Pendahuluan
Bengkulu
merupakan salah satu provinsi yang berada di pesisir Barat Sumatera. Wilayahnya
memanjang menghadap ke Samudera India (Indian
Ocean). Samudera India merupakan lautan yang luasnya 20% dari total
permukaan bumi. Lautan ini berada di urutan ketiga setelah Samudra Pasifik dan
Atlantik. Kedalaman Samudera India rata-rata sedalam 3.960 meter dengan titik
terdalamnya disebut Palung
Diamantina yang terletak di Barat Daya
Perth, Australia Barat mencapai 8.047 meter.
Perairan
Bengkulu menyimpan tinggalan bawah air yang belum banyak diketahui karena
sangat minimnya penelitian. Hal itu tidak saja terjadi di Bengkulu saja tetapi
juga di daerah lain yang berada di perairan Barat Sumatera. Baru beberapa kapal
tenggelam saja yang telah diketahui, yaitu Kapal Belanda bernama MV Boelongan Nederland di Teluk Mandeh,
Kabupaten Pesisir Selatan dan kapal tenggelam di dekat Pulau Sibaru-baru
Kabupaten Kepulauan Mentawai. Keduanya berada di Provinsi Sumatera Barat.
Penemuan kapal tenggelam di Perairan Mentawai berawal dari adanya kegiatan
pengangkatan tanpa ijin yang menghebohkan pada tahun 2010. Bandingkan dengan
perairan Timur Sumatera yang telah banyak ditemukan tinggalan bawah air seperti
kapal tenggelam Belitung (The Belitung Wreck),
The Teksing Wreck dan kapal VOC
bernama Geldermalsen (The
Geldermalsen Wreck) yang terkenal di dunia
arkeologi bawah air. Dua nama terakhir malah tercantum dalam terbitan The Unesco Convention on The Protection of
The Undewater Cultural Heritage yang dikeluarkan oleh United Nation Education Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
Kapal tenggelam atau shipwreck
beserta benda berharga muatannya merupakan kapal kuno yang tenggelam sebelum
abad ke-20 hingga masa Perang Dunia II. Jumlah kapal tenggelam di perairan
Indonesia diperkirakan mencapai hingga ribuan kapal (Mundardjito 2007: 16-17).
Sedikitnya
kapal tenggelam di perairan Barat Sumatera diperkirakan karena sepinya
pelayaran yang mengarungi Samudera India. Tantangan alam dan teknologi yang belum memadai menyebabkan
para pelaut lebih memilih melakukan pelayaran dengan menyusuri Selat Malaka hingga Laut Cina
Selatan. Akibatnya di sepanjang Selat Malaka muncul pelabuhan-pelabuhan yang
ramai. Kerajaan Melayu dan Sriwijaya mempunyai pelabuhan dagang dari Cina
ke India dan sebaliknya. Kemudian muncul Malaka yang menjadi tempat berlabuh
kapal-kapal dagang dari Cina, India, dan Arab. Setelah penaklukan Malaka oleh
Portugis maka rute pelayaran beralih ke
Pantai Barat Sumatera, seterusnya ke Laut Jawa lewat Selat Sunda. Peralihan itu
menyebabkan muculnya pusat perdagangan di Aceh dan Banten. Keduanya menjadi
negara yang cukup penting dalam abad ke-16 (Hamid, Abd Rahman, 2015 :128). Di
masa kemudian, lautan benar-benar dikuasai oleh bangsa Eropa hingga berakhir
pada masa pendudukan tentara Jepang. Selama Perang Dunia II banyak kapal perang
yang tenggelam baik dari pihak Sekutu maupun Jepang.
Pada
tahun 2019 Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi untuk pertama kalinya
mengadakan survei tinggalan bawah air di Perairan Pulau Tikus Kota Bengkulu,
Provinsi Bengkulu. Kegiatan berdasarkan informasi dari klub selam bernama Rafflesia Bengkulu Dive Center (RBDC)
yang sering melakukan kegiatan selam di sana baik dalam rangka sertifikasi selam atau rekreasi. Dikabarkan
bahwa di sana terdapat sejumlah jangkar kapal yang berdiri di karang. Sementara
untuk benda-benda yang diduga tinggalan bawah air ditunjukkan melalui foto.
Hasil Kegiatan
Pulau Tikus terletak di sebelah Barat Kota Bengkulu dan dapat ditempuh
dengan perahu nelayan sekitar 45 menit. Kegiatan survei bawah air yang
dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi melibatkan Rafflesia Bengkulu Dive Center (RBDC) yang mengatur penyelam pendamping, peralatan
selam, dan perahu yang digunakan.
Perahunya menyewa dari nelayan. Kegiatan survei bawah air dapat dilakukan
dua kali, yaitu Bulan September dan Desember 2019 setelah melalui proses revisi
kegiatan sehubungan dengan tidak dapat dilaksanakannya kegiatan di Pulau
Enggano. Kegiatan kedua bertujuan untuk mengumpulkan data yang belum
diketemukan sebelumnya karena keterbatasan waktu. Dengan dilakukannya dua kali
kegiatan di waktu yang berbeda tersebut maka data yang terkumpul semakin jelas
dan upaya rekonstruksi tinggalan bawah air menjadi mudah.
Pada kegiatan di bulan September 2019 setiap penyelaman yang dilakukan
oleh penyelam BPCB Jambi selalu didampingi penyelam dari RBDC sebagai safety diver. Penyelaman dilakukan dua
kali dalam sehari. Pada penyelaman awal
masih dilakukan penyelaman orientasi sambil mencari temuan di dasar laut. Pada
lokasi yang terdapat temuan diberi tanda menggunakan botol plastik sebagai
pelampung dengan tali yang terikat pada ban di dasar laut. Para penyelam turun
dan mengikuti tali tersebut.
Pencarian sebaran temuan dilakukan dengan tehnik melingkar (circle). Tali berwarna putih diikatkan pada tali yang terikat pada ban kemudian mengulurnya
untuk berkeliling membentuk lingkaran. Setelah
berkeliling dan menemukan temuan yang banyak maka ujung tali diikatkan pada
karang kecil. Tali itu selanjutnya digunakan sebagai tali pandu bagi penyelam
karena jarak pandang (visibility)
tidak begitu baik sekitar 1-2 meter.
Tali yang terikat masing-masing ujungnya di ban dan karang itu berorientasi ke
arah Utara.
Penyelaman berikutnya membawa tali berwarna kuning yang diikatkan ke
ban dan mengulurnya ke arah Selatan. Ujung tali diikatkan pada benda yang
diduga terbuat dari besi. Dengan demikian di dasar laut terbentang tali
berwarna putih dan kuning sebagai tali pandu bagi penyelam. Selama penyelaman menemukan benda-benda yang berupa guci yang utuh dan pecahan, botol
utuh dan pecahan, pecahan mangkuk, bata, senjata tajam, bata, dan tulang. Beberapa benda dapat dipetakan lokasinya karena
berada dekat tali pandu. Sementara benda yang berada jauh dari tali pandu
menggunakan tehnik baringan kompas, yaitu dengan mengulur meteran 50 meter kemudian
mencatat jarak benda dari titik nol. Pada saat kegiatan juga telah diangkat
benda-benda yang berupa botol keramik, botol kaca, teko keramik, dan
golok.
Pada penyelaman di Bulan Desember 2019 telah dipersiapkan pemberat yang terbuat dari
semen dan kawat besi untuk mengikat tali bouy
dan juga baseline. Hal itu dilakukan karena tidak adanya karang yang cukup
besar untuk mengikat tali bouy pada
kegiatan pertama. Dimana hanya menggunakan ban yang ditemukan di dasar laut. Pemberat
dari semen digunakan diturunkan dengan masing-masing tali yang diikat jerigen
plastik warna merah dan kuning sebagai bouy. Jerigen kuning berada di sisi
Utara dan jerigen warna merah di sisi Selatan. Tali untuk baseline berwarna kuning yang diikat dengan meteran
sepanjangnya 50 meter. Benda-benda
diberi nomor dan difoto menggunakan skala dilanjutkan dengan menggunakan tehnik
Offset, yaitu mengukur benda dari
baseline dengan tegak lurus 90 derajat. Dalam rangka identifikasi lebih lanjut,
maka beberapa temuan diangkat guna penelitian lebih lanjut dan juga dapat
digunakan untuk peningkatan kemampuan konservasi tinggalan bawah air serta
pameran.
Jenis Temuan
Lokasi ditemukannya tinggalan bawah air di Perairan Pulau Tikus
terletak pada sebuah teluk yang berada di sebelah Barat Laut pulau. Pulau Tikus
merupakan daratan yang luasnya tidak kurang dari 1 hektar dan dikelilingi oleh karang yang sangat luas.
Karang-karang itu akan akan muncul dan tenggelam seiring dengan pasang surut
air laut. Di sebelah Barat dari Pulau Tikus tersebut terdapat alur yang masih
bisa dilalui walaupun pada saat air surut. Melalui alur tersebut perahu dapat
keluar masuk pulau dan terhubung dengan
area yang lebih dalam menyerupai teluk. Teluk itu lebarnya sekitar 200 meter
dan panjangnya 300 meter. Pada bagian tengah teluk mempunyai kedalaman sekitar
15 meter. Di tepian teluk tersebut
terdapat sekitar sembilan jangkar kapal terbuat dari besi yang disusun teratur
membentuk huruf U.
Benda-benda arkeologis yang ditemukan di dasar laut pada kedalaman sekitar
15 meter terdiri dari jangkar, guci, mangkuk, pring, botol, bata, senjata
tajam, dan tulang. Tergeletak di
permukaan yang berupa pasir. Beberapa benda dari aktivitas manusia sekarang
juga banyak ditemukan antara lain alat pancing, jala, sisa karamba, dan meja
transplantasi karang.
Benda yang berupa guci besar yang kemungkinan utuh terletak tidak
jauh dari ban yang menjadi pengikat tali pelampung. Di dekat ban juga terdapat
mangkuk yang hampir utuh. Ke arah utara dengan menyusuri tali putih terdapat
satu buah bata dan lebih jauh lagi beberapa
pecahan mangkuk. Pada ujung tali putih yang diikat pada karang ke arah
utara terdapat pecahan-pecahan guci dan juga botol keramik yang utuh. Di sana
selintas juga terlihat tulang yang diduga bagian kaki. Diperkirakan merupakan
tulang binatang.
Dalam rangka analisis lebih lanjut telah dilakukan pengangkatan
benda berupa satu botol bertangkai dalam kondisi utuh, satu botol yang tersisa
bagian dasarnya, satu golok, tujuh pecahan botol berwarna hitam, satu teko
terbuka yang pecah pada bagian bibirnya, dan 4 pecahan mangkuk yang berbeda.
Pembahasan
Pulau
Tikus merupakan pulau kecil yang berada di Sebelah Barat Kota Bengkulu. Pulau
ini cukup terkenal di kalangan wisatawan dan mancanegara. Di sana terdapat
mercusuar terbuat dari tiang besi untuk
memperingatkan kapal-kapal dari karang yang mengelilingi pulau. Wisatawan
berkunjung untuk menikmati keindahan pulau yang teduh oleh pepohonan, bermain pasir yang putih, dan beraktivitas dipermukaan
karang yang muncul diwaktu air laut surut. Orang-orang juga datang untuk
menyelam atau mendapatkan sertifikat selam di area yang berupa teluk.
Kedalamannya bervariasi hingga bagian
yang paling dalam sekitar 15 meter sangat cocok untuk mereka yang ingin
mendapatkan sertifikat selam dari Persatuan Olah Raga Selam Seluruh Indonesia
(POSSI). Karena memang klub selam yang ada di sana berafiliasi dengan POSSI.
Pulau
Tikus selain mempunyai pemandangan yang indah ternyata menyimpan benda-benda
arkeologi yang penting. Baik yang berupa jangkar kapal maupun tinggalan bawah
airnya. Keberadaan jangkar kapal sudah lama diketahui tetapi tidak banyak yang
mengetahui sejarahnya. Sementara untuk tinggalan bawah air setelah dilakukannya
survei bawah air.
Diperkirakan
pada masa penjajahan Inggris di Bengkulu, Pulau Tikus memiliki peranan yang
penting sebagai penunjang pelayaran. Di pulau dibangun mercusuar untuk
menghindarkan kecelakaan. Selain itu banyak hal yang tidak diketahui.
Keberadaan jangkar-jangkar di sana pun masih menjadi misteri. Literatur sejarah
mengenai jangkar-jangkar tersebut belum ditemukan. Temuan bawah air di sana
kiranya dapat mengungkap misteri tersebut. Berdasarkan temuan bawah air yang
berada di kedalaman 15 meter diduga bahwa Perairan berupa teluk menjadi tempat
berlabuhnya kapal yang datang dan menunggu
keberangkatannya kembali ke negeri Eropa. Dikaitkan dengan keberadaan Benteng
Marlborough, maka kapal-kapal yang dimaksud adalah kapal bangsa Inggris.
Kapal-kapal yang datang dan pergi ke Bengkulu tidak berlabuh di laut depan
benteng mengingat daerahnya berombak. Dipilihlah teluk di pulau Tikus yang
lebih tenang dan dalam. Sebagai alat
komunikasi antara Pulau Tikus dan benteng Marlborough digunakan isyarat lampu.
Teluk
yang tidak begitu luas cukup berbahaya bagi kapal yang tidak terikat kuat.
Fungsi jangkar kapal yang berjumlah sembilan itu adalah untuk mengikat kuat
kapal sehingga tidak bergerak mendekati karang di sekitarnya. Jangkar-jangkar semula berdiri dengan posisi
satu bagian yang runcing menancap ke bawah dan satu lainnya di atas. Namun
sekarang hanya dua yang kedudukannya masih seperti dulu. Jangkar kapal tersebut
jelas merupakan jangkar yang dibuat oleh bangsa Eropa.
Tinggalan
bawah air di Pulau Tikus bukan merupakan muatan dari kapal tenggalam tetapi
hasil aktivitas manusia yang berada di atas kapal saat berlabuh di teluk.
Benda-benda jatuh ke laut baik sengaja ataupun tidak disengaja. Benda-benda itu
biasa digunakan oleh orang-orang Eropa. Botol dan guci digunakan sebagai wadah
minuman beralkohol yang digandrungi mereka. Mangkuk dan piring digunakan untuk
wadah makanan berasal dari Cina.
Sementara senjata tajam digunakan untuk memotong benda yang dikehendaki.
Bata digunakan pada bagian kapal yang terdapat dapur. Gunanya untuk melindungi
dinding kapal yang terbuat dari kayu dari jilatan api. Hampir sebagian besar temuan
dalam kondisi tidak utuh lagi.
Temuan
tinggalan bawah air di perairan Pulau Tikus akan menambah kekayaan tinggalan
bawah air di Indonesia. Tinggalan budaya
bawah air memiliki potensi sebagai bagian dari daya tarik wisata berbasis
bahari. Wisata bahari dapat menjadi alat memanfaatkan tinggalan budaya bawah
air sebagai atraksi wisata selam, sekaligus untuk melestarikan keberadaan
tinggalan budaya bawah air secara berkesinambungan (Ardiwidjaya, 2017: 140). Menurut
Kusumastanto, Indonesia sebagai negara maritim, memiliki kekayaan yang
beranekaragam, mulai dari flora dan fauna laut hingga tinggalan budaya bawah
air berupa kapal tenggelam beserta muatannya, yang dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan, antara lain sektor perikanan, pariwisata, dan industri kelautan (Kusumastanto
2013: 13-19).
Tinggalan
budaya bawah air di Pulau Tikus akan meramaikan wisata selam di sana. Selama ini penyelaman di sana umumnya dalam
rangka sertifikasi selam dan penelitian
karang oleh Mahasiswa Ilmu Kelautan Universitas Bengkulu yang diselenggarkan
oleh RBDC. Dari RBDC juga diperoleh kabar bahwa pada tahun 2002 akan
dilaksanakan Jambore Selam oleh Forum Mahasiswa Penyelam Indonesia di Pulau
Tikus. BPCB sendiri bisa menjadikan
lokasi sebagai tempat pelatihan bawah air bagi arkeolog pemula. Sebaran temuan
dan kedalaman yang hanya 15 meter sangat cocok untuk penyelam tingkat Open Water atau Bintang Satu (A1)
melakukan latihan pendokumentasian temuan atau pengukuran dengan tehnik offset, triletaration, ties, atau
frame.
Pemanfaatan
tinggalan bawah air di Pulau Tikus tentu saja diharapkan akan menambah daya tarik
wisata. Namun harus dibarengi dengan himbauan atau sosialisasi agar para
penyelam tidak memindahkan, mengambil atau merusak benda yang melanggar
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Daftar Pustaka
Hamid,
Abd Rahman. 2015. Sejarah Maritim
Indonesia. Penerbit Ombak. Yogyakarta
Kusumastanto, T. 2013. “Arah Strategi
Pembangunan Indonesia Sebagai Negara Maritim”. Researchgate. Accessed July 20,
2017. https://www.researchgate.net/
publication/266080942 %0A.
Mundardjito.
2007. “Paradigma Dalam Arkeologi Maritim”. Wacana
9: 1-20.
Adiwidjaja, Roby 2017. “Pelestarian
Tinggalan Bawah Air : Pemanfaatan Kapal Karam Sebagai Daya Tarik Wisata Selam”.
Amerta
Vol. 35 No. 2