Pendahuluan
Candi merupakan hasil
kebudayaan berupa bangunan yang
berasal dari masa Hindu-Budha di Indonesia. Sebarannya berada di Sumatera,
Jawa, Bali, dan Kalimantan. Salah satu candi yang ditemukan di Sumatera adalah
Candi Jepara. Lokasinya di Desa Jepara,
Kecamatan Buay Pematang Ribu Ranau Tengah, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU)
Selatan, Provinsi Sumatera Selatan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai
Batu Kebayan. Candi Jepara sampai sekarang merupakan satu-satunya candi yang
terbuat dari batu di Provinsi Sumatera Selatan, bahkan Pulau Sumatera. Candi-candi lain umumnya terbuat dari bata.
Candi Jepara sejak dilaporkan pada tahun 1885 dalam kondisi runtuh. Batu-batu
berjumlah satu hingga dua lapis masih dalam posisinya. Sementara batu lainnya
tergeletak tidak jauh dari lokasinya semula.
Kegiatan dalam rangka penelitian dan pelestarian telah banyak
menghasilkan laporan dan tulisan. Pelestarian Candi Jepara telah dilakukan
semenjak sebelum berdirinya Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi yang
sebelumnya bernama Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP). Pada saat
itu pengangkataan juru pelihara menjadi tanggungjawab Bidang Museum dan
Purbakala (Muskala) Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi
Sumatera Selatan. Sejak tahun 1990 menjadi tanggung jawab SPSP Jambi. Upaya untuk pemugarannya telah dimulai dengan
kegiatan Studi Kelayakan pada tahun 2003. Namun langkah selanjutnya yang berupa
kegiatan Studi Teknis baru dilakukan pada tahun 2011. Pemugaran Candi Jepara menjadi tertunda
dikarenakan adanya pemugaran di Kompleks Percandian Muarajambi dan masih
perlunya dilakukan kajian. Pada tahun ini dapat dilakukan kajian teknis pemugaran
dengan mengikutsertakan dua tenaga berpengalaman di bidang pemugaran candi batu
yang berasal dari BPCB Jawa Tengah. Diharapkan dengan berakhirnya kajian
pemugaran ini, maka data arkologis dan teknis yang terkumpul dapat memantapkan
diadakannya pemugaran. Dengan demikian harapan masyarakat dan pemerintah daerah
untuk bisa memanfaatkannya sebagai objek budaya dan wisata bersama Danau Ranau
dapat tercapai.
-->
2. Letak
dan Lingkungan
Candi
Jepara secara administratif terletak di Lokasinya di Desa Jepara, Kecamatan
Buay Pematang Ribu Ranau Tengah, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan,
Provinsi Sumatera Selatan. Secara astronomis berada di 04o49’40,3” Lintang
Selatan dan 103o59’12,7” Bujur
Timur.
Candi
Jepara dapat ditempuh dengan jalan darat dari Palembang menuju Kota Muaradua
yang merupakan kota Kabupaten OKU Selatan. Perjalanan tim melalui Kota Prabumulih mendapati jalan
yang tidak seluruhnya mulus. Sementara perjalanan menuju Kota Baturaja
mendapati jalan yang rusak dibeberapa tempat. Kerusakan yang lebih parah
terjadi pada perjalanan dari Kota Martapura ke Kota Muaradua. Pada saat
kegiatan ini dilakukan memang jalan-jalan di Provinsi Sumatera Selatan banyak
yang mengalami kerusakan. Kemungkinan hal itu disebabkan sebelumnya telah
dilaksanakan perhelatan besar Asian Games XVIII tahun 2018 yang menyedot
anggaran cukup besar.
Kabupaten
OKU Selatan dengan Ibukotanya Muaradua merupakan pemekaran dari Kabupaten Ogan
Komering Ulu (OKU) yang diresmikan pada 16 Januari 2004. Lokasinya berada di
ujung Barat Daya berbatasan dengan
Provinsi Lampung. Kondisinya jalannya nampaknya belum mendapat perhatian
dari pemerintah Provinsi. Jalan yang menghubungkan Muaradua, baik dengan
Baturaja maupun Martapura rusak dan sempit. Berbeda halnya dengan jalan lintas
tengah yang menghubungkan Baturaja dan Martapura cukup mulus dan lebar.
Perjalanan dari Muaradua ke Candi Jepara dengan kondisi
jalan yang sempit tetapi dengan kondisi yang lebih baik. Kami menduga hal itu
disebabkan jalan tersebut menuju objek wisata Danau Ranau atau Kota Liwa di
Provinsi Lampung. Rute menuju Candi Jepara dari Muaradua akan bertemu
dengan Simpang Sender yang merupakan
simpang tiga menuju Danau Ranau dan Liwa, Provinsi Lampung. Kedua arah tersebut
dapat dipilih untuk sampai ke Candi Jepara. Arah Danau Rinau akan melalui Desa
Banding Agung yang berada di tepi danau. Pilih jalan yang menuju ikon Danau
Ranau di tepian danau dan lanjutkan menyusuri pinggiran danau hingga tiba simpang
Desa Jepara. Namun sebelum itu akan melalui Pantai Pelangi yang berpasir dan
air bening dari Danau Ranau. Suasananya cukup indah dengan pemandangan Gunung
Seminung di depannya. Jalan melalui tepian danau ini berupa jalanan yang sempit
dengan kondisi datar dan menanjak hingga memerlukan kehati-hatian.
Rute
yang menuju Liwa di Provinsi Lampung lebih nyaman karena kondisi jalan yang
lebar dan mulus. Namun pemandangannya tidak seindah melalui tepian Danau Ranau.
Setelah melalui Simpang Sender akan bertemu dengan Desa Hangkusa dimana di
sebelah kanan jalan terdapat simpang menuju Desa Jepara. Perjalanan lanjut
hingga menemukan Kantor Kepala Desa dan terus melalui jalan di depannya. Ada
baiknya juga apabila bertanya kepada penduduk arah menuju Batu Kebayan. Bagi
yang merencanakan menginap setelah kunjungan ke Candi Jepara, bisa memilih
penginapan sekitar Danau Ranau di Desa Banding Agung agar dapat menikmati pemandangan alam yang telah
disebutkan di atas.
Candi
Jepara berada di tengah-tengah kebun kopi. Tanahnya telah dibebaskan pada tahun
2011 oleh BPCB Jambi dengan luas 1.820 m2 dan empat tahun kemudian
disertifikat dengan Nomor 01 tertanggal 22 April 2015. Namun kondisinya tidak
mencerminkan luas yang seperti tercantum di sertifikat. Juru pelihara hanya
memelihara lahan sekitar 140 m2 termasuk jalan setapak yang lebarnya
sekitar 2 meter. Juru pelihara memberi tanaman hias dari jalan masuk hingga
sekelilingi candi. Sementara sekitarnya berupa tanaman kopi dan abasia.
Lokasinya
cukup jauh dari pemukiman, tetapi pada saat kegiatan telah ada dua rumah yang
dekat candi. Rumah yang paling dekat dengan candi adalah rumah juru pelihara
yang belum selesai pembangunannya.
Kebutuhan akan rumah hunian baru akan memunculkan rumah-rumah baru di
sekitar candi. Apalagi jalan yang melintas di depan candi menuju daerah wisata
Danau Ranau. Hal itu tentu saja menimbulkan kekhawatiran akan terhimpitnya
candi oleh rumah penduduk.
3. Riwayat
Penelitian dan Pelestarian
Candi
Jepara pertama kali diketahui dari laporan G. A. Schouten tahun 1885 yang dimuat dalam Notulen Bataviaasch Genootschap van Kunsten
en Wetenchappan (NBG). Dilaporkan candi yang denahnya berukuran panjang 9,6
meter dan lebar 8,1 meter. Van der Hop di dalam buku Megalithic Remains in South Sumatera tahun 1932 menulis tentang
adanya sebuah candi bercorak Hindu dan sebuah lumpang batu berukuran Panjang 70
cm dan lebar 50 di Desa Jepara, Kecamatan Banding Agung. Sementara F.M.
Schnitger pada tahun 1935 menulis di dalam buku The Archaeology Hindoo of Sumatera bahwa di sebelah Timur bangunan
ditemukan undakan yang diduga adalah kaki candi. Tulisan di dalam Oudheidkundige Verslag (OV) tahun 1941
menyebut tentang candi batu yang letaknya tidak jauh dari danau.
Setelah
masa kemerdekaan, Soekmono pada tahun 1954 melakukan survei dan melaporkan
temuan pelipit bangunan berupa setengah bulat dan sisi genta seperti pelipit
candi di Jawa Tengah. Pada tahun 1984 Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
melakukan peninjauan dan menemukan 30 batu berpahat dan berpelipit di tengah
kebun kopi. Penelitian pada tahun 1993 melakukan penelitian bidang arkeometri
dan menemukan banyak batu candi berupa antefik dan batu berpahat untuk
pembuatan jalan. Hasil ekskavasi menyimpulkan candi yang belum selesai
berdasarkan adanya goresan-goresan lengkung dibagian pintu masuk yang masih
berupa rancangan pola. Candi Jepara diduga berlanggam Jawa Tengah abad 9-10
Masehi.
Pada
tahun-tahun berikutnya setelah berdirinya Unit Pelaksana Teknis penelitian dan pelestarian di wilayah Sumatera
bagian Selatan, maka penelitian dan pelestarian lebih intensif lagi. Balai
Arkeologi Palembang pada tahun 1996 melakukan survei terhadap situs-situs
arkeologi di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) dan menyimpulkan bahwa candi
semasa dengan Prasasti Bawang atau Hujung Langit yang berangka tahun 919 Saka
(997 Masehi). Pada tahun 1999 Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala
Jambi melakukan ekskavasi dan
menyimpulkan bahwa candi berukuran 8 x 9 meter dan tidak ada komponen bangunan lainnya berupa
candi perwara atau pagar keliling.
Dalam
rangka pemugarannya telah dilakukan Studi kelayakan pada tahun 2003 melalui
Proyek Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jambi. Pada tahun 2011
dilakukan Studi Teknis melalui serangkaian kegiatan ekskavasi, susunan
percobaan, dan diskusi dengan Pemugar berpengalaman dari BPCB Jawa Tengah
bernama Bapak Sudarno. Namun data yang terkumpul belum mencukupi sehingga perlu
dilakukan kegiatan lanjutan. Oleh sebab itu, pada tahun ini dilakukan kegiatan Kajian
Teknis Pemugaran Candi Jepara guna melengkapi data arkeologis dan teknis yang dapat
digunakan untuk melakukan rekonstruksi bangunan dan Rencana Anggaran Biaya (RAB).
4. Hasil
Survei dan Ekskavasi
a.
Survei
Candi
Jepara yang terletak di sebelah Barat Desa Jepara berada di tengah kebun kopi.
Situasinya berbeda dengan kondisi saat dilakukan Studi Teknis dimana lahannya
masih terbuka hingga pandangannya lebih luas. Namun memang terasa panas karena
tidak adanya pohon yang bertajuk tinggi. Kondisi sekarang dikarenakan adanya
pemanfaatan lahan untuk tanaman kopi dan abasia. Disarankan agar tanaman-tanamaan itu
dikurangi untuk memberi ruang pandang yang lebih baik. Pada saat dilakukan
pemugaran nanti lahannya akan digunakan penempatan batu-batu yang dibongkar dan
dikonservasi serta pendirian bangunan kerja (werkeet).
Lokasi
Candi Jepara masih berada jauh dari pemukiman penduduk, tetapi telah muncul
rumah baru di sebelah Timur candi. Bukan tidak mungkin kedepannya akan lebih
banyak lagi rumah-rumah baru di sekitar candi karena adanya jalan yang menuju
Danau Ranau. Kondisi yang demikian harus segera ditindak lanjuti dengan
perluasan lahan yang ideal untuk zona inti, zona penyangga, dan zona
pengembangan.
Survei
yang dilakukan berdasarkan batas tanah yang telah dibebaskan BPCB Jambi seluas
1.820 m2 menunjukkan permukaan tanah yang relatif datar. Namun di
sisi Utara terdapat permukaan tanah yang miring ke arah Utara. Pada jarak 9,10
meter ditemukan sebaran batu-batu bulat
dengan orientasi Barat-Timur atau sejajar candi yang diperkirakan berfungsi sebagai
penahan tanah dari erosi karena pada
jarak sekitar 10 meter berikutnya kemiringan permukaan tanahnya semakin tajam.
Sementara di sebelah Timur yang berjarak 24,80 meter terdapat gundukan tanah.
Menurut informasi gundukan pernah di ekskavasi dan tidak ditemukan struktur
bangunan.
Survei
yang dilakukan dengan radius sekitar 100 meter dari candi menemukan parit
selebar 6 meter dan sumber mata air berbentuk kolam dengan lebar sekitar 9
meter yang sekitarnya terdapat batu-batu pasiran dengan ukuran yang bervariasi
di sebelah Utara.
b.
Ekskavasi
Ekskavasi
pada runtuhan Candi Jepara bertujuan untuk melengkapi data hasil ekskavasi yang
pernah dilakukan, baik melalui kegiatan ekskavasi tahun 1999, studi kelayakan
tahun 2003, dan studi teknis tahun 2011. Ekskavasi tahun 1999 diarahkan pada
bangunan candi dan halaman. Ekskavasi dilakukan dengan membuka lima kotak uji,
yaitu dua kotak terdapat pada bangunan candi dan tiga kotak di halaman. Kotak
ekskavasi yang dilakukan pada bangunan adalah JPR-1 dan JPR-2. Kotak JPR-1 di
Sudut Barat Laut bertujuan menemukan sudut asli pondasi. Setelah dilakukan
penggalian sedalam 14 meter menemukan pondasi hanya satu lapis. Kotak JPR-2
bertujuan untuk membuktikan dan menampakkan struktur di bagian tangga. Hasilnya
menunjukkan bahwa sebagian besar strukturnya telah lepas dan tidak beraturan.
Hasil ekskavasi menyimpulkan bahwa candi tidak dilengkapi candi perwara dan
pagar keliling. Penelitian Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Jakarta juga
tidak menemukannya.
Ekskavasi yang dilakukan dalam kegiatan Studi Kelayakan tahun 2003
menggali lima kotak uji. Kotak uji diberi kode JPR 1 hingga JPR 4. Kotak JPR 1 terletak di bagian sudut Barat
Laut yang diperkirakan sudut bangunan. Pada kedalaman 45 cm merupakan akhir
dari bata fondasi. Kotak JPR 2 terletak di sudut bangunan sisi Barat Daya.
Penggalian pada hingga kedalaman 52 cm menemukan susunan batu pasiran berwarna
putih yang merupakan fondasi. Kotak JPR 3 terletak di sudut Tenggara bangunan.
Penggalian hanya sampai kedalaman 50 cm dan dipastikan bahwa batu-batu yang
ditemukan merupakan bagian sudut Tenggara. Kotak JPR 4 terletak di sisi Timur
struktur tangga. Penggalian hingga kedalaman 45 cm merupakan akhir dari
struktur batu. Kotak JPR 5 terletak di sudut Timur Kotak JPR 1 bertujuan untuk
mengetahui tingkat kemasifan struktur dan ketebalan dinding candi. Kotak ini berarti berada di bagian dalam
candi sisi Utara. Hasilnya berupa penemuan fragmen kendi tanah liat berdiameter 20 cm dan tingginya 13,5 cm.
Kendi berdiri di landasan dari batu pasiran berbentuk persegi.
Pada kajian teknis pemugaran kali ini, ekskavasi menggunakan metode grid dimana lahan
dibagi menjadi kotak-kotak berukuran 2 x 2 meter. Metode grid ini akan
berlanjut digunakan pada saat pemugaran nantinya. Titik nol atau Datum Point (DP) berada di sebelah Barat
Daya bangunan ditandai dengan patok kayu. Penamaan grid ke arah Timur diberi
huruf A, B, C, dan seterusnya, sementara ke arah Utara diberi angka 1, 2, 3 dan
seterusnya. Kode kotak gali akan mempunyai tanda gabungan keduanya yang dimulai
dengan hruf kemudian angka, misalnya A1, B3, dan seterusnya. Tehnik penggalian
yang dilakukan menggunakan teknik lot. Di dalam
buku Metode Arkeologi disebutkan tehnik lot adalah tehnik menggali yang
menggabungkan tehnik lapisan alamiah dan tehnik spit.
Ekskavasi dilakukan pada enam kotak, yaitu Kotak C3, G6, F7, F8, E9,
dan D6. Kotak C3 berada di sudut Barat Daya untuk mengetahui kestabilan fondasi
di sana. Kotak G6 berada di Sudut Tenggara dengan tujuan yang sama, Kotak F7
dan F8 bertujuan untuk mengetahui fondasi bagian tangga, Kotak E9 berada di
sudut Timur Laut untuk juga untuk mengetahui kestabilan fondasi, dan Kotak D6
untuk mengetahui lapisan tanah dibagian tengah gundukan.
5. Deskripsi
Candi Jepara
Candi
Jepara dibangun oleh masyarakat yang mendiami wilayah pedalaman Sumatera. Candi
Jepara bersama-sama dengan Candi Tingkip dan Candi Lesung Batu di Kabupaten
Musirawas Utara dan Candi Binginjungut di Kabupaten Musi Rawas lokasinya cukup
jauh dari pusat kerajaan Sriwijaya yang diperkirakan di Palembang. Kerajaan
Sriwijaya berdasarkan temuan arkeologisnya bercorak agama Budha. Namun
masyarakatnya tidak hanya beragama Budha tetapi ada juga yang beragama Hindu.
Hal itu ditunjukkan dari keberadaan candi di Desa Bumiayu di Kabupaten PALI,
arca Ganesha di Kota Palembang dan Sarolangun, Provinsi Jambi serta Arca Wisnu
di Kota Kapur, Kabupaten Bangka. Candi Jepara belum dapat dipastikan latar
belakang agamanya karena tidak ditemukannya unsur-unsur yang terdapat di kedua
agama tersebut seperti arca Agama Hindu atau Budha dan unsur-unsur bangunan
seperti ratna atau stupa dan relief cerita.
Informasi
mengenai Candi Jepara berdasarkan ciri-ciri arsitekturnya mempunyai persamaan
dengan candi-candi yang berasal dari periode 7-10 Masehi. Temuan arkeologis
dari masa Hindu Budha yang terdekat adalah Prasasti Bawang atau Prasasti Hujung
Langit di sebelah Tenggara Danau Ranau, tepatnya di Desa Hanakau, Kecamatan
Balik Bukit, Kabupaten Lampung Barat. Prasasti mempunyai tulisan dalam 18 baris
dalam Bahasa Jawa Kuno. Isinya mengenai Ekspedisi ke Sumatera pada masa Raja
Dharmawangsa dari Pulau Jawa pada abad 10 Masehi. Sementara berdasarkan
kedekatannya dengan daerah Lampung sekarang, maka diduga penyebar agama yang merubah
kepercayaan masyarakat pendiri candi berasal dari sana.
Candi
Jepara yang terbuat dari batu merupakan candi batu satu-satunya di Sumatera. Batu
yang digunakan diperkirakan jenis batu tufa. Tufa adalah jenis batuan
piroklastik yang mengandung debu vulkanik yang dikeluarkan selama letusan
gunung berapi. Candi berada di daerah dataran tinggi Sumatera Selatan atau
tepatnya dekat dengan Danau Ranau dan Gunung Seminung. Danau Ranau merupakan
danau terluas kedua setelah Danau Toba di Pulau Sumatera. Luasnya mencapai
125,9 km2. Letaknya di ketinggian 54 meter di atas permukaan air
laut. Danau terbentuk dari gempa
tektonik dan letusan Gunung purba sekitar 55 ribu tahun yang lalu. Letusan
dahsyat membentuk kaldera dan dapur magma yang aktif melahirkan Gunung
Seminung. Gunung Seminung merupakan gunung berapi yang tingginya 1861 meter.
Secara geologis dikategorikan sebagai gunung api muda. Tentu saja daerah ini
mempunyai sumber batu alam. Dengan demikian tidak mengherankan bahwa masyarakat
pendukungnya saat itu membangun candi dari batu.
Candi
ditemukan kembali dalam keadaan runtuh. Keruntuhan candi diperkirakan karena
faktor alam dan manusia. Faktor alam disebabkan dari gempa, baik vulkanik
maupun tektonik. Gempa vulkanik disebabkan oleh letusan Gunung Seminung dan
gempa tektonik akibat tubrukan lempeng di sebelah Barat Pulau Sumatera. Pulau
Sumatera terletak pada batas lempeng
konvergen antara lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia. Secara historis,
gempa besar tercatat pernah terjadi pada tahun 1833, 1861, 2004, 2005, dan
2007. Bisa dibayangkan sebuah gempa besar telah mengakibatkan ketakutan, korban
jiwa, dan menghancurkan
bangunan-bangunan termasuk candi. Sementara kerusakan akibat manusia terjadi
pada masa kemudian dimana masyarakat tidak tahu tentang candi hanya melihat
bahwa banyak batu-batu yang dapat dimanfaatkan untuk fondasi rumah atau jalan.
Kerusakan akibat manusia ini terlihat dari sedikitnya batu-batu candi di sisi
Selatan yang berada dekat jalan. Berbeda dengan di sisi lainnya yang masih
cukup banyak. Sekarang Candi Jepara terlihat berupa gundukan tanah yang
dikelilingi batu membentuk denah segi empat. Gundukan tingginya 82 cm. Orientasi candi ke Timur
Laut atau sekitar 60o dimana pada arah tersebut terdapat tangga.
Candi
berdiri di lahan yang permukaan tanahnya miring ke Utara. Pada jarak sekitar 10
meter ke Utara kemiringannya semakin curam. Temuan batu-batu alam berjarak 9,10 meter di sebelah Utara yang sejajar
bangunan diperkirakan sebagai upaya untuk menahan tanah dari erosi. Permukaan
tanah yang miring disiasati pembangun candi dengan batu fondasi dan batu lapis
pertama yang berbeda ketinggian. Perbedaan ini terlihat dari tinggi atau
rendahnya posisi takik pada batu fondasi. Sementara pada batu lapis pertama
terlihat dari pelipit rata paling bawah yang berbeda ukuran, yaitu batu di sisi
Tenggara tebalnya 10 cm, sisi Timur Laut 16 cm, dan sisi Barat Laut 20 cm.
Batu-batu
yang menyusun candi terdiri dari batu isian, batu kulit, dan batu lantai. Batu
isian terdiri dari dua deret. Batu isian ini mempunyai permukaan yang kasar dan
polos, tetapi ada juga yang mempunyai takikan. Batu kulit sebagian besar telah runtuh dan menyisakan
batu lapis pertama dan kedua di beberapa tempat. Itupun kondisinya telah
melesak, renggang, dan patah. Sementara batu tangga yang masih ditempatnya berasal
dari batu pipi tangga. Batu anak tangga terlepas seluruhnya. Pipi tangga
mempunyai bentuk yang melengkung pada ujungnya dan pada dindingnya terdapat ikal tangga. Batu
kulit yang masih ditempatnya di sisi Barat Laut berjumlah 19, sisi Barat Daya
berjumlah 18, sisi Tenggara 14, dan sisi Timur
Laut 12. Sementara batu yang runtuh berasal dari batu lapis ketiga dan
batu sudut. Letaknya sebagian besar masih berada di dekat asalnya. Beberapa batu yang jauh berpindah
diperkirakan aktivitas manusia yang memindahkannya. Batu yang runtuh di sebelah Barat Laut
berjumlah 14, sebelah Barat Daya berjumlah 19, sebelah Tenggara berjumlah 12,
dan sebelah Timur laut 32. Penjumlahan batu kulit yang masih berada ditempatnya
dan batu runtuhan, yaitu Barat Laut berjumlah 33 batu, Barat Daya berjumlah 37
batu, Tenggara berjumlah 26, dan Timur Laut berjumlah 44 batu. Total batu
sekitar 140 batu. Jumlah batu kulit dan tangga yang terdiri dari pipi tangga dan anak tangga diperkirakan mencapai sekitar 80 %.
Batu
kulit setelah dilakukan pengamatan selanjutnya disebut sebagai tipe 1, 2, 3,
dan 4. Batu keempat tipe tersebut ada yang dibentuk dalam satu batu tetapi juga
ada dari gabungan beberapa batu. Batu tipe 1 adalah batu yang berada di lapis
pertama yang mempunyai bentuk pelipit rata dan ojief. Batu tipe 2 ditandai
adanya bentuk setelah lingkaran (halfround),
Batu tipe 3 mempunyai bentuk pilaster
dan panel, dan batu tipe 4 seperti batu tipe 3 tetapi untuk ditempatkan di
sudut bangunan. Pada batu tipe 3 terdapat lubang yang posisinya tepat pada
bagian yang ada pilaster. Lubang berukuran 8 x 8 cm dengan kedalaman 7 cm.
Lubang-lubang di daerah sudut bangunan berjumlah tiga dan tengah berjumlah
satu. Di atas lubang tersebut diperkirakan dahulunya berdiri tiang-tiang kayu
berbentuk persegi berukuran 16 x 16 cm.
Batu-batu
bagian tangga yang terdiri dari anak tangga dan pipi tangga. Tenaga pengalaman
pemugaran candi batu yang terlibat melakukan kegiatan anastilosis berupa mencari, menidentifikasi, dan susunan percobaan
sehingga membentuk profil dinding, pipi tangga, dan tangga. Pada saat kegiatan
berakhir batu-batu yang runtuh menjadi berkurang karena sudah terpasang. Batu
yang belum terpasang karena berukuran besar dan tidak diketahui lagi
susunannya. Pada akhirnya tidak hanya profil candi dapat diketahui tetapi juga
ukuran denah candi. Diperkirakan tinggi candi adalah 142 cm sedangkan ukuran
denah panjang sisi Barat Laut adalah 825 meter, sisi Barat Daya 779 meter, sisi
Tenggara 914 meter, dan Timur Laut
adalah 794 meter.
Batu
lantai tidak ditemukan sisa-sisanya. Perkiraan adanya lantai berdasarkan kepada
temuan adanya ruang dari batu kulit
untuk dapat menyangga batu lantai. Batu lantai untuk menutupi batu isian
dan tanah timbunan.
Di
candi juga terdapat batu yang cukup besar berukuran panjang 125 cm, lebar 125
cm, dan tebal 45 cm. Pada satu sisinya terdapat pahatan yang berbentuk
dua pilaster dan tiga panel. Batu
tersebut tidak diketahui keletakannya maupun fungsinya. Kemungkinan diletakkan
di tengah bangunan dengan sisi yang berpahat menghadap ke Timur Laut sesuai
arah candi.
6. Rencana
Penanganan
Candi
Jepara tidak boleh dilakukan pemugaran secara sembarangan. Pada dirinya
melekat aturan mengenai pemugaran. Pemugaran sebagai bagian dari upaya
pelestarian merupakan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengembalikan
keaslian bentuk bangunan cagar budaya dan memperkuat bila diperlukan yang dapat
dipertanggungjawabkan dari segi arkeologis, historis, dan teknis. Pemugaran
dapat diartikan sebagai suatu upaya pelestarian bangunan cagar budaya yang
sasarannya meliputi perbaikan struktur dan pemulihan arsitektur yang ditetapkan
berdasarkan permasalahan kerusakan yang dihadapi.
Perbaikan
struktur adalah suatu upaya penanggulangan dan pencegahan terhadap kerusakan
bangunan dengan cara memperbaiki dan memperkuat strukturnya bila diperlukan,
termasuk di dalamnya perawatan terhadap komponen atau unsur bahan asli sesuai
dengan kondisi teknis dan keterawatannya. Pemulihan arsitektur adalah suatu
upaya pemasangan kembali komponen atau unsur bangunan ke dalam bentuk
arsitektur aslinya berdasarkan otensitas data, serta melakukan penggantian pada
bagian bangunan yang rusak atau hilang dengan tetap memperhatikan
prinsip-prinsip pemugarannya. Prinsip-prinsip pemugaran itu tertuang dalam
Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya pada pasal 77 (ayat 2)
huruf a bahwa pemugaran Cagar Budaya harus memperhatikan keaslian bahan,
bentuk, tata letak, gaya, dan/atau teknologi pengerjaan.
Perbaikan Struktural
Perbaikan
struktural merupakan bagian dari pekerjaan pemugaran bangunan yang
kegiatannya menitikberatkan pada upaya
penanggulangan dan pencegahan terhadap segala permasalahan kerusakan, baik yang
berkenaan dengan kerusakan struktural maupun pelapukan bahan. Kegiatan yang
dilakukan antara lain pembongkaran,
perkuatan struktur, perawatan/konservasi, dan pergantian unsur
Pemulihan Arsitektural
Pemulihan
arsitektural merupakan bagian dari pekerjaan pemugaran bangunan yang sasarannya
menitik beratkan pada upaya pemasangan kembali unsur bangunan ke dalam bentuk
keaslian bentuk arsitekturnya. Pemulihan bangunan senantiasa harus berpedoman
pada keaslian bentuk, bahan, pengerjaan, dan tata letak, serta nilai sejarah
dan kepurbakalan yang terkandung didalam bangunan cagar budaya. Kegiatannya
meliputi penanganan unsur yang rusak, penanganan unsur yang hilang, persyaratan
penggantian unsur, dan penyelesaian bentuk akhir.
Penataan Lingkungan
Pemugaran
bangunan cagar budaya sasarannya tidak hanya pada penanganan fisik bangunan,
tetapi termasuk pula penataan lingkungan lahan situs yang merupakan bagian
integral dari upaya pelestarian. Kegiatan utamanya adalah penataan lahan situs,
pengadaan sarana penunjang, dan pertamanan yang diperuntukan bagi pelindungan,
pengembangan, dan pemanfaatanya. Kegiatannya meliputi penataan lingkungan lahan
situs, pengadaan sarana penunjang, dan pertamanan.
2 komentar:
Waah sangat menarik sekali mas, satu-satunya candi yg terbuat dari batu di Pulau Sumatra, semoga dapat terlaksana pemugarannya sehingga kita bisa melihat bentuk arsitekturnya seperti halnya candi-candi yg terbuat dari batu di Pulau Jawa.
Bentuknya tidak umum seperti candi di jawa yg keseluruhannya terbuat dari batu. Candi jepara di atas struktur batu terdapat bangunsn kayu
Posting Komentar