Lokasi
Candi ini terletak lebih kurang 27,5 kilometer dari Kota Jambi. Secara administratif berada di Desa Muaro Jambi, Kecamatan Marosebo, Kabupaten Muaro Jambi. Sedangkan secara astronomis terletak pada 103º22’ - 103º45’ Bujur Timur dan 1º24’ - 1º33’ Lintang Selatan. Luas candi Muarajambi lebih kurang 2062 hektar menempati bentang lahan mengikuti alur tepian sungai Batanghari sepanjang 7,5 kilometer
Latar Sejarah
Informasi tertua yang berhubungan dengan daerah Jambi ditemukan pada Naskah Berita Dinasti Tang (618-906 M) yang menyebutkan kedatangan utusan Kerajaan Mo-lo-yue ke Cina pada tahun 644 M dan 645 M. Begitu pentingnya Negeri Mo-lo-yue sehingga seorang pendeta I-Tsing menyempatkan singgah selama 2 bulan untuk memperdalam agama sebelum melanjutkan perjalanannya ke India. Ketika beliau kembali dari India dikatakan Mo-lo-yue tahun 692 telah menjadi bagian Shih-li-fo-shih (Sriwijaya). Suatu keadaan yang ditafsirkan terkait erat dengan Prasasti Karangbrahi (686 M) yang ditemukan di wilayah Jambi hulu.
Nama Jambi sendiri diidentifikasikan dari berita Cina pada tahun 853 dan 871, menyebut kedatangan misi dagang dari Chan-pi atau Pi-chan. Berita Dinasti Sung (960-1279 M) menyebutkan bahwa Chan-pi merupakan tempat bersemayamnya Maharaja San-fo-tsi (Sriwijaya), rakyatnya tinggal pada rumah-rumah panggung di tepi sungai. Raja dan para pejabatnya bermukim di daratan. Sekitar awal abad ke-11 Masehi Chan-pi menobatkan raja di negerinya sendiri dan mengirim utusan ke Cina pada tahun 1079, 1082, serta 1088 M sebagai pemberitahuan bahwa Chan-pi telah menjadi negeri yang berdaulat.
Nama Melayu kembali muncul pada abad ke-13 Masehi dalam Kitab Pararaton dan Nagarakertagama yang menyebutkan bahwa Raja Singhasari bernama Kertanagara mengirimkan Ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275 M. Ekspedisi ini bertujuan untuk menjalin pertahanan bilateral antara Singhasari dan Melayu melawan serangan Mongol. Dalam Kitab Nagarakertagama nama Melayu juga disebutkan sebagai sebuah region di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 Masehi.
Sejarah penemuan, Penelitian dan Pelestarian
Situs Muarajambi pertama kali diketahui keberadaaanya dari seorang perwira Inggris bernama S.C. Crooke pada tahun 1820. Penemuan ini terjadi saat ia sedang melakukan kunjungan ke daerah-daerah pedalaman Batanghari guna melakukan survei pemetaan aliran Sungai Batanghari. Crooke sempat menyaksikan reruntuhan bangunan-bangunan dari bata dan arca batu. Ia mengatakan bahwa sejumlah penduduk menganggap bahwa reruntuhan di Muarajambi tersebut pernah menjadi ibukota dari sebuah kerajaan kuno (Anderson, 1971: 398).
Sekitar setengah abad setelah penemuannya, Muarajambi kembali dilaporkan oleh sebuah tim ekspedisi Belanda bernama Expedition Midden Sumatera yang memasukkan Muarajambi dalam daftar daerah yang dikunjunginya. Sayangnya hingga kini laporan tim tersebut belum pernah ditemukan. Pada yahun 1921 dan 1922 kembali nama Muarajambi disebut-sebut yakni ketika T. Adams menerbitkan catatannya dalam majalah Oudheidkundig Verslag. Kunjungan berikutnya dilakukan oleh F. M. Schnitger pada tahun 1935 yang menyebutkan bahwa sedikitnya ada tujuh bangunan kuno di Muarajambi yakni Stano, Gumpung, Tinggi, Gedong I, Gedong II, Gudang Garem, dan Bukit Perak. Selain itu Schnitger juga melakukan serangkaian penggalian pada bangunan-bangunan kuno tersebut kecuali di Candi Astano (Schnitger, 1935: 12-13). Sayangnya penelitiannya ini tidak diikuti dengan dokumentasi lengkap sehingga banyak informasi yang diperoleh tidak ditulis dalam laporan.
Pada tahun 1954 sebuah tim yang diketuai oleh R. Soekmono melakukan inventarisasi kepurbakalaan di Sumatera, terutama kepurbakalaan di Muarajambi. Tempat-tempat yang dikunjungi antara lain Candi Astano, Gumpung, Tinggi. Penelitian arkeologis dalam arti sesungguhnya baru diadakan pada tahun 1981 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, walaupun sebelum itu beberapa ahli dari lembaga yang sama telah mengunjungi Situs Muarajambi.
Selain penelitian, kegiatan lain yang dilakukan untuk pelestarian dan pengembangan situs Muarajambi adalah pemugaran. Pertama kali diadakan pada tahun 1976 dengan kegiatan berupa pembersihan kompleks percandian untuk membebaskannya dari tumbuhan hutan yang berada di atasnya. Pada waktu itu candi-candi di Muarajambi masih tertimbun tanah yang ditutupi oleh tumbuh-tumbuhan. Dilanjutkan dengan pemugaran oleh Ditlinbinjarah yang dimulai pada tahun 1978 dengan candi Tinggi sebagai objek utama dan selesai pada tahun 1987. pemugaran selanjutnya dilakukan pada Candi Gumpung yang dilaksanakan pada tahun 1982 s.d. 1988, Candi Astano dari tahun 1985 s.d. 1989, Candi Kembarbatu dari tahun 1991 s.d. 1995, Candi Gedong I mulai tahun 1996 s.d. 2000, dan terakhir adalah Candi Gedong II yang dilaksanakan pada tahun 2000 s.d. 2004, serta pada tahun anggaran 2005 pemugaran Candi Tinggi II mulai dilaksanakan dengan pekerjaan pertama adalah pengupasan.
Tinggalan Arkeologis
Situs ini tersebar pada areal yang berada di atas tanggul alam sepanjang 7,5 kilometer dengan luas lebih kurang 12 kilometer persegi. Merupakan sebuah dataran sempit yang dibatasi oleh rawa-rawa di sebelah utara dan Sungai Batanghari di sebelah Selatan. Daerahnya diapit oleh tiga buah parit dan sebuah sungai kecil. Ketiga parit tersebut adalah Sekapung, Buluh, dan Johor, sedangkan sungai kecil bernama Sungai Jambi.
Sampai kini tinggalan yang ditemukan di kawasan Situs Percandian Muarajambi mencapai lebih dari 85 buah. Duabelas di antaranya merupakan bangunan yang sudah dapat diidentifikasi sebagai kompleks candi. Penggunaan istilah kompleks digunakan di sini karena pada umumnya candi di situs ini ditemukan bukan merupakan sebuah bangunan, namun merupakan sebuah sistem yang terdiri dari bangunan induk, satu atau lebih bangunan pendamping (perwara), tembok keliling dengan pintu masuk (gapura) serta kadang-kadang parit keliling. Diantaranya yakni Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong II, Gedong I, Gumpung, Tinggi, Kembarbatu, Astano, Teluk I, Teluk II, Sialang, dan Tinggi II, serta sebuah kolam kuno yang dikenal dengan sebutan Telagorajo. Tinggalan lain berupa menapo atau gundukan tanah yang di dalamnya berisi struktur bata. Selain itu beraneka ragam artefak kuno yang merupakan temuan-temuan lepas yang mempunyai keterkaitan dengan keberadaan candi-candi di Muarajambi. Temuan tersebut antara lain berupa arca, lapik arca, lesung, belanga perunggu, gong perunggu, lempengan emas yang berisi mantra-mantra, keramik, manik-manik, bandul jaring, benda-benda perlengkapan upacara, dan perhiasan.
Pada umumnya candi di Sumatera dibuat dengan menggunakan bahan bata yang ukurannya lebih besar dari bata sekarang. Namun demikian penggunaan batu juga ditemukan, terutama pada beberapa unsur bangunan seperti pada sudut-sudut bangunan yang rentan terhadap daya tekan besar. Dari hasil penelitian terhadap bangunan candi dapat diketahui bahwa cukup banyak bangunan candi di Muarajambi yang dibangun lebih dari satu kali, ada yang dua kali, bahkan ada yang sampai tiga kali. Mengingat peninggalannya berupa kompleks percandian, maka situs Muarajambi dapat dikatakan sebagai situs keagamaan. Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan, antara lain berupa Arca Dewi Prajnaparamitha, wajra (sebuah alat keagamaan berujung empat dan terbuat dari logam) dan rancangan kompleks percandian yang didasari konsep makrokosmos dan mikrokosmos dapat diketahui aliran agama yang melatari Situs Muarajambi adalah agama Budha Mahayana.
Selain merupakan situs keagamaan, Situs Muarajambi juga merupakan situs pemukiman. Hal ini ditandai dengan adanya temuan-temuan yang berkaitan dengan aktivitas keseharian manusia yang telah menetap dan berintegrasi dengan lingkungannya dalam jangka waktu yang lama di lokasi tersebut. Misalnya temuan berupa keramik lokal dan asing yang ditemukan dalam jumlah besar di dalam maupun di luar kompleks percandian. Penelitian arkeologis di Muarajambi telah menempatkan kronologi relatif situs ini pada abad 9-14 Masehi. Rentang masa itu merupakan bagian dari masa pemerintahan Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya di Sumatera.
Pengembangan dan Pemanfaatan
Pemanfaatan dan pengembangan Kawasan Situs Percandian Muarajambi ini diarahkan pada bidang antara lain:
- Ilmu Pengetahuan- Pendidikan
- Kebudayaan
- Pariwisata
- Agama
- dan Sosial
Saat ini Kawasan Situs Percandian Muarajambi telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya dengan Nomor: 31/C1/JB/99 tertangal 26 Januari 1999 dan sebagai Benda Cagar Budaya dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 045/M/2000 tertanggal 30 Maret 2000. Sebagai Benda Cagar Budaya yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan sudah tentu kita wajib menjaganya bersama. Anda dapat berpartisipasi menyelamatkannya dengan tidak merusak bangunan bersejarah ini. Bantulah candi ini untuk memenuhi keinginannya “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”