teknologi, kehidupan religi, dan lain-lain.

Pelestarian benda cagar budaya merupakan hal yang penting berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki oleh benda cagar budaya dan sesuai dengan amanat dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 yang menyebutkan bahwa benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jatidiri bangsa dan kepentingan nasional.

Pada masa otonomi daerah saat ini, dimana Pemerintah Daerah (Pemda) mempunyai kewenangan yang besar untuk mengatur daerahnya, telah juga ikut serta dalam hal pelestarian benda cagar budaya yang dahulunya dominan dilakukan oleh pemerintah pusat. Di satu sisi ada baiknya bahwa pemda terlibat dalam pelestarian benda cagar budaya, karena tidak sedikit biaya yang diperlukan dan tidak cukup ditangani oleh pemerintah pusat. Namun di sisi lain pelestarian benda cagar budaya oleh pemda sering kali tidak sesuai yang diharapkan.


Latar Sejarah Pelestarian Benda Cagar Budaya

Upaya-upaya penelitian dan pelestarian benda cagar budaya telah dimulai sejak Belanda berkuasa di Indonesia. Pada mulanya dilakukan secara perorangan yang tertarik dengan benda-benda purbakala yang baru dilihatnya. Di kalangan masyarakat Indonesia sendiri, benda-benda itu dianggap berhubungan dengan alam gaib, keramat dan bila ditemukan dijadikan benda pusaka. Bahkan kadang-kadang dijadikan sebagai objek pemujaan. Perkembangan penemuan dan penelitian berikutnya mendorong Pemerintah Belanda mendirikan untuk pertama kalinya suatu badan sementara pada tahun 1901 yang bernama Commissie in Nederlandsch – Indie voor oudheidkundig onderzoek op Java en Madoera. Badan tersebut diganti Pada tahun 1913 dengan berdirinya Oudheidkundige Dienst in Nedelandsch – Indie sebagai badan tetap yang bertugas di bidang kepurbakalaan. Pada tahun 1913 ini pula dibuat Monumenten Ordonnantie No. 19 (Undang-Undang tentang Monumen) sebagai cikal bakal Undang-Undang yang mengatur kepurbakalaan di Indonesia. Selanjutnya diubah dengan Monumenten Ordonnantie No. 21 Tahun 1924. Pada tahun 1924 didirikan pula sebuah badan yang bernama Oudheidkundige Vereeniging Madjapahit yang berkedudukan di Trowulan yang bergerak khusus dalam lapangan penelitian terhadap ibukota Majapahit. Perjalanan penelitian dan pelestarian benda cagar budaya sempat terganggu dengan mendaratnya Jepang. Ahli-ahli purbakala Belanda banyak yang menjadi tawanan perang. Pada tahun-tahun berikutnya mulai muncul tenaga-tenaga purbakala dari Bangsa Indonesia yang akan memimpin Jawatan Purbakala.

Pada masa pergolakan kemerdekaan, Jawatan Purbakala berubah menjadi Jawatan Urusan Barang-Barang Purbakala. Kondisi peperangan yang terjadi dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan antara Belanda dan Indonesia juga mempengaruhi penguasaan Jawatan Purbakala. Setelah terusirnya Belanda dari Indonesia menjadi babak baru bagi sejarah Jawatan Purbakala. Namun demikian, beberapa orang Belanda masih bekerja sampai dengan tahun 1953.

Nama Jawatan Purbakala telah mengalami beberapa perubahan, antara lain Dinas Purbakala dan Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN). Pada tahun 1975 LPPN dipecah menjadi dua instansi, yaitu Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (PusP3N) dan Direktorat Sejarah dan Purbakala (DSP). Pada tahun 1980 kembali diubah menjadi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslitarkenas) dan Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (Ditlinbinjarah). Sekarang ini, penggantian pemimpin negara atau presiden RI ternyata juga mempengaruhi perubahan yang terjadi di instansi yang bertugas di bidang penelitian dan pelestarian Benda Cagar Budaya ini. Perubahan yang terjadi sekarang malah terbagi menjadi tiga, yaitu Direktorat Peninggalan Purbakala, Direktorat Peninggalan Bawah Air, dan Pusat Penelitian Arkeologi. Sementara di daerah terdapat Unit Pelaksana Teknis yang bernama Balai Arkeologi (Balar) yang berjumlah 10 buah dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) berjumlah 8 buah serta Balai konservasi Borobudur.

Upaya Pelestarian
Upaya pelestarian yang telah dilakukan dahulu dan sekarang pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu pelestarian demi kepentingan penggalian nilai-nilai budaya dan proses-proses yang pernah terjadi pada masa lalu dan perkembangannya hingga kini serta pelestarian benda cagar budaya karena nilainya terhadap suatu peristiwa sejarah yang pernah terjadi pada masa lalu. Namun seiring dengan usaha pembangunan yang terus berlangsung di negara kita, maka memberi tantangan tersendiri terhadap upaya pelestarian. Pembangunan sering kali berdampak negatif terhadap kelestarian benda cagar budaya. Problem semacam ini muncul dimana-mana terutama di daerah perkotaan. Kegiatan pembangunan tanpa menghiraukan keberadaan benda cagar budaya hingga saat ini masih terus berlangsung. Hal ini tampak dari semakin menurunnya kualitas dan kuantitas benda cagar budaya.

Upaya pelestarian benda cagar budaya membutuhkan keterlibatan banyak pihak dan yang terpenting adalah keterlibatan masyarakat, terutama pada benda cagar budaya yang masih dipakai (living monument). Pelestarian living monument terkadang lebih sulit, dikarenakan kurangnya pemahaman sang pemilik tentang pentingnya pelestarian benda cagar budaya miliknya. Upaya pelestarian benda cagar budaya secara garis besar sebagai berikut:

1. Perlindungan
Perlindungan merupakan upaya melindungi benda cagar budaya dari kondisi-kondisi yang mengancam kelestariannya melalui tindakan pencegahan terhadap gangguan, baik yang bersumber dari perilaku manusia, fauna, flora maupun lingkungan alam. Upaya perlindungan dilakukan melalui :

a. Penyelamatan
Penyelamatan dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi benda cagar budaya dari kerusakan dengan kegiatan berupa ekskavasi penyelamatan, pemindahan, pemagaran, pencungkupan, penguasaan benda cagar budaya oleh negara melalui imbalan, pemintakatan, dan pemasangan papan larangan

b. Pengamanan
Pengamanan dilakukan untuk pencegahan terhadap gangguan perbuatan manusia yang dapat mengakibatkan kerugian fisik dan nilai benda. Kegiatannya berupa Penempatan Satuan Pengamanan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SATPENJARLA), Pelatihan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dan Penyuluhan Undang-Undang RI Nomor : 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

c. Perijinan
Perijinan dilakukan melalui pengawasan dan perijinan, baik dalam bentuk ketentuan atau ketetapan maupun tindakan penertiban terhadap lalu lintas benda cagar budaya. Kegiatannya berupa mengeluarkan ijin pemanfaatan untuk kepentingan pendidikan Siswa sekolah dan keagamaan, yaitu perayaan waisak di Situs Muarajambi serta ijin untuk kepentingan penelitian.

2. Pemeliharaan
Pemeliharaan merupakan upaya untuk melestarikan benda cagar budaya dari kerusakan yang diakibatkan oleh manusia dan alam. Upaya pemeliharaan dilakukan melalui :

a. Konservasi
Kegiatan pemeliharaan benda cagar budaya dari kemusnahan dengan cara menghambat proses pelapukan dan kerusakan benda sehingga umurnya dapat diperpanjang dengan cara kimiawi dan non kimiawi. Kegiatannya berupa pengangkatan Juru pelihara (Jupel), penataan lingkungan, pertamanan, pembersihan menggunakan pihak ketiga, pembersihan dengan bahan kimia, dan pengujian bahan kimia untuk konservasi.

b. Pemugaran
Serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki bangunan yang telah rusak dengan mempertahankan keasliannya, namun jika diperlukan dapat ditambah dengan perkuatan strukturnya. Keaslian yang harus diperhatikan dalam pemugaran mencakup keaslian bentuk, bahan, tehnik pengerjaan, dan tata letak.

1). Keaslian Bentuk
Keaslian bentuk bangunan harus dikembalikan berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan antara lain foto-foto lama, dokumen tertulis, saksi hidup, atau studi teknis.

2). Keaslian Bahan
a). Dalam pemugaran bahan bangunan yang harus digunakan adalah bahan asli dan harus dikembalikan ke tempatnya semula
b). Apabila bahan bangunan mengalami rusak ringan maka harus dilakukan perbaikan dan pengawetan sehingga dapat digunakan kembali
c). Apabila telah rusak berat atau hilang, maka dapat diganti dengan bahan baru. Namun bahan pengganti harus sama, baik jenis maupun kualitasnya.

3). Keaslian Tata Letak
a). Tata letak bangunan harus dipertahankan dengan lebih dahulu melakukan pemetaan
b). Keletakan komponen-komponen bangunan seperti hiasan, arca, dan lain-lain harus dikembalikan ke tempat semula.

4). Keaslian Teknologi Pengerjaan
Keaslian teknologi pengejaan dengan bahan asli maupun baru harus tetap dipertahankan. keaslian teknologi ini antara :
a). Teknologi pembuatan
b). Teknologi konstruksi

Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, maka perlu dipahami bahwa pemugaran bukan merupakan pekerjaan pembangunan atau pembuatan bangunan, melainkan pekerjaan perbaikan dan pengawetan.

3. Dokumentasi/Publikasi
Dokumentasi/Publikasi merupakan upaya untuk mendokumentasikan benda cagar budaya dan menyebarluaskannya kepada masyarakat melalui media cetak atau media elektronik. Upaya Dokumentasi/Publikasi dilakukan melalui :

a. Perekaman Data
Perekaman data merupakan rangkaian kegiatan pembuatan dokumen tentang benda cagar budaya yang dapat memberikan informasi atau pembuktian tentang keberadaannya. Kegiatannya berupa pemotretan, pemetaan, penggambaran, survei, dan pemerian.

b. Publikasi
Publikasi merupakan upaya menyebarluaskan informasi pelestarian benda cagar budaya agar dapat diketahui dan dipahami oleh masyarakat. Kegiatannya berupa pameran, penerbitan buletin dan buku, film dokumenter, dan website.

Pelestarian BCB di Era Otonomi Daerah
Otonomi daerah telah merubah banyak hal tidak terkecuali dalam hal pelestarian benda cagar budaya. Sejak turunnya PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom, maka PP No. 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya sudah tidak relevan lagi. Pelestarian benda cagar budaya telah menjadi kewenangan pemerintah provinsi yang selama ini dilakukan oleh pemerintah pusat. Berikut uraian dari PP No. 25 Tahun 2000 tentang kewenangan daerah yang berkaitan dengan benda cagar budaya :

BAB II Pasal 2 Ayat (3) kewenangan sebagaimana disebut pada ayat (2) dikelompokkan dalam bidang sebagai berikut :

11. Bidang Pendidikan dan kebudayaan
f. Penetapan persyaratan pemintakatan/zoning, pencarian, pemanfaatan, pemindahan, penggandaan, sistem pengamanan dan kepemilikan benda cagar budaya serta persyaratan penelitian arkeologi.
g. Pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum nasional, galeri nasional, pemanfaatan naskah sumber arsip, dan monumen yang diakui secara internasional.

15. Bidang Pemukiman
b. Penetapan pedoman konservasi arsitektur bangunan dan pelestarian kawasan bangunan bersejarah.

Pasal 3 Ayat (5) kewenangan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelompokkan dalam bidang sebagai berikut :

10. Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
f. Penyelenggaraan museum provinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan, kajian sejarah dan nilai tradisional serta pengembangan bahasa dan budaya daerah.

Berkaitan dengan PP No. 25 Tahun 2000, maka kantor-kantor atau instansi-instansi yang dahulunya berstatus kantor pemerintah pusat menjadi kantor pemerintah provinsi. Hal ini terjadi juga pada kantor-kantor di bidang kebudayaan, seperti Bidang Muskala/Musjarla di Kanwil Depdikbud dan Museum Negeri serta Taman Budaya yang merupakan Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Kebudayaan. Mereka melebur menjadi dinas-dinas kebudayaan atau Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD). Kecuali Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3), Balai Arkeologi (BALAR), dan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT). Ketiganya masih merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) pusat.

Dengan demikian, dinas-dinas di bidang kebudayaan pemerintah provinsi adalah menjalankan kewenangan-kewenangan menurut PP No. 25 Tahun 2000. Namun dalam pelaksanaannya baru tentang kewenangan penyelenggaraan Museum Provinsi dan Taman Budaya saja yang telah dilaksanakan oleh daerah. Sedangkan kewenangan lainnya belum terlaksana dengan baik. Dikarenakan penyelenggaraan Museum Provinsi dan Taman Budaya berasal dari Museum Provinsi dan Taman Budaya yang telah ada di masing-masing propinsi. Berbeda dengan penyelenggaraan yang lainnya, yaitu Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala atau Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional yang wilayah kerjanya beberapa propinsi dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang terbatas. Dikaitkan juga dengan masih kurangnya tenaga-tenaga kebudayaan di daerah, sehingga dalam hal ini pemerintah pusat masih mempertahankan keberadaan unit pelaksana teknisnya.

Sehubungan dengan hal itu, maka yang dapat dilakukan adalah Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala bersama-sama dengan pemerintah provinsi harus menjalin hubungan yang baik dalam melakukan pelestarian benda cagar budaya yang berada di wilayah kerjanya. Kebijakan pemerintah provinsi terhadap pelestarian benda cagar budaya apabila disikapi dengan baik, maka bukan tidak mungkin akan memberi dampak yang lebih baik. Keinginan pemerintah provinsi untuk melakukan pelestarian benda cagar budaya tidak dapat dicegah dan bahkan akan mengambil peran yang cukup besar. Oleh sebab itu, maka tidak ada jalan lain bagi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala selain membuka kesempatan seluas-luasnya kepada Pemerintah provinsi untuk melakukan pelestarian benda cagar budaya. Dalam hal ini, koordinasi yang baik sangat perlu supaya pemerintah provinsi dapat menjadikan BP3 sebagai sumber data bagi kegiatan pelestarian benda cagar budaya.

Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala yang sampai saat ini sebagai perpanjangan tangan dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata berkewajiban untuk melakukan upaya-upaya pelestarian benda cagar budaya seperti yang tertuang dalam SK MENBUDPAR RI Nomor: KM.51/ OT.001/ MKP/2003. Keberadaan BP3 di daerah telah memberi manfaat yang positif terhadap pelestarian benda cagar budaya yang tersebar di daerah-daerah seluruh Indonesia.

Namun demikian seiring dengan perjalanan waktu keberadaan BP3 di daerah seringkali berbenturan dengan masalah-masalah di dalam maupun di luar. Permasalahan di dalam antara lain menyangkut sumber daya manusia (SDM) yang masih kurang dibandingkan dengan jumlah BCB yang banyak, dan kinerja pegawai yang kurang baik yang disebabkan oleh tingkat ketrampilan/keahlian yang tidak dikuasainya. Sedangkan permasalahan di luar antara lain pengawasan perlindungan dan pemeliharaan yang terkendala oleh wilayah yang luas dan koordinasi dengan pemerintah daerah yang belum berjalan baik.

Otonomi daerah yang telah berlangsung selama 6 tahun tampaknya belum menyadarkan pemerintah daerah dalam mempersiapkan tenaga-tenaganya yang ahli di bidang pelestarian benda cagar budaya. Bahkan dalam pembentukan dinas yang bertugas di bidang kebudayaan di tiap Kabupaten/Kota dan Provinsi berbeda di masing-masing daerah. Pada beberapa dinas memang dijumpai tenaga-tenaga kebudayaan yang dahulunya bertugas di Kanwil dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Tenaga-tenaga itu sebagian besar pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan pelestarian benda cagar budaya yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bila yang demikian tetap berlangsung terus, maka peranan BP3 dalam pelestarian benda cagar budaya masih diperlukan dengan alasan :
1. Jumlah arkeolog yang bekerja di daerah Kabupaten/Kota maupun Provinsi masih sangat kecil bahkan ada yang belum memilikinya sama sekali.
2. Tenaga-tenaga teknis di BP3 telah terdidik dalam pelestarian benda cagar budaya.
3. Aset dokumen dan tenaga yang dimiliki BP3 dapat dipergunakan untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat dan kedinasan di dalam pelestarian benda cagar budaya.


DAFTAR PUSTAKA

I Made Suantra, Drs., Pelestarian Benda Cagar Budaya, Makalah Seminar Hukum di Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sriwijaya (tidak diterbitkan)

Rusmeijani Setyorini, Dra., Pelestarian Situs dan Benda Cagar Budaya di Sumatera Selatan Untuk Rekonstruksi Sejarah, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi (tidak diterbitkan)

Soekmono, R., “Sedikit Riwayat”, 50 Tahun Lembaga Purbakala dan Peninggalan Purbakala, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992

Surya Helmi, Drs., “Peran Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Dalam Perlindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya”, Makalah dalam Rapat Kerja Koordinasi Tugas dan Fungsi UPT di Lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Bogor 8-10 Mei 2000 (tidak diterbitkan)
Share:

KAPAL TENGGELAM di Perairan Pulau Pongok Kabupaten Bangka Selatan, Propinsi Kepulau Bangka Belitung


Pendahuluan
Manusia untuk memudahkan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain menciptakan berbagai macam alat transportasi. Alat transportasi yang diciptakan untuk perjalanan di laut atau sungai adalah kapal. Kapal adalah kendaraan pengangkut penumpang dan barang. Dalam istilah Inggris, dipisahkan antara ship yang lebih besar dan boat yang lebih kecil. Berabad-abad kapal digunakan oleh manusia untuk mengarungi laut atau sungai yang diawali dengan penemuan perahu. Kebutuhan akan daya muat yang besar dan dapat menempuh perjalanan yang jauh telah mendorong dibuatnya kapal. Pada mulanya bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan kapal menggunakan kayu dan bambu. Tenaga yang digunakan untuk lajunya kapal berasal dari angin dengan bantuan layar.

Kemajuan teknologi selanjutnya menciptkan kapal yang terbuat dari besi atau baja dengan menggunakan mesin dari uap. Mesin uap mulai digunakan setelah ditemukannya mesin uap di Inggris oleh James Watt. Penemuan itu memunculkan revolusi industri yang merupakan revolusi bahan bakar sebab pada masa itu mulai digunakan batu bara dengan skala yang lebih luas menggantikan kayu bakar. Pada bidang pelayaran ditemukan oleh John Fitch pada tahun 1787 dengan melayari Sungai Delaware, Amerika Serikat. Awalnya karena kurang kepercayaan pembuat dan awak kapal, maka kapal uap masih menggunakan tiang-tiang tinggi dan dilengkapi dengan layar cadangan untuk mengantisipasi bila bahan bakar pada tungku uap habis. Pada masa sekarang, kapal-kapal menggunakan tenaga mesin diesel dan nuklir. Beberapa riset memunculkan kapal bermesin yang berjalan mengambang di atas air seperti Hovercraft dan Eakroplane.

Kapal-kapal yang berlayar mengarungi lautan menghadapi bahaya yang berasal tidak hanya dari cuaca dan kerusakan peralatan kapal tetapi juga bajak laut atau perompak yang seringkali menenggelamkan kapal serta peperangan. Kapal-kapal karam itu selanjutnya terkubur di dasar laut. Keberadaan bangkai-bangkai kapal menarik perhatian orang untuk melakukan penelitian dan rekreasi. Namun di sisi lain juga menarik para pencari harta karun atau pengumpul besi untuk menjarahnya dalam rangka mengambil sisa-sisanya.

Letak Indonesia yang strategis menyebabkan perairannya menjadi jalur pelayaran penting yang menghubungkan dua benua dan dua samudera. Dengan demikian tidak mengherankan bahwa diperairan Indonesia terkubur banyak bangkai kapal. Salah satu lokasinya antara lain di perairan Pulau Pongok, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.


Perairan Pulau Pongok
Propinsi Bangka Belitung mempunyai banyak pulau dengan pulau terbesar adalah Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Pulau-pulau lain yang lebih kecil, yaitu Pulau Lepar dan Pulau Pongok termasuk dalam wilayah Kabupaten Bangka Selatan. Kedua pulau tersebut berada di antara Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Posisinya strategis karena berada di jalur pelayaran. Laut antara Pulau Lepar dan Pulau Pongok dilalui kapal-kapal sampai sekarang. Perairan di sekitarnya memiliki potensi peninggalan bawah air yang sangat besar.

Pulau Pongok dapat ditempuh dari Kabupaten Bangka Selatan dengan menggunakan kapal kayu dari Pelabuhan Sadai. Dari pelabuhan tersebut terdapat kapal yang rutin mengangkut penumpang dan barang ke Pulau Pongok 2 x dalam sehari. Perjalanan dengan kapal kayu dari Pelabuhan Sadai ditempuh selama 3 jam. Selama perjalanan yang melewati Sebelah Utara Pulau Lepar akan dijumpai gugusan pulau-pulau yang menarik perhatian.

Pulau Pongok tampak dari kejauhan berbentuk bukit yang hijau oleh pepohonan. Kapal memasuki pelabuhan dengan mengikuti panduan berupa bola besar berwarna merah karena memang perairan di daerah itu dangkal dan banyak karang. Salah melewatinya akan berakibat fatal. Perairan di depan pelabuhan banyak terdapat kapal-kapal nelayan. Lokasinya terlindung oleh Pulau Pongok dan Pulau Celagen. Kedua pulau dihuni oleh masyarakat nelayan. Namun dari jumlahnya lebih banyak masyarakat yang bertempat tinggal di Pulau Pongok. Perkampungan penduduk sebagian besar menempati daerah di dekat pelabuhan atau di sisi Barat pulau.

Perairan Bangka Selatan berada di tengah-tengah perairan Paparan Sunda. Sebagaimana paparan lainnya di sekitar Pulau Bangka adalah perairan laut dangkal dengan kedalaman 10-30 meter. Dengan pantai yang landai dengan kedalaman antara 1-10 meter di bawah MSL. Berdasarkan data pasang surut DISHIDROS 2008, tipe pasang surut perairan Kabupaten Bangka Selatan adalah pasang surut tunggal. Kisaran pasang surut di perairan Laut Bangka Selatan antara 3 sampai 4 meter. Kisaran pasang surut pada perairan selat lebih tinggi dari perairan terbuka. Kedudukan muka surutan (Z0) Selatan 120 cm, Barat 190 cm, Timur 130 cm, dan Utara 150-170 cm.

Gelombang di perairan Laut Bangka Selatan dipengaruhi oleh Iklim. Berdasarkan data angin selama lima tahun (tahun 2003-2007) dapat diperkirakan kejadian gelombang di perairan Bangka Selatan. Gelombang besar terjadi pada bulan September sampai dengan Maret dengan ketinggian lebih dari 1 meter dengan periode sekitar 5 sampai 7 detik. Aktivitas penyelaman pada bulan September-Maret harus berhati-hati terhadap kondisi ini. Gelombang yang tidak terlalu besar terjadi pada bulan April sampai Agustus dengan ketinggian antara 5 sampai 40 cm dengan periode 1-2 detik. Pada bulan April-Agustus ini sangat mendukung untuk melakukan penyelaman.

Pada musim Barat Laut tinggi gelombang berkisar antara 0,5 -1,5 meter. Namun kadang-kadang mencapai tinggi 2 meter terutama pada bulan Januari/Pebruari di Perairan Utara Pulau Bangka. Saat Musim Tenggara tinggi gelombang berkisar antara 0,5 -1,5 meter. Kadang-kadang mencapai lebih dari 2 meter terutama pada bulan Juli-September di perairan Selatan Pulau Bangka. Dengan adanya ketidakpastian kondisi gelombang pada musim-musim ini, maka aktivitas penyelaman harus memilih waktu yang sekiranya kondisi gelombang mendukung dilakukannya wisata penyelaman. Berdasarkan parameter fisik perairan dari hasil penelitian-penelitian yang pernah dilakukan, seperti perairan sekitar Pulau Lepar dan Pulau Pongok (Pulau Liat) dapat dikategorikan cukup aman dan nyaman untuk wisata bahari.

Kapal Tenggelam
Situs Batumandi
Lokasi kapal berada di koordinat 2o52’304 LU dan 107o00’276” BT. Lokasi di dekat karang yang bernama Batu mandi sehingga dinamakan Situs Batumandi. Kapal terbuat dari besi dengan kondisi sebagian besar telah rusak. Orientasi kapal ke arah Timur Laut. Reruntuhan kapal menyisakan bagian yang masih berdiri tegak di bagian lambung kiri dan haluan. Bagian dinding lambung yang berdiri tegak panjangnya 45 meter dan tingginya 8 meter. Dari dinding lambung sebelah kiri ini dapat diketahui bahwa dinding yang menuju haluan bertingkat semakin tinggi berjumlah 2 undakan. Sementara itu dinding lambung sebelah kanan di bagian depan dan tengah kapal dalam posisi miring sehingga menyerupai ceruk memanjang di dasar laut. Dinding lambung di bagian tengah yang miring masih tersisa panjangnya 17 meter. Pada sisi kanan ini dijumpai dua buah tiang yang besar dan panjang dalam kondisi rebah di dasar laut. Tiang yang rebah tersebut dalam posisi berdampingan. Salah satu tiang panjangnya 10 meter. Dinding lambung sebelah kanan ini mengalami kerusakan yang parah dibandingkan lambung kiri dikarenakan bagian tersebut yang menghantam karang batu mandi. Selain itu runtuhnya tiang kapal menyebabkan dinding lambung menjadi miring.

Bagian lain yang mengalami rusak parah adalah bagian geladak dan buritan. Bagian geladak telah terlepas dari dinding lambung dan miring ke sebelah kanan mengikuti arah dinding nambung kanan yang miring. Pada bagian geladak ini masih dijumpai besi-besi gading yang menyangga.lempengan besi sebagai lantainya. Sebagian besar lantai geladak itu telah tertutup oleh tumbuhan karang. Sementara itu bagian buritan telah mengalami kerusakan yang paling parah. Di lokasi juga ditemukan bongkahan batu bara dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Hal ini mengindikasikan bahwa kapal tersebut menggunakan batu bara sebagai bahan bakar.

Situs Karanglucan
Lokasinya berada di koordinat 2o52’027” LU dan 107o00’079” BT. Kapal II di sebelah Barat dari kapal I berjarak 200 meter. Kapal berada di lokasi yang bernama Karang Lucan. Dengan demikian lokasi kapal dinamakan Situs Karanglucan. Kondisi kapal ini lebih cukup baik dibandingkan dengan kapal I. Sebagian besar besi-besinya masih tampak dan belum ditutupi oleh karang. Hal itu menunjukkan bahwa kapal II ini lebih muda usianya daripada kapal I.

Kapal II tenggelam di dasar laut dalam posisi tertelungkup. Kapal terbelah dibagian tengah. Sebagian besar bagian kapal yang terbuat dari besi masih utuh kecuali bagian buritan yang telah terpotong-potong dikarenakan adanya pengambilan besi kapal. Orientasi kapal ke arah Timur Laut. Kapal diperkirakan panjangnya 53,30 meter. Pengukuran dibagian kapal yang terbelah adalah 12 meter. Pada sisi kanan kapal terdapat tiang yang runtuh ke dasar laut. Panjang tiang adalah 17,40 meter. Pada bagian ujung tiang tersebut terdapat pula tiang yang runtuh dengan panjang 11 meter. Bagian buritan juga terbelah cukup lebar dan menyisakan dinding yang berdiri tegak. Pada bagian dinding tersebut dijumpai lubang-lubang berbentuk lingkaran. Pada lokasi belakang kapal ini juga terdapat runtuhan sebuah tiang yang diameternya sama dengan tiang dibagian tengah. Bagian buritan ini mengalami kerusakan yang cukup parah antara lain disebabkan adanya pengambilan besi oleh penduduk. Aktivitas pengambilan besi kapal terhenti ketika dilakukan survei. Namun lokasi kapal telah ditandai dengan tali pelampung di tiga titik, yaitu bagian haluan, tengah, dan buritan.

Kapal dan Kecelakaan Laut
Kapal tenggelam di Situs Batumandi menunjukkan kondisi kapal yang lebih tua daripada di Situs Karanglucan. Pada kapal telah banyak ditumbuhi oleh karang-karang. Seperti kita ketahui bahwa pertumbuhan karang memerlukan waktu yang sangat lama. Dengan demikian karang-karang yang banyak tumbuh di kapal Situs Batumandi menunjukkan tenggelamnya kapal yang telah berlangsung lama. Adapun mengenai penyebab tenggelamnya kapal tersebut diduga akibat menabrak karang. Pengamatan haluan kapal menunjukkan bahwa kapal hendak menuju ke Utara. Berdasarkan peta terlihat bahwa di antara Pulau Lepar dan Pulau Pongok terdapat laut dalam dengan kedalaman lebih dari 50 meter. Namun di sekeliling Pulau Pongok terdapat laut dangkal antara 10-30 meter. Posisi kapal yang tenggelam di kedalaman 20 meter dengan orientasi timur laut menunjukkan bahwa kapal bergerak mendekati Pulau Pongok yang berkedalaman 20 meter. Akhirnya terjadi musibah menabrak karang yang disebut Batu Mandi. Karang Batu Mandi ini tampaknya telah merobek lambung kanan kapal. Hal itu tampak dari rusak parahnya lambung kanan dibandingkan dengan Lambung kiri yang masih berdiri tegak. Lambung kanan kapal sekarang posisinya dalam miring. Di sisi kanan tersebut juga dijumpai tiang-tiang kapal yang memanjang dengan barat-timur. Sementara bagian haluan masih berdiri tegak. Pemandangan di kapal tenggelam tersebut cukup menarik karena situasi kapal yang masih cukup utuh dan juga karang-karang dan ikan yang hidup di sekitarnya.
-->Sementara itu kapal tenggelam di Situs Karanglucan yang berjarak sekitar 200 meter di sebelah barat kapal di Situs Batumandi menunjukkan peristiwa yang hampir sama. Kapal yang seharusnya bergerak ke Utara tetapi melenceng ke Timur Laut. Akibatnya kapal memasuki perairan dengan kedalaman kurang dari 20 meter. Kecelakaan yang terjadi menyebabkan kapal terbalik dan tertelungkup di dasar laut. Kecelakaan itu juga menyebabkan kapal terbelah dua. Kapal yang tenggelam itu diperkirakan berjenis kapal barang karena kondisi kapal yang tertelungkup dalam posisi rata dibagian depan. Namun dibagian belakang yang diperkirakan terdapat anjungannya tampak reruntuhannya lebih tinggi. Pada sisi kiri kapal ditemukan tiang-tiang yang panjang dan berdiameter cukup besar. Di lokasi kapal terdapat sedikit karang. Hal itu menunjukkan bahwa pertumbuhan karang belum lama berlangsung di badan kapal. Namun dengan kondisi kapal yang cukup utuh dengan jarak pandang yang cukup jauh dan dasar laut yang berpasir sangat menarik untuk penyelaman.

Berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh antara lain tiang-tiang dan juga batu bara , maka diperkirakan bahwa kedua kapal berasal dari masa penggunaan batu bara sebagai bahan bakarnya. Penggunaan batu bara sebagai bahan bakar menggantikan kayu bakar terjadi setelah terjadinya revolusi industri. Jenis kapal itu masih menggunakan tiang-tiang tinggi dan dilengkapi dengan layar cadangan untuk mengantisipasi bila bahan bakar pada tungku habis. Kapal-kapal tersebut diduga dimiliki oleh pihak asing yang melakukan pelayaran sebelum masa sebelum kemerdekaan. Pada masa itu perairan Indonesia masih dikuasai oleh Belanda dan Indonesia sendiri belum memiliki kapal laut.
--> Potensi dan Keterancaman
Kapal-kapal yang tenggelam di sebelah barat Pulau Pongok hanya berjarak sekitar 900 meter dari pelabuhan. Lokasinya berada di antara Pulau Pongok dan Pulau Lepar. Di lokasi tersebut juga ditemukan lima kapal lain yang telah disurvei oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Dengan demikian semuanya berjumlah tujuh kapal tenggelam. Berdasarkan hal tersebut maka sudah barang tentu lokasi itu mempunyai potensi yang sangat besar yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pelestariannya. Bukan saja pelestarian terhadap kapalnya tetapi juga terhadap lingkungan bawah airnya. Karena kapal-kapal tenggelam umumnya menjadi rumah bagi ribuan ikan dan tumbuhnya berbagai jenis karang. Kapal-kapal yang tenggelam di perairan Pongok telah mengalami perusakan yang dilakukan oleh nelayan pongok sendiri. Perusakan berupa pengambilan bagian-bagian kapal dengan cara memotongnya menjadi bagian-bagian kecil dan kemudian menjualnya. Pada saat itu kami masih menyaksikan aktivitas yang terjadi di kapal yang berada di Situs Karanglucan. Pada bagian depan, tengah, dan belakang kapal diberi pelampung yang diikat dengan tali untuk menandai posisi kapal. Sementara di dasar laut terdapat pipa paralon, linggis, selang berukuran besar, palu yang digunakan untuk memotong dan mengangkat besi dari dasar laut. Bagian belakang kapal di Situs Karanglucan sebagian besar sudah tidak ada lagi. Aktivitas tersebut tampaknya akan terus berlanjut karena kapal di karanglucan berukuran besar dan masih jelas terlihat karena belum tertutup oleh karang-karang. Besinya pun tampak belum rapuh. Hal itu berbeda apabila dibandingkan dengan kapal di situs Batumandi.

Permasalah pengambilan besi tua dari kapal yang tenggelam merupakan masalah besar yang dapat menghilangkan keberadaannya. Lambat laun mereka akan lenyap dari dasar laut. Tingginya kegiatan pengambilan besi disinyalir karena tingginya harga besi tua dipasaran sehingga mendorong banyaknya nelayan yang bekerja tambahan dengan mengambil besi dari kapal-kapal yang tenggelam. Hal lain karena tidak adanya perlindungan dari aparat desa setempat dengan membiarkan warganya melakukan kegiatan itu. Mereka kadang-kadang tidak menghiraukan keselamatan dirinya sendiri. Penyelaman dilakukan dengan berbekal tabung kompresor yang biasa dipakai untuk mengisi ban kendaraan dan selang yang panjang sebagai alat bantu pernapasan. Bahkan mereka berani melakukan di kedalaman 30-40 meter. Berita kematian telah sering terdengar dari para nelayan yang melakukan aktivitas penyelaman yang berbahaya tersebut. Selain potensi ancaman yang disebabkan oleh ulah manusia, potensi ancaman lain yang dapat menyebabkan hilangnya kapal adalah proses interaksi dengan lingkungannya, antara lain seperti proses penuaan secara alamiah yang dapat menyebabkan proses degradasi atau pelapukan dari sifat-sifat alami dari bahan kapal itu sendiri yang disebabkan oleh garam-garam terlarut yang merupakan faktor pemacu dari proses pelapukan.

Share:

CANDI MUARAJAMBI











 Lokasi
Candi ini terletak lebih kurang 27,5 kilometer dari Kota Jambi. Secara administratif berada di Desa Muaro Jambi, Kecamatan Marosebo, Kabupaten Muaro Jambi. Sedangkan secara astronomis terletak pada 103º22’ - 103º45’ Bujur Timur dan 1º24’ - 1º33’ Lintang Selatan. Luas candi Muarajambi lebih kurang 2062 hektar menempati bentang lahan mengikuti alur tepian sungai Batanghari sepanjang 7,5 kilometer

Latar Sejarah
Informasi tertua yang berhubungan dengan daerah Jambi ditemukan pada Naskah Berita Dinasti Tang (618-906 M) yang menyebutkan kedatangan utusan Kerajaan Mo-lo-yue ke Cina pada tahun 644 M dan 645 M. Begitu pentingnya Negeri Mo-lo-yue sehingga seorang pendeta I-Tsing menyempatkan singgah selama 2 bulan untuk memperdalam agama sebelum melanjutkan perjalanannya ke India. Ketika beliau kembali dari India dikatakan Mo-lo-yue tahun 692 telah menjadi bagian Shih-li-fo-shih (Sriwijaya). Suatu keadaan yang ditafsirkan terkait erat dengan Prasasti Karangbrahi (686 M) yang ditemukan di wilayah Jambi hulu.

Nama Jambi sendiri diidentifikasikan dari berita Cina pada tahun 853 dan 871, menyebut kedatangan misi dagang dari Chan-pi atau Pi-chan. Berita Dinasti Sung (960-1279 M) menyebutkan bahwa Chan-pi merupakan tempat bersemayamnya Maharaja San-fo-tsi (Sriwijaya), rakyatnya tinggal pada rumah-rumah panggung di tepi sungai. Raja dan para pejabatnya bermukim di daratan. Sekitar awal abad ke-11 Masehi Chan-pi menobatkan raja di negerinya sendiri dan mengirim utusan ke Cina pada tahun 1079, 1082, serta 1088 M sebagai pemberitahuan bahwa Chan-pi telah menjadi negeri yang berdaulat.

Nama Melayu kembali muncul pada abad ke-13 Masehi dalam Kitab Pararaton dan Nagarakertagama yang menyebutkan bahwa Raja Singhasari bernama Kertanagara mengirimkan Ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275 M. Ekspedisi ini bertujuan untuk menjalin pertahanan bilateral antara Singhasari dan Melayu melawan serangan Mongol. Dalam Kitab Nagarakertagama nama Melayu juga disebutkan sebagai sebuah region di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 Masehi.

Sejarah penemuan, Penelitian dan Pelestarian
Situs Muarajambi pertama kali diketahui keberadaaanya dari seorang perwira Inggris bernama S.C. Crooke pada tahun 1820. Penemuan ini terjadi saat ia sedang melakukan kunjungan ke daerah-daerah pedalaman Batanghari guna melakukan survei pemetaan aliran Sungai Batanghari. Crooke sempat menyaksikan reruntuhan bangunan-bangunan dari bata dan arca batu. Ia mengatakan bahwa sejumlah penduduk menganggap bahwa reruntuhan di Muarajambi tersebut pernah menjadi ibukota dari sebuah kerajaan kuno (Anderson, 1971: 398).

Sekitar setengah abad setelah penemuannya, Muarajambi kembali dilaporkan oleh sebuah tim ekspedisi Belanda bernama Expedition Midden Sumatera yang memasukkan Muarajambi dalam daftar daerah yang dikunjunginya. Sayangnya hingga kini laporan tim tersebut belum pernah ditemukan. Pada yahun 1921 dan 1922 kembali nama Muarajambi disebut-sebut yakni ketika T. Adams menerbitkan catatannya dalam majalah Oudheidkundig Verslag. Kunjungan berikutnya dilakukan oleh F. M. Schnitger pada tahun 1935 yang menyebutkan bahwa sedikitnya ada tujuh bangunan kuno di Muarajambi yakni Stano, Gumpung, Tinggi, Gedong I, Gedong II, Gudang Garem, dan Bukit Perak. Selain itu Schnitger juga melakukan serangkaian penggalian pada bangunan-bangunan kuno tersebut kecuali di Candi Astano (Schnitger, 1935: 12-13). Sayangnya penelitiannya ini tidak diikuti dengan dokumentasi lengkap sehingga banyak informasi yang diperoleh tidak ditulis dalam laporan.

Pada tahun 1954 sebuah tim yang diketuai oleh R. Soekmono melakukan inventarisasi kepurbakalaan di Sumatera, terutama kepurbakalaan di Muarajambi. Tempat-tempat yang dikunjungi antara lain Candi Astano, Gumpung, Tinggi. Penelitian arkeologis dalam arti sesungguhnya baru diadakan pada tahun 1981 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, walaupun sebelum itu beberapa ahli dari lembaga yang sama telah mengunjungi Situs Muarajambi.

Selain penelitian, kegiatan lain yang dilakukan untuk pelestarian dan pengembangan situs Muarajambi adalah pemugaran. Pertama kali diadakan pada tahun 1976 dengan kegiatan berupa pembersihan kompleks percandian untuk membebaskannya dari tumbuhan hutan yang berada di atasnya. Pada waktu itu candi-candi di Muarajambi masih tertimbun tanah yang ditutupi oleh tumbuh-tumbuhan. Dilanjutkan dengan pemugaran oleh Ditlinbinjarah yang dimulai pada tahun 1978 dengan candi Tinggi sebagai objek utama dan selesai pada tahun 1987. pemugaran selanjutnya dilakukan pada Candi Gumpung yang dilaksanakan pada tahun 1982 s.d. 1988, Candi Astano dari tahun 1985 s.d. 1989, Candi Kembarbatu dari tahun 1991 s.d. 1995, Candi Gedong I mulai tahun 1996 s.d. 2000, dan terakhir adalah Candi Gedong II yang dilaksanakan pada tahun 2000 s.d. 2004, serta pada tahun anggaran 2005 pemugaran Candi Tinggi II mulai dilaksanakan dengan pekerjaan pertama adalah pengupasan.

Tinggalan Arkeologis
Situs ini tersebar pada areal yang berada di atas tanggul alam sepanjang 7,5 kilometer dengan luas lebih kurang 12 kilometer persegi. Merupakan sebuah dataran sempit yang dibatasi oleh rawa-rawa di sebelah utara dan Sungai Batanghari di sebelah Selatan. Daerahnya diapit oleh tiga buah parit dan sebuah sungai kecil. Ketiga parit tersebut adalah Sekapung, Buluh, dan Johor, sedangkan sungai kecil bernama Sungai Jambi.

Sampai kini tinggalan yang ditemukan di kawasan Situs Percandian Muarajambi mencapai lebih dari 85 buah. Duabelas di antaranya merupakan bangunan yang sudah dapat diidentifikasi sebagai kompleks candi. Penggunaan istilah kompleks digunakan di sini karena pada umumnya candi di situs ini ditemukan bukan merupakan sebuah bangunan, namun merupakan sebuah sistem yang terdiri dari bangunan induk, satu atau lebih bangunan pendamping (perwara), tembok keliling dengan pintu masuk (gapura) serta kadang-kadang parit keliling. Diantaranya yakni Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong II, Gedong I, Gumpung, Tinggi, Kembarbatu, Astano, Teluk I, Teluk II, Sialang, dan Tinggi II, serta sebuah kolam kuno yang dikenal dengan sebutan Telagorajo. Tinggalan lain berupa menapo atau gundukan tanah yang di dalamnya berisi struktur bata. Selain itu beraneka ragam artefak kuno yang merupakan temuan-temuan lepas yang mempunyai keterkaitan dengan keberadaan candi-candi di Muarajambi. Temuan tersebut antara lain berupa arca, lapik arca, lesung, belanga perunggu, gong perunggu, lempengan emas yang berisi mantra-mantra, keramik, manik-manik, bandul jaring, benda-benda perlengkapan upacara, dan perhiasan.

Pada umumnya candi di Sumatera dibuat dengan menggunakan bahan bata yang ukurannya lebih besar dari bata sekarang. Namun demikian penggunaan batu juga ditemukan, terutama pada beberapa unsur bangunan seperti pada sudut-sudut bangunan yang rentan terhadap daya tekan besar. Dari hasil penelitian terhadap bangunan candi dapat diketahui bahwa cukup banyak bangunan candi di Muarajambi yang dibangun lebih dari satu kali, ada yang dua kali, bahkan ada yang sampai tiga kali. Mengingat peninggalannya berupa kompleks percandian, maka situs Muarajambi dapat dikatakan sebagai situs keagamaan. Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan, antara lain berupa Arca Dewi Prajnaparamitha, wajra (sebuah alat keagamaan berujung empat dan terbuat dari logam) dan rancangan kompleks percandian yang didasari konsep makrokosmos dan mikrokosmos dapat diketahui aliran agama yang melatari Situs Muarajambi adalah agama Budha Mahayana.

Selain merupakan situs keagamaan, Situs Muarajambi juga merupakan situs pemukiman. Hal ini ditandai dengan adanya temuan-temuan yang berkaitan dengan aktivitas keseharian manusia yang telah menetap dan berintegrasi dengan lingkungannya dalam jangka waktu yang lama di lokasi tersebut. Misalnya temuan berupa keramik lokal dan asing yang ditemukan dalam jumlah besar di dalam maupun di luar kompleks percandian. Penelitian arkeologis di Muarajambi telah menempatkan kronologi relatif situs ini pada abad 9-14 Masehi. Rentang masa itu merupakan bagian dari masa pemerintahan Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya di Sumatera.
 
Pengembangan dan Pemanfaatan
Pemanfaatan dan pengembangan Kawasan Situs Percandian Muarajambi ini diarahkan pada bidang antara lain:
- Ilmu Pengetahuan
- Pendidikan
- Kebudayaan
- Pariwisata
- Agama
- dan Sosial

Saat ini Kawasan Situs Percandian Muarajambi telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya dengan Nomor: 31/C1/JB/99 tertangal 26 Januari 1999 dan sebagai Benda Cagar Budaya dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 045/M/2000 tertanggal 30 Maret 2000. Sebagai Benda Cagar Budaya yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan sudah tentu kita wajib menjaganya bersama. Anda dapat berpartisipasi menyelamatkannya dengan tidak merusak bangunan bersejarah ini. Bantulah candi ini untuk memenuhi keinginannya “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”



Share:

BENTENG MARLBOROUGH (1714-1719)


Lokasi
Benteng Marlborough berdiri kokoh di tepi laut di atas sebuah dataran dengan ketinggian lebih kurang 8,5 meter di atas permukaan laut (dpl). Secara administratif benteng ini terletak di Desa Kebon Keling, Kelurahan Kampung Cina, Kecamatan Teluk Segara, Kota Bengkulu, Propinsi Bengkulu.

Bagian luar benteng dikelilingi parit dan tanggul, namun pada bagian depan dan belakang sudah tidak tampak lagi hanya berupa tanah yang agak rendah dan bekas bangunan yang telah dibongkar. Sisi luar parit keliling yang merupakan tanggul kini dibuatkan jalan setapak selebar kurang lebih 1 meter. Dari jalan setapak ini masih terdapat halaman yang dibatasi oleh pagar besi yang mengelilingi benteng yang menjadi pembatas antara benteng dengan lingkungan luar.

Lingkungan di luar pagar benteng berbatasan dengan jalan raya, yaitu pada sebelah timur berbatasan dengan jalan Benteng, (dahulu Jalan Burniat), berlanjut dengan pertigaan yang merupakan ruas Jalan Khodijah dan Taman Tapak Paderi dengan latar pemukiman penduduk dan tepat pada sudut pertigaan jalan terdapat sekolah. Di sebelah barat berbatasan dengan Jalan Jenderal A. Yani dan pertokoan serta pecinan, termasuk bekas Gedung Pengadilan, sebelah utara Jalan Jenderal A. Yani dan Pelabuhan Lama (obyek wisata Pantai Bai), dan sebelah selatan Jalan Benteng dan perumahan masyarakat Kelurahan Kebun Keling

Latar Belakang Sejarah
Kedatangan Bangsa Eropa ke Bengkulu seperti juga ke daerah lain, pada mulanya untuk berhubungan dagang. VOC datang pada tahun 1604 dan mendirikan kantor pelelangan, kemudian pergi pada tahun 1670. Sedangkan Inggris melalui EIC (East India Company) datang pada tahun 1685 dan mengadakan perjanjian dengan Kerajaan Selebar. Kolonial Inggris berkuasa di Bengkulu selama 140 tahun terhitung mulai dari tahun 1685 dan berakhir pada tahun 1825 dengan adanya perjanjian London (Treaty of London) yang berisi penyerahan daerah kekuasaan Inggris kepada Belanda. Dalam rentang waktu tersebut, Inggris membangun sarana dan prasarana untuk menunjang imperialismenya di Bengkulu. Sarana dan prasarana yang dibangun antara lain garnizun, loji, gudang, jalan, pelabuhan, perkantoran dan benteng-benteng pertahanan. Salah satu benteng yang dibangun adalah benteng Marlborough. Pemberian nama Marlborough adalah sebagai penghormatan kepada John Churchil yang bergelar Duke of Marlborough I.

Pembangunan benteng Marlborough dimaksudkan sebagai benteng pertahanan untuk mempertahankan kekuasaan Inggris di kawasan pantai barat Sumatera dari ancaman Belanda. Selain itu juga dimaksudkan untuk mempertahankan daerah Bengkulu sebagai daerah monopoli lada dan pusat perdagangan.

Pembangunan benteng diprakarsai oleh Gubernur Yoseph Collet (1712-1716). Awal pembangunannya dimulai pada tahun 1713 dan selesai tahun 1719, dalam rentang waktu tersebut tercatat nama-nama penguasa Inggris yang mempunyai andil dalam pembangunan benteng tersebut, antara lain Yoseph Collet (1712-1716), Thiophillus Shyllings (1716-1717), Richard Former (1717-1718) dan Thomas Cooke (1718).

Fungsi Benteng Marlborough sebagai benteng pertahanan terus berlanjut pada periode berikutnya, yaitu oleh pihak Belanda (1825-1942), Jepang (1942-1945) dan oleh tentara Republik Indonesia pada masa perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Benteng yang masih berdiri kokoh sampai sekarang ini merupakan monumen perjuangan rakyat Bengkulu dalam menuntut keadilan dan kebebasan dari penjajah.

Arsitektur Bangunan
Benteng Marlborough berdiri di atas lahan seluas 44.100,5 meter2 dengan panjang 240,5 m dan lebar 170,5 m, dengan orientasi 215 derajat ke arah barat daya. Benteng Marlborough berbentuk kura-kura dengan arah hadap kepala ke barat daya, sedangkan pintu masuk benteng lebih mengarah ke barat, yaitu sisi mata kanan kura-kura dengan pintu masuk dan jembatan yang menghubungkan jalan masuk dengan bagian luar.

Pada bagian kepala dan badan dihubungkan dengan jembatan yang membentuk bagian leher. Pada bagian belakang benteng terdapat pintu masuk dari belakang dan sebuah jembatan di atas parit yang membentuk bagian ekor. Ketiga jembatan itu pada masa awalnya sewaktu-sewaktu dapat diangkat dan diturunkan. Disekeliling benteng dari batas terluar dinding masih terdapat batas-batas asli berupa parit-parit.

Pada bagian dalam benteng terdapat beberapa bangunan memanjang yang pada awalnya difungsikan sebagai gudang persenjataan, tempat tahanan dan perkantoran serta ruang terbuka yang merupakan halaman bagian dalam. Secara keseluruhan bentuk ba-ngunan yang berdenah kura-kura merupakan ciri khas benteng-benteng di Eropa. Bagian kepala kura-kura berfungsi sebagai pintu masuk benteng, sedangkan badan kura-kura berfungsi sebagai benteng dan keempat kakinya berfungsi sebagai bastion.

Benteng ini dibangun dengan menggunakan campuran kapur, pasir, dan semen merah. Tinggi dinding benteng bagian luar 8,65 m, tebal 3 m dan tinggi bagian dalam 8,50 m, tebal 1,85 m. Bangunan benteng terdiri atas delapan bangunan yaitu :
a. Bangunan kepala kura-kura
(panjang 60 m dan lebar 40,40 m)
b. Bangunan kaki kura-kura bagian selatan
(panjang 50,90 m dan lebar 50,60 m);
c. Bangunan kaki kura-kura bagian timur
(panjang 50,90 m dan lebar 50,10 m)
d. Bangunan kaki kura-kura bagian utara
(panjang 70,20 m dan lebar 40,60 m);
e. Bangunan kaki kura-kura bagian barat
(panjang 50,40 m dan lebar 50,10 m);
f. Bangunan timur laut
(panjang 50,20 m dan lebar 6,80 m);
g. Bangunan tenggara
(panjanng 60 m dan lebar 6,80 m);
h. Bangunan barat laut
(panjang 61 m dan lebar 6,80 M).

Tiap-tiap bangunan mempunyai ruangan-ruangan yang berfungsi sebagai tempat tahanan, gudang persenjataan, perlengkapan dan kantor. Pada tiap kaki kura-kura (bastion) terdapat beberapa pucuk meriam baik berukuran besar maupun berukuran kecil dan pada bagian bawah bangunan kaki kura-kura bagian utara terdapat terowongan yang berukuran panjang 6 m dan lebar 2 m. Dalam bangunan terdapat lubang perlindungan yang dipergunakan sebagai jalan keluar dari kepungan musuh. Bagian tengah benteng terbuka tanpa atap, sedang lantainya terbuat dari ubin, batu kali atau karang sedang atap terbuat dari genteng. Pintu gerbang dan pintu-pintu ruangan lainnya terbuat dari kayu yang diberi penguat berupa pasak-pasak besi. Sedang ruang tahanan menggunakan terali besi.

Pada bagian belakang pintu benteng terdapat tiga buah bangunan makam, yaitu makam Thomas Parr, Charles Muray dan satu makam tak dikenal. Selain ketiga makam tesebut terdapat pula empat buah prasasti nisan berbahasa Inggris yang ditempelkan pada dinding gerbang pintu masuk dari belakang yang bertuliskan : George Thomas Shaw yang meninggal tanggal 25 April 1704, Richard Watts yang meninggal 17 Desember 1705 dalam usia 44 tahun, Henry Stirling yang meninggal pada bulan April 1744 dalam usia 25 tahun dan Capt. James Coney yang meninggal Februari 1737 dalam usia 36 tahun.

Riwayat Pelestarian
Dalam upaya melestarikan dan melindungi bangunan benteng dari kemungkinan terjadinya kerusakan, pada tahun anggaran 1977/1978 sd. 1983/1984 dilakukan pemugaran oleh Proyek Pembinaan dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bengkulu. Pemugaran meliputi bagian kepala kura-kura, kaki kura-kura barat dan utara, jembatan (tiang dinding pengaman), pembuatan pintu dan jendela serta pertamanan. Pada tahun 1984 dilakukan peresmian purnapugar Benteng Marlborough oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Prof. Dr. Haryati Soebadio.

Upaya pemeliharaan selanjutnya dilakukan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi Wilayah Kerja Propinsi Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Bangka Belitung bekerja sama dengan Proyek Pembinaan dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bengkulu. Meliputi penunjukan juru pelihara pada tahun 1994, penataan kembali pertamanan benteng pada tahun 1992, konservasi meriam benteng pada tahun 1997 dan pengangkatan Satuan Pengamanan (SATPAM) tahun 1998.

Selain itu untuk menunjang terlaksananya pelestarian bangunan dan lingkungannya dengan lebih maksimal juga dilakukan pemintakatan situs dan evaluasi kondisi keterawatan pasca pemugaran oleh Bagian Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Bengkulu pada tahun 1997/1998. Pemugaran selanjutnya dilakukan oleh Proyek Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jambi dari tahun anggaran 2002 sd. 2004.

Penutup
Keberadaan Benteng Marlborough sebagai benda cagar budaa harus tetap dipertahankan karena mengingat peranannya di masa lalu. Pada masa lalu benteng ini merupakan salah satu bukti sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Selain itu benteng dan kawasan lingkungan pemukiman yang melingkupinya menunjukkan adanya ciri arsitektur yang khas. Kekhasan ini tampak dari gaya arsitektur bangunan yang memperlihatkan suatu ciri kawasan kota yang pernah mendapatkan pengaruh beragam, yaitu mulai dari pengaruh Inggris, Belanda, dan Jepang serta masa perjuangan kemerdekaan. Dengan adanya ciri khas ini, maka benteng Marlborough menjadi salah satu aset wisata budaya andalan bagi Propinsi Bengkulu.

Share:

Profile

Foto saya
AGUS SUDARYADI, arkeolog yang bekerja di Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi Wilayah Kerja Prop. Jambi, Sumsel, Bengkulu, dan Kep. Bangka-Belitung yang sering melakukan Jelajah Situs dalam rangka Pelestarian Cagar Budaya. Menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Situs adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. Pekerjaan tersebut memberikan saya kesempatan untuk menjelajahi pelosok negeri di Propinsi Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Kepulauan Bangka-Belitung. Pelosok karena lokasi yang kami datangi kebanyakan berada di luar kota, bahkan sampai masuk hutan. Maklum Cagar Budaya atau Diduga Cagar Budaya yang saya tuju sekarang berada di daerah yang jauh dari kota. Kegiatan yang memerlukan stamina dan mental yang kuat adalah dalam rangka pelestarian Cagar Budaya Bawah Air. Saya telah mengikuti pelatihan Arkeologi Bawah Air di dalam dan luar negeri, antara lain Makassar Sulsel, Pulau Bintan Kepri, Tulamben Bali, dan Karimunjawa Jateng serta Thailand dan Sri lanka.

Popular Posts

Recent Posts

Pages