Pendahuluan
Bangsa Indonesia yang memproklamirkan kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945 mempunyai latar sejarah yang sangat panjang, dimulai dari masa Prasejarah sampai dengan masa kolonial. Menghasilkan peninggalan-peninggalan sejarah dan purbakala yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Masyarakat menyebutnya dengan bermacam-macam sebutan, antara lain benda kuno, benda antik, benda purbakala, monumen, peninggalan arkeologi (archaeological remains), atau peninggalan sejarah (historical remains). Istilah Benda Cagar Budaya (BCB) mulai dipakai sejak tahun 1992, yaitu dengan adanya Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 yang dimaksud Benda Cagar Budaya adalah:
- Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan
- Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Benda cagar budaya memiliki sifat unik (unique), langka, rapuh, tidak dapat diperbaharui (nonrenewable), tidak bisa digantikan oleh teknologi dan bahan yang sama, dan penting (significant) karena merupakan bukti-bukti aktivitas manusia masa lampau. Oleh karena itu dalam penanganannya harus hati-hati dan diusahakan tidak salah yang bisa mengakibatkan kerusakan dan perubahan pada benda. Perubahan yang terjadi sekecil apapun akan menyebabkan dampak yang mengurangi nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Karena tinggalan benda cagar budaya dapat memberikan gambaran tentang tingkat-tingkat kemajuan dalam kehidupan sosial ekonomi, pemukiman, penguasaan teknologi, kehidupan religi, dan lain-lain.
Pelestarian benda cagar budaya merupakan hal yang penting berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki oleh benda cagar budaya dan sesuai dengan amanat dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 yang menyebutkan bahwa benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jatidiri bangsa dan kepentingan nasional.
Pada masa otonomi daerah saat ini, dimana Pemerintah Daerah (Pemda) mempunyai kewenangan yang besar untuk mengatur daerahnya, telah juga ikut serta dalam hal pelestarian benda cagar budaya yang dahulunya dominan dilakukan oleh pemerintah pusat. Di satu sisi ada baiknya bahwa pemda terlibat dalam pelestarian benda cagar budaya, karena tidak sedikit biaya yang diperlukan dan tidak cukup ditangani oleh pemerintah pusat. Namun di sisi lain pelestarian benda cagar budaya oleh pemda sering kali tidak sesuai yang diharapkan.
Latar Sejarah Pelestarian Benda Cagar Budaya
Upaya-upaya penelitian dan pelestarian benda cagar budaya telah dimulai sejak Belanda berkuasa di Indonesia. Pada mulanya dilakukan secara perorangan yang tertarik dengan benda-benda purbakala yang baru dilihatnya. Di kalangan masyarakat Indonesia sendiri, benda-benda itu dianggap berhubungan dengan alam gaib, keramat dan bila ditemukan dijadikan benda pusaka. Bahkan kadang-kadang dijadikan sebagai objek pemujaan. Perkembangan penemuan dan penelitian berikutnya mendorong Pemerintah Belanda mendirikan untuk pertama kalinya suatu badan sementara pada tahun 1901 yang bernama Commissie in Nederlandsch – Indie voor oudheidkundig onderzoek op Java en Madoera. Badan tersebut diganti Pada tahun 1913 dengan berdirinya Oudheidkundige Dienst in Nedelandsch – Indie sebagai badan tetap yang bertugas di bidang kepurbakalaan. Pada tahun 1913 ini pula dibuat Monumenten Ordonnantie No. 19 (Undang-Undang tentang Monumen) sebagai cikal bakal Undang-Undang yang mengatur kepurbakalaan di Indonesia. Selanjutnya diubah dengan Monumenten Ordonnantie No. 21 Tahun 1924. Pada tahun 1924 didirikan pula sebuah badan yang bernama Oudheidkundige Vereeniging Madjapahit yang berkedudukan di Trowulan yang bergerak khusus dalam lapangan penelitian terhadap ibukota Majapahit. Perjalanan penelitian dan pelestarian benda cagar budaya sempat terganggu dengan mendaratnya Jepang. Ahli-ahli purbakala Belanda banyak yang menjadi tawanan perang. Pada tahun-tahun berikutnya mulai muncul tenaga-tenaga purbakala dari Bangsa Indonesia yang akan memimpin Jawatan Purbakala.
Pada masa pergolakan kemerdekaan, Jawatan Purbakala berubah menjadi Jawatan Urusan Barang-Barang Purbakala. Kondisi peperangan yang terjadi dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan antara Belanda dan Indonesia juga mempengaruhi penguasaan Jawatan Purbakala. Setelah terusirnya Belanda dari Indonesia menjadi babak baru bagi sejarah Jawatan Purbakala. Namun demikian, beberapa orang Belanda masih bekerja sampai dengan tahun 1953.
Nama Jawatan Purbakala telah mengalami beberapa perubahan, antara lain Dinas Purbakala dan Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN). Pada tahun 1975 LPPN dipecah menjadi dua instansi, yaitu Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (PusP3N) dan Direktorat Sejarah dan Purbakala (DSP). Pada tahun 1980 kembali diubah menjadi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslitarkenas) dan Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (Ditlinbinjarah). Sekarang ini, penggantian pemimpin negara atau presiden RI ternyata juga mempengaruhi perubahan yang terjadi di instansi yang bertugas di bidang penelitian dan pelestarian Benda Cagar Budaya ini. Perubahan yang terjadi sekarang malah terbagi menjadi tiga, yaitu Direktorat Peninggalan Purbakala, Direktorat Peninggalan Bawah Air, dan Pusat Penelitian Arkeologi. Sementara di daerah terdapat Unit Pelaksana Teknis yang bernama Balai Arkeologi (Balar) yang berjumlah 10 buah dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) berjumlah 8 buah serta Balai konservasi Borobudur.
Upaya Pelestarian
Upaya pelestarian yang telah dilakukan dahulu dan sekarang pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu pelestarian demi kepentingan penggalian nilai-nilai budaya dan proses-proses yang pernah terjadi pada masa lalu dan perkembangannya hingga kini serta pelestarian benda cagar budaya karena nilainya terhadap suatu peristiwa sejarah yang pernah terjadi pada masa lalu. Namun seiring dengan usaha pembangunan yang terus berlangsung di negara kita, maka memberi tantangan tersendiri terhadap upaya pelestarian. Pembangunan sering kali berdampak negatif terhadap kelestarian benda cagar budaya. Problem semacam ini muncul dimana-mana terutama di daerah perkotaan. Kegiatan pembangunan tanpa menghiraukan keberadaan benda cagar budaya hingga saat ini masih terus berlangsung. Hal ini tampak dari semakin menurunnya kualitas dan kuantitas benda cagar budaya.
Upaya pelestarian benda cagar budaya membutuhkan keterlibatan banyak pihak dan yang terpenting adalah keterlibatan masyarakat, terutama pada benda cagar budaya yang masih dipakai (living monument). Pelestarian living monument terkadang lebih sulit, dikarenakan kurangnya pemahaman sang pemilik tentang pentingnya pelestarian benda cagar budaya miliknya. Upaya pelestarian benda cagar budaya secara garis besar sebagai berikut:
1. Perlindungan
Perlindungan merupakan upaya melindungi benda cagar budaya dari kondisi-kondisi yang mengancam kelestariannya melalui tindakan pencegahan terhadap gangguan, baik yang bersumber dari perilaku manusia, fauna, flora maupun lingkungan alam. Upaya perlindungan dilakukan melalui :
a. Penyelamatan
Penyelamatan dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi benda cagar budaya dari kerusakan dengan kegiatan berupa ekskavasi penyelamatan, pemindahan, pemagaran, pencungkupan, penguasaan benda cagar budaya oleh negara melalui imbalan, pemintakatan, dan pemasangan papan larangan
b. Pengamanan
Pengamanan dilakukan untuk pencegahan terhadap gangguan perbuatan manusia yang dapat mengakibatkan kerugian fisik dan nilai benda. Kegiatannya berupa Penempatan Satuan Pengamanan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SATPENJARLA), Pelatihan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dan Penyuluhan Undang-Undang RI Nomor : 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
c. Perijinan
Perijinan dilakukan melalui pengawasan dan perijinan, baik dalam bentuk ketentuan atau ketetapan maupun tindakan penertiban terhadap lalu lintas benda cagar budaya. Kegiatannya berupa mengeluarkan ijin pemanfaatan untuk kepentingan pendidikan Siswa sekolah dan keagamaan, yaitu perayaan waisak di Situs Muarajambi serta ijin untuk kepentingan penelitian.
2. Pemeliharaan
Pemeliharaan merupakan upaya untuk melestarikan benda cagar budaya dari kerusakan yang diakibatkan oleh manusia dan alam. Upaya pemeliharaan dilakukan melalui :
a. Konservasi
Kegiatan pemeliharaan benda cagar budaya dari kemusnahan dengan cara menghambat proses pelapukan dan kerusakan benda sehingga umurnya dapat diperpanjang dengan cara kimiawi dan non kimiawi. Kegiatannya berupa pengangkatan Juru pelihara (Jupel), penataan lingkungan, pertamanan, pembersihan menggunakan pihak ketiga, pembersihan dengan bahan kimia, dan pengujian bahan kimia untuk konservasi.
b. Pemugaran
Serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki bangunan yang telah rusak dengan mempertahankan keasliannya, namun jika diperlukan dapat ditambah dengan perkuatan strukturnya. Keaslian yang harus diperhatikan dalam pemugaran mencakup keaslian bentuk, bahan, tehnik pengerjaan, dan tata letak.
1). Keaslian BentukKeaslian bentuk bangunan harus dikembalikan berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan antara lain foto-foto lama, dokumen tertulis, saksi hidup, atau studi teknis.
2). Keaslian Bahan
a). Dalam pemugaran bahan bangunan yang harus digunakan adalah bahan asli dan harus dikembalikan ke tempatnya semula
b). Apabila bahan bangunan mengalami rusak ringan maka harus dilakukan perbaikan dan pengawetan sehingga dapat digunakan kembali
c). Apabila telah rusak berat atau hilang, maka dapat diganti dengan bahan baru. Namun bahan pengganti harus sama, baik jenis maupun kualitasnya.
3). Keaslian Tata Letaka). Tata letak bangunan harus dipertahankan dengan lebih dahulu melakukan pemetaan
b). Keletakan komponen-komponen bangunan seperti hiasan, arca, dan lain-lain harus dikembalikan ke tempat semula.
4). Keaslian Teknologi Pengerjaan
Keaslian teknologi pengejaan dengan bahan asli maupun baru harus tetap dipertahankan. keaslian teknologi ini antara :
a). Teknologi pembuatanb). Teknologi konstruksi
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, maka perlu dipahami bahwa pemugaran bukan merupakan pekerjaan pembangunan atau pembuatan bangunan, melainkan pekerjaan perbaikan dan pengawetan.
3. Dokumentasi/Publikasi
Dokumentasi/Publikasi merupakan upaya untuk mendokumentasikan benda cagar budaya dan menyebarluaskannya kepada masyarakat melalui media cetak atau media elektronik. Upaya Dokumentasi/Publikasi dilakukan melalui :
a. Perekaman Data
Perekaman data merupakan rangkaian kegiatan pembuatan dokumen tentang benda cagar budaya yang dapat memberikan informasi atau pembuktian tentang keberadaannya. Kegiatannya berupa pemotretan, pemetaan, penggambaran, survei, dan pemerian.
b. Publikasi
Publikasi merupakan upaya menyebarluaskan informasi pelestarian benda cagar budaya agar dapat diketahui dan dipahami oleh masyarakat. Kegiatannya berupa pameran, penerbitan buletin dan buku, film dokumenter, dan website.
Pelestarian BCB di Era Otonomi Daerah
Otonomi daerah telah merubah banyak hal tidak terkecuali dalam hal pelestarian benda cagar budaya. Sejak turunnya PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom, maka PP No. 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya sudah tidak relevan lagi. Pelestarian benda cagar budaya telah menjadi kewenangan pemerintah provinsi yang selama ini dilakukan oleh pemerintah pusat. Berikut uraian dari PP No. 25 Tahun 2000 tentang kewenangan daerah yang berkaitan dengan benda cagar budaya :
BAB II Pasal 2 Ayat (3) kewenangan sebagaimana disebut pada ayat (2) dikelompokkan dalam bidang sebagai berikut :
11. Bidang Pendidikan dan kebudayaan
f. Penetapan persyaratan pemintakatan/zoning, pencarian, pemanfaatan, pemindahan, penggandaan, sistem pengamanan dan kepemilikan benda cagar budaya serta persyaratan penelitian arkeologi.
g. Pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum nasional, galeri nasional, pemanfaatan naskah sumber arsip, dan monumen yang diakui secara internasional.
15. Bidang Pemukiman
b. Penetapan pedoman konservasi arsitektur bangunan dan pelestarian kawasan bangunan bersejarah.
Pasal 3 Ayat (5) kewenangan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelompokkan dalam bidang sebagai berikut :
10. Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
f. Penyelenggaraan museum provinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan, kajian sejarah dan nilai tradisional serta pengembangan bahasa dan budaya daerah.
Berkaitan dengan PP No. 25 Tahun 2000, maka kantor-kantor atau instansi-instansi yang dahulunya berstatus kantor pemerintah pusat menjadi kantor pemerintah provinsi. Hal ini terjadi juga pada kantor-kantor di bidang kebudayaan, seperti Bidang Muskala/Musjarla di Kanwil Depdikbud dan Museum Negeri serta Taman Budaya yang merupakan Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Kebudayaan. Mereka melebur menjadi dinas-dinas kebudayaan atau Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD). Kecuali Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3), Balai Arkeologi (BALAR), dan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT). Ketiganya masih merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) pusat.
Dengan demikian, dinas-dinas di bidang kebudayaan pemerintah provinsi adalah menjalankan kewenangan-kewenangan menurut PP No. 25 Tahun 2000. Namun dalam pelaksanaannya baru tentang kewenangan penyelenggaraan Museum Provinsi dan Taman Budaya saja yang telah dilaksanakan oleh daerah. Sedangkan kewenangan lainnya belum terlaksana dengan baik. Dikarenakan penyelenggaraan Museum Provinsi dan Taman Budaya berasal dari Museum Provinsi dan Taman Budaya yang telah ada di masing-masing propinsi. Berbeda dengan penyelenggaraan yang lainnya, yaitu Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala atau Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional yang wilayah kerjanya beberapa propinsi dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang terbatas. Dikaitkan juga dengan masih kurangnya tenaga-tenaga kebudayaan di daerah, sehingga dalam hal ini pemerintah pusat masih mempertahankan keberadaan unit pelaksana teknisnya.
Sehubungan dengan hal itu, maka yang dapat dilakukan adalah Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala bersama-sama dengan pemerintah provinsi harus menjalin hubungan yang baik dalam melakukan pelestarian benda cagar budaya yang berada di wilayah kerjanya. Kebijakan pemerintah provinsi terhadap pelestarian benda cagar budaya apabila disikapi dengan baik, maka bukan tidak mungkin akan memberi dampak yang lebih baik. Keinginan pemerintah provinsi untuk melakukan pelestarian benda cagar budaya tidak dapat dicegah dan bahkan akan mengambil peran yang cukup besar. Oleh sebab itu, maka tidak ada jalan lain bagi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala selain membuka kesempatan seluas-luasnya kepada Pemerintah provinsi untuk melakukan pelestarian benda cagar budaya. Dalam hal ini, koordinasi yang baik sangat perlu supaya pemerintah provinsi dapat menjadikan BP3 sebagai sumber data bagi kegiatan pelestarian benda cagar budaya.
Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala yang sampai saat ini sebagai perpanjangan tangan dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata berkewajiban untuk melakukan upaya-upaya pelestarian benda cagar budaya seperti yang tertuang dalam SK MENBUDPAR RI Nomor: KM.51/ OT.001/ MKP/2003. Keberadaan BP3 di daerah telah memberi manfaat yang positif terhadap pelestarian benda cagar budaya yang tersebar di daerah-daerah seluruh Indonesia.
Namun demikian seiring dengan perjalanan waktu keberadaan BP3 di daerah seringkali berbenturan dengan masalah-masalah di dalam maupun di luar. Permasalahan di dalam antara lain menyangkut sumber daya manusia (SDM) yang masih kurang dibandingkan dengan jumlah BCB yang banyak, dan kinerja pegawai yang kurang baik yang disebabkan oleh tingkat ketrampilan/keahlian yang tidak dikuasainya. Sedangkan permasalahan di luar antara lain pengawasan perlindungan dan pemeliharaan yang terkendala oleh wilayah yang luas dan koordinasi dengan pemerintah daerah yang belum berjalan baik.
Otonomi daerah yang telah berlangsung selama 6 tahun tampaknya belum menyadarkan pemerintah daerah dalam mempersiapkan tenaga-tenaganya yang ahli di bidang pelestarian benda cagar budaya. Bahkan dalam pembentukan dinas yang bertugas di bidang kebudayaan di tiap Kabupaten/Kota dan Provinsi berbeda di masing-masing daerah. Pada beberapa dinas memang dijumpai tenaga-tenaga kebudayaan yang dahulunya bertugas di Kanwil dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Tenaga-tenaga itu sebagian besar pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan pelestarian benda cagar budaya yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bila yang demikian tetap berlangsung terus, maka peranan BP3 dalam pelestarian benda cagar budaya masih diperlukan dengan alasan :
1. Jumlah arkeolog yang bekerja di daerah Kabupaten/Kota maupun Provinsi masih sangat kecil bahkan ada yang belum memilikinya sama sekali.2. Tenaga-tenaga teknis di BP3 telah terdidik dalam pelestarian benda cagar budaya.
3. Aset dokumen dan tenaga yang dimiliki BP3 dapat dipergunakan untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat dan kedinasan di dalam pelestarian benda cagar budaya.
DAFTAR PUSTAKA
I Made Suantra, Drs., Pelestarian Benda Cagar Budaya, Makalah Seminar Hukum di Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sriwijaya (tidak diterbitkan)
Rusmeijani Setyorini, Dra., Pelestarian Situs dan Benda Cagar Budaya di Sumatera Selatan Untuk Rekonstruksi Sejarah, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi (tidak diterbitkan)
Soekmono, R., “Sedikit Riwayat”, 50 Tahun Lembaga Purbakala dan Peninggalan Purbakala, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992
Surya Helmi, Drs., “Peran Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Dalam Perlindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya”, Makalah dalam Rapat Kerja Koordinasi Tugas dan Fungsi UPT di Lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Bogor 8-10 Mei 2000 (tidak diterbitkan)
9 komentar:
saya mau nanya ni pak.
Salah satu bentuk perlindungan kawasan cagar budaya kan dilakukan dengan sistem mintakat. Bagaimana cara menysusun mintakat sebuah kawasan cagar budaya? Variabel-variabel apa saja yang perlu diperhatikan/digunakan dalam menyusun mintakat itu pak?
Sekian pertanyaan saya. Atas jawabannya saya ucapkan terimakasih.
Terima kasih atas komentarnya.
Mintakat atau zoning adalah pada dasarnya dilakukan dalam rangka perlindungan dan terdiri dari mintakat inti, mintakat penyangga, dan mintakat pengembangan.
mau tanya pak,
dalam arkelogi, 3 cara pemberian nama terhadap benda cagar budaya yg baru ditemukan apa saja ya?
terimakasih.
bagaimana cara mengajukan proposal untuk pelestarian situs budaya pak, mohon prosedurnya karena ada salah satu situs budaya di daerah saya yang kondisinya memprihatinkan.
Pak,apa buku yg dpt jd referensi tentang pelestarian cagar budaya pada zaman belanda? Saya amat memerlukannya untuk penelitian yg sedang saya lakukan.
1. Nama berdasarkan lokasi dusun atau desa
2. Nama yg dikenal atau iberikan penduduk
3. Nama yg tercantum dlm prasasti
Laporkan kepada dinas yang terkait dengan kebudayaan. Laporan diteruskan kepada Balai pelestarian cagar budaya yg ada di daerah
50 tahun tinggalan purbakala indonesia
ituDewa Poker Domino QQ | Ceme Judi Domino QQ | Agen Domino QQ | Domino QQ Online | Agen Poker | Judi Poker | Poker Online | Agen OMAHA | Agen Super Ten | BlackJack
PROMO SPESIAL GEBYAR BULANAN ITUDEWA. KUMPULKAN TURNOVER SEBANYAK-BANYAKNYA DAN DAPATKAN HADIAH YANG FANTASTIS DARI ITUDEWA.
MAINKAN DAN MENANGKAN HADIAH TOTAL RATUSAN JUTA, TANPA DI UNDI SETIAP BULANNYA!
? DAIHATSU ALYA 1.0 D MANUAL ( Senilai Rp.100.000.000,- )
? New Yamaha Vixion 150 ( Senilai Rp.25.340.000,- )
? Emas Antam 10 Gram ( Senilai Rp.10.160.000,- )
? Free Chips 1.500.000
? Free Chips 1.000.000
? Free Chips 250.000
SYARAT DAN KETENTUAN : KLIK DISINI
DAFTARKAN DIRI ANDA SEGERA : DAFTAR ITUDEWA
1 ID untuk 7 Game Permainan yang disediakan oleh Situs ituDewa
=> Bonus Cashback 0.3%
=> Bonus Refferal 20% (dibagikan setiap Minggunya seumur hidup)
=> Bonus UPLINE REFERRAL UP TO 100.000!
=> Bonus New Member 10%
=> Customer Service 24 Jam Nonstop
=> Support 7 Bank Lokal Indonesia (BCA, BNI, BRI, Mandiri, Danamon, Cimb Niaga, Permata Bank)
• Deposit Via Pulsa, OVO & GOPAY
• Pusat Bantuan ituDewa
Facebook : ituDewa Club
Line: ituDewa
WeChat : OfficialituDewa
Telp / WA : +85561809401
Livechat : ituDewa Livechat
Posting Komentar